Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Guru di Era Digital: Keterampilan Teknis dan Pedagogis, Mana yang Lebih Penting?
14 September 2021 13:23 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Indonesia Mengglobal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi digital menuntut para pendidik terus beradaptasi. Tak terkecuali bagi Akbar Rafsanzani, guru sekolah dasar asal Sumatera Selatan yang saat ini menempuh studi S2 jurusan pendidikan di University of Hull, Inggris. Apa saja pelajaran yang dia petik? Akbar berbincang dengan Kolumnis Indonesia Mengglobal , Rio Tuasikal.
ADVERTISEMENT
Indonesia Mengglobal (IM): Halo Akbar! Boleh ceritakan sekarang lagi kuliah dimana dan sibuk apa?
Akbar Rafsanzani (AR): Halo Indonesia Mengglobal. Sekarang aku lagi ambil Master of Arts (MA) in Education dengan spesialisasi digital technologies di University of Hull. Sekarang aku sedang sibuk mengerjakan disertasi. Fokus disertasiku adalah fenomena guru-guru Sekolah Dasar (SD) di Indonesia yang pada masa pandemi ini rajin ikut pelatihan guru online, salah satunya untuk bikin video digital. Jadi aku mencoba menangkap dan illuminate bagaimana sih pengalaman guru ikut pelatihan online, motivasinya, tantangannya, perspektif mereka mengenai pelatihan online.
IM: Wah, menarik sekali penelitianmu. Boleh ceritakan sedikit latar belakangmu sebelum kuliah di Inggris?
AR: Jadi, statusku adalah guru SD di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan. Itu posisinya kurang lebih 4-5 jam dari kota Palembang. Aku punya pengalaman mengajar selama 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Sebelum lanjut kuliah, aku juga lumayan aktif di berbagai kegiatan pendidikan, seperti komunitas guru, ikatan guru, organisasi profesi guru, plus juga kawan-kawan NGO. Jadi kalau di dunia pendidikan memang cukup aktif.
IM: Banyak sekali ya kegiatanmu. Nama komunitasnya apa nih dan apa saja kegiatannya?
AR: Nama komunitasnya Digital Education Communitiy. Jadi kami komunitas yang fokus ke peningkatan kompetensi guru. Kami bangun wadah dimana guru-guru yang punya pengalaman dan praktik penerapan teknologi untuk saling berbagi best practices, kenapa mereka pakai teknologi, dan apa teknologi yang dipakai. Jadi, kami biasanya mengadakan workshop, seminar, bincang guru, kemudian focused group discussion. Kami juga berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Intinya supaya para guru nggak merasa sendirian, ada temen curhat dan ngobrol.
IM: Apa tantangan yang dihadapi oleh guru-guru di PALI?
AR: Tantangannya adalah akses dan pengetahuan. Masih susah menjaring guru-guru ke komunitas karena kami juga sumber dayanya terbatas. Kemudian, tantangan selanjutnya setelah workshop adalah keberlangsungannya. Mungkin para guru coba beberapa kali, tapi ya sudah. Jadi insentifnya tuh perlu macam-macam. Terakhir kegiatan itu 2019 sebelum pandemi, kebetulan kami dapat hibah Doing Good Challenge. Kami saat itu melatih guru-guru bikin video pembelajaran. Jadi sebelum pandemi ini heboh, kami sudah melatih guru-guru itu sih untuk bikin video.
ADVERTISEMENT
IM: Pas sekali ya karena 2020 ada pandemi dan proses belajar mengajar pindah online...
AR: Kami nggak tahu bakal ada pandemi sih… Awalnya kami melihat video pengajaran itu bisa didistribusikan, bisa disaksikan lebih banyak orang. Respon guru-gurunya alhamdulillah baik juga. Di sisi lain, karena kabupaten kami kabupaten baru, rata-rata proposal pelatihan dan pelatihan segala macam tuh didukung sama pemerintah karena memang hal ini dibutuhkan sama guru-guru.
IM: Apakah ini yang membawamu kuliah sekarang di jurusan MA in Education dengan fokus digital technologies?
ADVERTISEMENT
AR: Ya, itu salah satu alasannya. Sebenernya tren kebijakan pemerintah sekarang kan ke pembelajaran digital. Percaya bahwa teknologi itu bisa meningkatkan kualitas dan akses pendidikan. Mau menjembatani ide-ide dari pemerintah pusat ke provinsiku. Dan ketika daftar Beasiswa Chevening, yang kubawa adalah pengalaman tadi.
