Konten dari Pengguna

Jalan Sunyi Swing Voters pada Pemilu 2024

Moch Imron Rosyidi
Dosen dan Peneliti di Ilmu Komunikasi FISIB Universitas Trunojoyo Madura
5 Februari 2024 15:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Imron Rosyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu.  Foto: Dok Kemenkeu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
ADVERTISEMENT
Kontestasi pemilu 2024 akan mencapai puncaknya kurang dari dua pekan. Proses politik dalam pemilu kali ini menghasilkan produk politik berupa tiga pasangan calon presiden yang menarik, dan kontroversial pada masing-masing paslon. Baik dari segi individual, mekanisme pencalonan, kedekatan dengan pemerintah, hingga drama dukungan partai politik.
ADVERTISEMENT
Momentum pemilu kali ini para peneliti dari berbagai lembaga survei telah mati-matian memberikan data akurat tentang realitas dinamika pemilih di seluruh Indonesia, harapannya masyarakat lebih rasional dalam memilih. Namun, mayoritas dari karakter pemilih di Indonesia, pilihan tidak banyak dilandaskan pada data namun lebih pada emosional, atau keyakinan. Beberapa hasil survey juga menunjukkan angka tidak tahu, dan tidak menjawab masih tinggi karena gamang serta kebingungan. Realitas Ini menjadi sebuah keputusasaan yang dialami oleh para pemilih.
Alhasil, pemilu kali Ini akan banyak dilandaskan pada keyakinan pemilih saja. Sayangnya, beberapa proses yang terjadi belakangan membuat keyakinan pemilih terguncang. Dalam artian, secara emosional keyakinan mereka diganggu oleh drama politik yang terjadi. Pemilih saat ini dihadapkan pada dilema, tentang keyakinan pribadi terhadap calon, dan kacaunya realitas sengkarut politik. Sehingga menentukan pilihan adalah perkara sulit. Apalagi statement terakhir Presiden Jokowi tentang pejabat publik diperbolehkan menyatakan dukungan, serta pelanggaran-pelanggaran dari masing-masing paslon, menambah sengkarut yang semakin mendisonansi pemilih.
ADVERTISEMENT

Disonansi Kognisi Pemilih

Menilik realitas tersebut, belajar dari pakar psikologi sosial Leon Festinger tentang dosonansi kognitif sepertinya bisa mengurai problematik yang terjadi pada setiap individu pemilih. Terutama swing voters yang sampai saat ini masih belum menentukan pilihannya. Situasi banyak pemilih saat ini masuk dalam kondisi ketika keyakinan dan stimulus sosial tidak sejalan, akan menghasilkan dosonansi kognisi. Implikasi langsung adalah ghirah, pemilih untuk datang dan memberi dukungan menjadi berkurang atau bahkan masa bodoh dengan realitas politik.
Fenomena yang terjadi saat ini, keyakinan tentang kualitas calon tapi secara sosial bermasalah tentang etika, seperti yang banyak disematkan para pendukung pada pasangan calon (paslon) satu. Kasus lain, pemilih yakin secara personal tapi bermasalah proses politik dan administratif sehingga mencederai keyakinan para pendukung paslon dua.
ADVERTISEMENT
Atau bahkan, yakin keduanya tapi bermasalah pada dukungan partai, dan posisi terhadap pemerintah tidak jelas seperti para pendukung paslon tiga. Hal Ini akan semakin memperparah angka ketidakyakinan masyarakat untuk hadir di TPS pada pemilu 2024, sehingga wajar angka tidak tahu dan tidak menjawab masih tinggi di berbagai survey yang berlangsung. Singkatnya; pemilih berpotensi malas datang ke TPS.
Solusi yang banyak dilakukan oleh pakar dalam menghadapi problem disonansi kognitif ada dua cara. Pertama dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan pada keyakinan pemilih atau yang kedua memperbaiki stimulus social. Karena melalui dua Langkah itu harapannya bisa mereduksi disonansi yang dialami oleh para pemilih.
Pertama, perlakuan pada keyakinan adalah memperkuat brand image suatu paslon tanpa menambah gimmick yang tidak perlu. Meski gimmick menambah kekuatan emosional pemilih, di sisi lain berpotensi mereduksi keyakinan dan menimbulkan disonansi. Kedua, perbaikan pada kognisi sosial bisa dilakukan dengan mengakui segala kekurangan dari setiap kubu, percayalah bangsa kita adalah bangsa pemaaf dan mampu dengan mudah melupakan segala dosa.
ADVERTISEMENT

Menempuh Jalan Sunyi

Jika kedua jalan tidak bisa membuat disonansi pemilih tereduksi. Maka satu-satunya jalan adalah menapaki jalan sunyi. Emha Ainun Nadjib mempopulerkan langkah Ini sebagai metode penemuan diri atas berbagai macam dialektika yang dihadapi individu. Mereka akan diam menenangkan pikiran serta menarik diri pada panggung dan hingar-bingar. Jalan sunyi bukanlah pasrah tanpa upaya, namun jalan pilihan dengan murni mendengarkan nurani. Artinya jalan sunyi adalah memposisikan diri untuk positif dan mendapat ketenangan dalam menghadapi fenomena, tanpa banyak terpengaruh oleh lingkungan sekitar.
Dalam disonansi kognisi Ini adalah upaya meneguhkan keyakinan atau berdamai dengan stimulus sosial. Menurut teori disonansi kognitif, kita selalu mencari konsistensi antara keyakinan, nilai, dan sikap atau perilaku. Ketika terjadi ketidaksesuaian, individu akan merasa tidak nyaman dan mencari cara untuk mengurangi ketegangan psikologis tersebut. Salah satunya melalui jalan sunyi atau pengendalian diri.
ADVERTISEMENT
Beberapa kampus juga telah turun gunung memberikan aspirasi positif meyakinkan publik. Bilamana kampus adalah tempat para guru bangsa berada memberikan respons, maka memang perlu perenungan mendalam para pemilih. Sehingga menempuh jalan sunyi mendengarkan nurani adalah langkah terakhir pemilih yang kebingungan ini.
Sepertinya dalam konteks pemilu kali Ini, para swing voters lebih banyak yang akan menempuh jalan sunyi. Karena mereka sudah lelah dengan gimmick dan drama dari panggung politik. Namun mereka juga masih peduli pada pemilu dan demokrasi bangsa ini. Jalan sunyi, dapat menjadi langkah terakhir yang mungkin akan ditempuh para pemilih yang gamang, di tengah ancaman disonansi kognisi nasional, yang mengakibatkan kemunduran demokrasi.