Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Hallyu Korea sebagai Budaya Kontemporer Anak Muda
16 September 2024 17:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Indah Sari Rahmaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dewasa ini telah terjadi masuknya budaya korea yang dimulai dari sebagian kecil daerah asia timur hingga menyebar ke seluruh dunia. Termasuk Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika. Gelombang korea atau yang disebut sebagai hallyu korea menyebar melalui drama televisi, film, musik (K-Pop) yang juga didalamnya mulai mengenal makanan, pariwisata, dan bahasa. Terlebih sejak munculnya Covid-19, drama korea telah menjadi salah satu tayangan favorit dengan audiens global yang cukup besar, termasuk Indonesia. Hallyu culture telah berkembang sangat pesat sehingga pemerintah korea meningkatkan diplomasi budaya dan publiknya untuk meningkatkan kondisi ekonomi politik di negaranya.
Pengaruh Hallyu dan K-Wave di Indonesia berdampak signifikan terhadap perilaku dan gaya hidup masyarakat. Budaya Korea telah menjadi sangat populer di kalangan remaja dan orang dewasa berusia dua puluhan dan tiga puluhan, tanpa memandang jenis kelamin. K-Wave telah memicu kecintaan terhadap musik K-Pop, mendorong penggemar untuk meniru gaya hidup idola mereka, mengembangkan obsesi terhadap mereka, dan membeli album serta pernak-pernik terkait. Internet dan berbagai platform media sosial, yang menawarkan informasi dalam berbagai bahasa, telah memfasilitasi penyebaran gelombang Korea. Selain itu, banyak penggemar dan non-penggemar menyediakan layanan penerjemahan untuk drama dan musik K-pop, membantu mengatasi kendala bahasa. Kaum muda, sebagai pengguna media sosial yang aktif, menghabiskan banyak waktu daring. Sebuah survei oleh Kumparan mengungkapkan bahwa 56% penggemar K-Pop menghabiskan 1 hingga 5 jam setiap hari menjelajahi media sosial untuk mendapatkan informasi terkini tentang idola mereka, sementara yang lain menghabiskan lebih dari 6 jam. Penggemar juga terlibat dalam aktivitas lain, seperti mengonsumsi konten yang diunggah oleh idola mereka atau streaming video musik mereka.
ADVERTISEMENT
Penggemar K-pop terlibat dalam aktivitas yang dikenal sebagai "fangirling" di media sosial, istilah yang merujuk pada antusiasme yang intens atau terkadang ekstrem terhadap grup idola tertentu. Penggemar wanita disebut sebagai "fangirl," sedangkan penggemar pria dikenal sebagai "fanboy." Melalui komunitas penggemar, penggemar dapat mengekspresikan diri, mendiskusikan idola mereka, dan berbagi informasi. Komunitas ini sering berinteraksi dan berkomunikasi melalui jejaring sosial seperti Twitter. Selain konsumsi digital, penggemar K-Pop juga terlibat dalam berbagai aktivitas seperti membeli album, tiket konser, dan pernak-pernik, serta menjadi relawan. Fenomena budaya populer seperti K-Pop telah menciptakan pola konsumsi yang berbeda di kalangan penggemar. Mengikuti tren mode, bereksperimen dengan barang-barang baru, mencari pengakuan sosial, dan membeli produk-produk menarik merupakan beberapa faktor umum yang mendorong perilaku konsumen. Akhir-akhir ini, salah satu aktivitas yang populer di kalangan penggemar K-Pop adalah membaca cerita di platform seperti X dan TikTok, yang biasa dikenal sebagai Alternative Universe atau AU. Dalam cerita fiksi ini, penggemar membayangkan idola mereka di dunia yang berbeda, yang menawarkan mereka kesempatan untuk mengekspresikan ide dan emosi mereka. Keterlibatan kreatif ini membantu penggemar mengembangkan hubungan emosional yang lebih dalam dengan idola mereka. Pola konsumsi penggemar K-Pop remaja—membeli produk seperti album, photocard, poster, lightstick, dan pernak-pernik lainnya—didorong oleh keinginan untuk mengonsumsi "tanda-tanda". Produk-produk ini dipandang sebagai simbol yang menawarkan rasa kepuasan dan klasifikasi sosial dalam fandom, seperti diberi label sebagai penggemar fanatik atau penggemar dengan status tinggi. Konsumsi tanda ini terkait erat dengan penggunaan media sosial secara aktif oleh penggemar remaja. Penelitian Liyani (2021) mendukung hal ini dengan menunjukkan bahwa Instagram secara signifikan memengaruhi perilaku konsumen penggemar K-Pop karena makna yang mereka peroleh dari pengalaman mereka terlibat dengan konten K-Pop di platform tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pengamatan peneliti di platform media sosial X, penggemar K-Pop menunjukkan berbagai perilaku konsumen. Sebagian penggemar membeli tiket konser dari calo dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga aslinya. Mereka juga membeli merchandise idola melalui jastip (jasa perantara), yang seringkali lebih mahal dibandingkan dengan membeli secara langsung. Perilaku konsumen penggemar K-Pop tidak hanya sekadar memuaskan hasrat atau keinginan; perilaku ini mencerminkan konsumsi terhadap tanda-tanda, yang semakin penting seiring dengan meningkatnya aktivitas penggemar. Tindakan pembelian tidak hanya tentang memperoleh barang, tetapi juga tentang memenuhi kebutuhan konsumsi yang terkait dengan status dan identitas dalam fandom.