ADVERTISEMENT
IM: Wah, keren sekali! Jadi belajar apa saja nih?
Pas kuliah tidak semua ekspektasi itu terpenuhi. Ternyata dosen-dosenku sangat kritis. Literatur yang dipublikasi oleh profesorku tuh bilang kalau teknologi belum tentu inovatif dan personalised karena standar gurunya belum tentu bisa memanfaatkan itu. Jadi tujuannya adalah punya digital wisdom atau kebijaksanaan dalam memilih teknologi. Nggak semua teknologi itu harus dipilih. Guru-guru tuh nggak semuanya harus mengenal semua jenis teknologi karena belum tentu dia sudah mapping and menyadari kapasitas mereka, infrastruktur yang ada, dan empati ke siswanya seperti apa.
Bisa jadi guru-guru itu hanya tahu skill teknologinya saja, misalnya menampilkan video atau buat video, tapi guru nggak ngerti kontennya itu relevan atau tidak. Apakah videonya bisa menciptakan diskusi di kelas? Itu kan ketrampilan pedagogis. Itu kemampuan memilih konten. Kemudian tujuan pembelajarannya apa? Itu adalah fundamental pedagogical skills.
ADVERTISEMENT
Kita berasumsi semua guru sudah mengerti pedagogi. Seolah-olah secara tidak langsung pedagogi mereka juga bertumbuh, cara mengajarnya, dan adaptasi lingkungannya. Padahal gurunya juga harus terus mengasah kemampuan pedagogisnya. Faktanya banyak riset yang bilang guru-guru itu fokus hanya ke technological skills dan jatuhnya mereka cuma memindahkan format pengajaran tradisional ke online space saja. Bukunya sama, bahan pelajarannya sama. Ujungnya siswa juga bosan. Kalau desain pembelajaran nggak bikin siswa penasaran, ya buat apa? Mau pake teknologi secanggih virtual reality atau augmented reality sekali pun.
IM: Ternyata technological dan pedagogical skills harus berjalan beriringan ya... Apakah itu pelajaran yang mau dibawa ke PALI?
AR: Ya, mungkin itu yang akan kubawa ke Indonesia. Sebelum bikin workshop tertentu jangan lupa kemampuan pedagogisnya, kemampuan utama gurunya, dan mengetahui gurunya ini butuh apa sih? Ketimbang ‘kayaknya guru butuh pelatihan X’ dan langsung kita buat. Jadi mendengarkan guru dari akar rumputnya dulu itu yang lebih penting.
ADVERTISEMENT
Sementara Kalau dari segi siswa sih aku sudah menangkap beberapa best practice yang mau aku coba ke siswa-siswaku dulu nanti. Sekarang mau kembali ke hal-hal yang fundamental, apa yang benar-benar bakal berguna di kehidupan. Dari segi guru dan komunitas sebenernya sudah bawa beberapa hal. Kalau misalnya bawa ide pembaharuan teknologi, harus secara jelas menyebutkan pro dan kontra-nya. Jadi tidak hanya sugar coating yang bagus-bagusnya saja.
Kemudian kita harus juga mendorong guru-guru untuk menganalisa teknologi. Bukan hanya di level tahu dan bisa secara teknis. Tapi apakah dia bisa membandingkan dan menganalisa secara kritis kenapa teknologi tertentu diperlukan dan apa justifikasinya? Kalau kurang, kurangnya di mana? Apa bisa disubtitusi sama teknologi lain? Itu yang mau aku ingin perbaiki sekembalinya ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
---
Profil Narasumber: Muhammad Akbar Rafsanzani tengah menyelesaikan MA in Education di University of Hull, United Kingdom, dengan dukungan Beasiswa Chevening. Akbar menamatkan pendidikan S1 bidang pendidikan di Universitas Sriwijaya sebelum menjadi guru SD di Kab. Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan. Akbar mendirikan Digital Education Community pada 2018 yang mewadahi dan melatih para guru untuk mengembangkan ketrampilan digital.
Profil Penulis: Rio Tuasikal adalah Kolumnis untuk UK & Europe Indonesia Mengglobal 2021-2022. Penulis tengah menamatkan pendidikan MA Media and Communications di Goldsmiths, University of London. Sebelumnya, penulis menjadi jurnalis dan meliput dari Jakarta dan Washington, DC.