Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Cerita Mahasiswa Asal Dompu, Pindah Kuliah Akibat Akreditasi Kampus di Makassar
24 Juli 2020 20:07 WIB
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Kota Makassar adalah daerah tujuan studi cukup penting bagi warga Kabupaten Dompu maupun Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tiap tahun puluhan bahkan mungkin ratusan mahasiswa kedua daerah ini memilih Makassar sebagai tempat menuntut ilmu.
ADVERTISEMENT
Faktor jarak menjadi alasan bagi banyak orangtua mengirimkan anak-anaknya merantau ke kota ini. Mereka tersebar di berbagai kampus negeri maupun swasta di Kota Daeng tersebut. Meskin hanya mengandalkan transportasi kapal laut Pelni 2 kali sebulan, nyatanya Makassar tetap jadi pilihan kuliah bagi sebagian besar masyarakat Dompu dan Bima. Tradisi tersebut bahkan sudah berlangsung puluhan tahun lalu hingga sekarang.
Tetapi kini sejumlah mahasiswa asal Kabupaten Dompu yang tengah kuliah di Universitas Indonesia Timur (UIT), Makassar, mengaku resah karena status akreditasi program studinya tak jelas. Menurut Wawan (23), salah satu mantan mahasiswa Fakultas Farmasi kampus swasta tersebut, keresahan itu karena banyak program studi yang sudah kedaluwarsa.
“Banyak Prodi yang sudah habis masa berlaku akreditasinya,” ujar warga Dusun Rasabou Desa Tembalae Kecamatan Pajo, ketika ditemui, Selasa (15/7).
Menurut mahasiswa angkatan 2015 ini, hal tersebut mengancam keabsahan ijazah maupun saat mencari kerja setelah mereka tamat. Karena itu, kata dia, keabsahan akreditasi menjadi penting bagi para mahasiswa maupun alumni. Di sisi lain pihak kampus, kata dia, terkesan menutup-nutupi masalah tersebut sehingga menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan, sebenarnya masalah tersebut sudah cukup lama dipertanyakan mahasiswa tapi cenderung diabaikan oleh pengurus kampus maupun pihak yayasan. Menurut aktivis mahasiswa ini, sejak dirinya masuk gejolak tersebut sudah mulai muncul. Hingga kini kejelasan akreditasi sejumlah Prodi tersebut terus menggantung.
“Perwakilan mahasiswa juga bahkan demo hingga ke Jakarta untuk minta kejelasan soal ini,” kata Wawan.
Dia menambahkan, tanda-tanda kampus tersebut bermasalah sudah terlihat seperti di fakultasnya, Farmasi, misalnya jumlah mahasiswa yang tidak seimbang dengan jumlah dosen.
“Di kelas saya berisi 40 hingga 47 orang,” akunya.
Padahal, kata dia, jumlah mahaiswa sebanyak itu tentu tidak sesuai aturan. Untuk Prodi eksakta jumlah mahasiswa dalam 1 kelas maksimal 25 orang sedangkan prodi ilmu sosial maksimal 35 orang. Jumlah mahaiswa jumbo tersebut, kata Wawan, menurunkan kualitas perkuliahan. Wawan juga menyebut keanehan lain seperti besaran SPP (Sumbangan Pelaksanaan Pendidikan, red) yang tergolong murah.
“Di Fakultas saya SPP hanya 1,3 juta per semester,” katanya.
ADVERTISEMENT
Tetapi dia menduga hal itu hanya akal-akalan pihak kampus karena sengaja menurunkan komponen biaya SPP tapi menaikkan biaya lainnya.
“Memang SPP-nya murah tapi biaya lain-lainnya banyak sekali sehingga jatuhnya juga mahal. Saya sampai lupa komponen-komponen biaya lainnya tersebut saking banyaknya,” ujarnya terkekeh.
Jika ditotal, kata dia, dalam satu semester ia membayar hingga Rp 4 juta.
Perselisihan bahkan konflik antara mahasiswa yang menuntut kejelasan akreditasi dengan pihak kampus menjadi tidak terhindarkan. Wawan menyebutkan, bahkan pihak kampus menyewa jasa preman untuk menakut-nakuti mahasiswa yang mempertanyakan hak-haknya. Karena perselisihan itu cukup lama, kata Wawan, sampai LLDikti turun tangan.
“Usai demo teman-teman di Jakarta LLDikti (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, red) kemudian turun tangan membantu. Mahasiswa difasilitasi oleh LLDikti untuk pindah ke kampus lain bagi yang mau,” katanya sembari menegaskan pihak yayasan juga sering melakukan pergantian rektor.
ADVERTISEMENT
“Iya, selama saya kuliah saja rasanya sudah 4 kali rektor diganti,” ujarnya prihatin.
Meski begitu tidak semua mahasiswa bersedia pindah. Beberapa tetap bertahan di kampus lama. Wawan menduga hal itu selain karena prosedur perpindahan yang cukup lama yakni hampir 2 bulan, juga kampus membujuk dan memberikan iming-iming kepada mahasiswa agar tidak ikut pindah, seperti membebaskan dari pembayaran kuliah.
Wawan sendiri memutuskan pindah kuliah ke sebuah kampus swasta lain di Makassar tapi tetap di Prodi yang sama pada 2018 lalu. Beberapa temannya asal Dompu juga ada yang ikut pindah tapi ada juga yang tetap bertahan tak mau pindah. Dia menyebut nama salah satu teman sekampung yang kini sedang menghadapi tugas akhir skripsi.
ADVERTISEMENT
“Saya dengar dia hendak ujian skripsi tapi tidak berani diekspos karena terkait legalitas akreditasi Prodinya,” kata Wawan.
Tapi ada juga 2 orang temannya yang memutuskan keluar sama sekali dan tak mau melanjutkan kuliah di tengah kemelut kampus tersebut. Wawan juga menyebut kuatnya bekingan pemilik kampus tersebut sehingga LLDikti pun seolah tidak berani menindak pelanggaran.
“Pemiliknya bahkan duduk sebagai anggota DPR sekarang,” ujarnya.
Meski dengan risiko terlambat masa studinya, tapi Wawan mengaku pasrah atas keputusan yang diambilnya. Betapapun, kata dia, keputusan pindah ke kampus lain lebih baik untuk menyelematkan nasibnya daripada bertahan di tengah ketidakpastian di kampus asal.
Saat ini Wawan dan teman-temanya hendak bersiap balik ke Makassar karena kampus sudah aktif kembali sejak virus Corona, tapi terhambat karena tidak ada jadwal kapal yang ke Makassar.
ADVERTISEMENT
Pada 25 Desember 2018, Rakyatku.com memberitakan bahwa UIT pernah dikenakan sanksi administrasi berat selama 6 bulan oleh Kemenristekdikti atas berbagai pelanggaran yang dilakukan. Termasuk keharusan mencabut kembali ijazah mahasiswanya yang telah diwisuda. Ketua yayasan maupun rektor juga diganti sebagai bagian dari upaya perbaikan, sebagaimana diklaim pihak UIT.
-
Ilyas Yasin