Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ustaz Abdul Somad, Media Sosial, dan Persekusi
26 Desember 2017 13:04 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Inayatullah Hasyim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Inayatullah Hasyim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor.
ADVERTISEMENT
Ustaz Abdul Shomad (UAS) tengah jadi buah bibir. Dai kelahiran 17 Mei 1977 itu mendapat banyak pujian namun juga mendapat banyak cobaan. Ia dipuji oleh penggemarnya karena menampilkan dakwah Islam yang santun, sederhana dan mencerahkan dengan memberikan dalil yang meyakinkan. Uniknya, ceramah UAS itu bukan dari media mainstream seperti televisi tetapi potongan media sosial seperti Youtube, Facebook atau WhatsApp.
Namun, UAS juga dibenci oleh para penentangnya. Setidaknya hal itulah yang kita dapatkan ketika dia ditolak berceramah di Bali. UAS dianggap anti keberagaman, anti-NKRI, dan lain-lain. Orang menjadi semakin terkejut, ketika beberapa hari lalu, UAS ditolak masuk ke Hongkong. Bahkan, dia langsung dideportasi saat menginjakkan kaki di airport Hongkong.
ADVERTISEMENT
Apa sebenarnya yang menarik dari UAS dan hikmah apa yang bisa kita diskusikan dari berbagai rangkaian peristiwa persekusi kepadanya?
Saya mencatat, setidaknya, pada tiga hal.
Pertama: UAS berbicara dengan bahasa yang mudah difahami masyarakat. Sebagai dai, seharusnya, setiap ustaz memang mampu mengemas ilmu yang rumit menjadi bahasan yang enak, renyah dan berkualitas. Jauhi fitnah dan menghakimi kelompok yang berbeda pandangan. Sesekali beliau berhumor, dan--saya kira--humornya pun bernas. Tak dibuat-buat, tetapi memang beliau memiliki bakat ceplas-ceplos yang membuat hadirin tergelak dalam tawa.
Fokus ceramahnya menjelaskan persoalan fiqh kontemporer yang langsung ditanyakan oleh masyarakat yang selama ini (diakui atau tidak) melahirkan gesekan seperti soal jenggot, celana cingkrang (isbal), ziarah kubur, qunut, asuransi, harta haram, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Di tengah kelemahan banyak sarjana agama pada penguasaan kitab kuning, pengusaan UAS memang mengagumkan. Nampak, beliau menguasai kitab utama fiqh madzhab Syafii seperti al-Majmu Syarh al-Muhadzab karya Imam Nawawi.
Sesungguhnya, setiap madzhab fiqh punya kitab utama. Dalam fiqh Hanafi, buku paling sering dirujuk adalah Al-Mabsuth karya Imam Sarakhsi. Sedangkan dalam fiqh Hanbali adalah kitab al-Mughni karya Imam Ibn Qudamah. Masalahnya, banyak dai yang hanya membaca buku-buku tipis madzhab lain, lalu berfatwa di tengah masyarakat Indonesia yang umumnya bermadzhab Syafii. Akibatnya, dakwah melahirkan kegaduhan, dan bukan pemahaman.
Kedua: beliau menempatkan fiqh dalam makna yang sesungguhnya. Yaitu, paham. Secara sederhana, fiqh itu memang berarti paham. Rasulullah SAW mendo'akan Abdullah bin Abbas, “Ya Allah, ajarkanlah dia untuk mengusai ta'wil dan jadikanlah dia orang yang paham agama”.
ADVERTISEMENT
Lalu, fiqh berkembang menjadi ilmu pengetahuan. Para ulama mendefinisikan fiqh sebagai “menguasai hukum-hukum syari yang bersifat praktis dengan bersumber dari dalil-dalil yang terperinci”.
Sampai di sini, kita mengerti bahwa fiqh adalah ilmu yang berkembang bersama zaman dan mencakup seluruh aspek praktis dalam kehidupan kita. Maka, karena dia bersifat praktis, fiqh melahirkan perbedaan pandangan. Hampir tidak ada ulama yang satu pendapat dalam kaitan dengan tata cara ibadah dan muamalah keseharian kita.
Ketiga: Sebagai pengguna media sosial, kita telah memasuki gelombang ketiga peradaban. Media sosial kini bisa menjadi wahana dakwah yang efektif. Masyarakat gelombang ketiga itu, kata Alvin Tofler, adalah generasi "gadget by nature". Sejak kecil mereka sudah bersentuhan dengan teknologi komunikasi. Tak heran, saat orang tua mereka takut kutak-katik keyboard, mereka sudah pandai download. Sahabat setia masyarakat gelombang ketiga adalah media sosial. Bayangkan, Facebook tanya: What do you think? Foursquare: Where are you? Google: Do you feel lucky? Posesif sekali kan.
ADVERTISEMENT
Komunikasi via Whatsapp, Line, Googletalk telah jadi kebutuhan dasar. Tugas para ustaz dan dai pun kini semakin berat. Yaitu, bagaimana mengawal pemahaman agama yang benar kepada generasi muda yang haus informasi Islam. Sebagai guru agama, para dai dan ustaz harus segera melek teknologi infomasi.
Sekian tahun lalu, ketika masih kuliah di Islamabad, saya membaca buku, "Finding God in the Internet". Dulu, ketika membaca buku itu seakan mimpi. Sekarang, ramalan dalam buku itu menjadi kenyataan. Ada ribuan situs yang menjajakan pemahaman agama dengan berbagai versinya. Ada juga ratusan, bahkan ribuan, video ceramah agama yang beredar di tengah masyarakat. Salah membaca atau menyimak akan menjurus pada pemahaman yang salah pula.
Lalu, karena sifat media sosial yang serba instan, (apalagi hanya potongan ceramah), maka video yang diunggah di media sosial punya defect (kekurangan) tersendiri, dan dapat menyebabkan miskomunikasi. Persekusi pada UAS di Bali, menurut saya, berawal dari salah memahami ceramah-ceramah UAS itu. Selain, tentu saja, perspektif yang berbeda tentang keragamanan dan kebhinekaan NKRI.
ADVERTISEMENT
Mungkin (sekali lagi, mungkin) pemahaman yang keliru pula yang menyebabkan UAS dideportasi dari Hongkong. Apalagi, UAS (dalam ceramahnya) pernah membahas bagaimana seharusnya sikap kita kepada perjuangan bangsa Palestina di tengah gempuran bangsa Yahudi. Nah, keberangkatannya ke Hong Kong pun terjadi di tengah ramai isu Palestina akibat ulah Donald Trump.
Kemajuan teknologi memang telah menjadi keberkahan dalam kehidupan modern. Namun, dalam memahami ilmu agama, nasehat Imam Syafii berikut ini perlu benar-benar kita jaga.
“Saudaraku, (ketahuilah) tak mengalir ilmu (agama) kecuali dengan enam syarat; aku jelaskan padamu rinciannya agar terang benderang, Yaitu, cerdas, kontinyu, sungguh-sungguh, kemampuan (bekal), guru yang membimbing dan panjangnya waktu.” kata beliau.
Selamat menikmati ceramah-ceramah UAS. Jangan lupa, hadirlah pula di majelis-majelis ta'lim dengan para kiai dan guru agar menambah keberkahan ilmu.
ADVERTISEMENT
Wallahua'lam bis showab.