Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Foto: Transformasi Desa di NTB, Kerjasama Masyarakat Bawa Perubahan
14 April 2019 20:01 WIB
Diperbarui 9 September 2019 19:31 WIB
ADVERTISEMENT
Info Dompu - "Hampir setiap tempat di Dompu pernah saya sambangi. Selama perjalanan, bukit-bukit silih berganti berjaga di kanan-kiri, sesekali birunya lautan terlihat menyapa dari kejauhan. Di utara, lapangnya Sabana Doro Ncanga mendekap erat tubuh, air di Danau Pulau Satonda memanggil-manggil meminta diselami, dan ada Gunung Tambora yang menjulang tinggi menebar keagungan. Di selatan, debur ombak Pantai Lakey bersorak-sorai sepanjang hari, dan Situs Arkeologi So Langgodu menunggu untuk diteliti dari pedalaman lembah" begitu tulis Setyo Manggala dalam Catatan Penulis di bukunya, Dana Dompu.
ADVERTISEMENT
Setyo resmi me-launching buku pertamanya itu Sabtu (13/4) malam, dihadiri oleh belasan orang terutama dari anak muda Dompu, pejabat Pemda dan tiga kawan Setyo yang tergabung dalam Dou Dompu, sebuah komunitas untuk pengembangan ekonomi kreatif bagi Dompu. Acara ini digelar di kawasan Selaparan, Kecamatan Woja, dan dimulai pukul 17.00 hingga dilanjutkan dengan diskusi sampai pukul 21.30 WITA.
Dana Dompu seperti yang Setyo jelaskan dalam bukunya adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Dompu untuk menyebut tanah tempat tinggal mereka. Dompu sendiri berasal dari bahasa daerah yang berarti dompo atau jalan potong. Jalan potong memiliki makna sebagai sebuah daerah yang keberadaannya tepat di tengah antara daerah satu dengan yang lain. Sehingga jalan terbaik yang perlu ditempuh seseorang ketika melakukan perjalanan adalah dengan melalui Dompu, karena letaknya begitu strategis.
Setyo bercerita tentang proses awal pembuatan bukunya, dengan background pekerjaan sebagai peneliti di sebuah universitas, ia justru datang ke Dompu setelah meng-apply pekerjaan lainnya sebagai fotografer dalam program IKKON (Inovasi Kreatif dan Kolaborasi Nusantara) naungan Bekraf Indonesia dan ia diterima. Setyo akhirnya berangkat ke Dompu bersama 10 orang lainnya yang memiliki profesi berbeda untuk bekerja, berkarya, dan berkolaborasi bersama masyarakat Dompu.
ADVERTISEMENT
Setyo mengaku dalam pekerjaannya sebagai fotografer ia selalu pergi kemanapun, ke berbagai tempat di Dompu. Ia memotret setiap hari bahkan sampai merasa kurang memiliki waktu untuk berkolaborasi dengan masyarakat, apalagi di awal ia juga kesusahan menemukan akses kepada fotografer di Dompu. Tetapi, selama di Dompu ia sudah merasa harus bisa berkarya dengan cara apapun. Sebagai seorang peneliti ia selalu berpikir untuk menggunakan pengetahuannya, untuk bisa melihat, mengkaji, mengetahui, menggali, dan bisa mengolah data-data yang telah diperoleh, hingga dalam beberapa waktu di Dompu ia telah memiliki keinginan untuk membuat buku fotografi tentang Dompu ini.
Setyo juga memiliki prinsip hidup yang men-drive-nya untuk tetap bekerja, teguh memegang Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Penelitian, Pengabdian, dan Pengabdian pada Masyarakat. Ia mengaku akan merasa berdosa jika ia tidak bisa mendiseminasikan dirinya untuk Dompu, bahwa ada satu cara baginya untuk melakukan pengabdian yaitu melahirkan buku ini.
ADVERTISEMENT
Hal lain diceritakan Setyo tentang keberadaan perpustakaan daerah Dompu. Ia mengaku tidak bisa menemukan buku-buku yang menarik untuk dibaca. Katanya, Dompu juga tidak memiliki toko buku yang menjadi tempat masyarakatnya bisa mengakses informasi, apalagi orang luar yang datang ingin mencari tahu tentang Dompu.
Padahal menurut Setyo, di tengah perkembangan zaman yang begitu pesat seperti saat ini, orang Dompu harusnya punya filtrasi yaitu memiliki rasa kebanggaan dengan budaya dan sejarahnya sendiri. Semua itu bisa dimulai dengan membaca atau memahami potensi daerah dari literasi yang ada. Setyo mengaku tidak masalah jika di tempat asalnya, perpustakaan menjadi rumah hantu, tetapi di Dompu yang memiliki bentang alam dan tradisi yang luar biasa, itu membuat Setyo heran mengapa tidak ada seorang pun yang menyajikan produk buku yang menarik.
ADVERTISEMENT
"Kok nggak ada yang bisa menyajikan semua itu dengan cara yang asyik dan komprehensif ya di Dompu ini, makanya saya memang meniatkan untuk membuat buku fotografi tentang Dompu ini" ungkap Setyo.
Dalam launching bukunya, Setyo tak sendiri, ia juga ditemani tim yang membantunya dalam proses penulisan. Di antaranya Muhammad Iradat sebagai Ketua Majelis Makka Dana Dompu, Syafruddin yaitu Peneliti Budaya Dompu, dan Surfan Edy Yanto yang merupakan Fotografer Dompu.
Bekerja bersama tim yang membantunya ternyata masih membuat Setyo mengalami beberapa hambatan, salah satunya sulit dalam berkomunikasi dan konsultasi khususnya dengan Iradat dan Syafruddin sebagai budayawan Dompu. Hambatan di antara mereka inilah yang akhirnya membuat adanya kekeliruan penting dalam penulisan.
ADVERTISEMENT
Iradat, pada saat diberi kesempatan untuk menanggapi isi buku. Ia menyatakan ada kekeliruan dalam penamaan suku dan bahasa mbojo untuk masyarakat Dompu. Iradat pun tak menampik bahwa kekeliruan tersebut disebabkan oleh komunikasi dirinya dengan sang penulis yang tidak efektif, telepon seluler milik Iradat pada saat itu rusak.
Terkait penamaan suku, Iradat menjelaskan bahwa suku Dompu berbeda dengan suku mbojo, begitu pula dengan bahasa yang digunakan masyarakat Dompu yaitu bahasa Dompu.
"Kami di Dompu, terutama dalam beberapa waktu terakhir ada polemik di dunia maya, bahwa kami sebagai pemerhati budaya dan sejarah ingin punya nama dari suku sendiri dan tidak mengada-ngada. Di Badan Pusat Statistik itu tertera suku mbojo, suku Dompu, suku donggo, dan suku-suku lain yang ada di Pulau Sumbawa" ujar Iradat.
Iradat juga menyebutkan ada manuskrip-manuskrip kuno yang menyatakan bahwa warga Dompu tidak bersuku mbojo. Begitu pula terkait bahasa Dompu, bahwa masyarakat Dompu sejak awal menggunakan bahasa Dompu.
ADVERTISEMENT
"Catatan kesultanan kita, Bo Kesultanan Dompu menuliskan bahwa kita berbahasa Dompu, tidak berbahasa mbojo" tegas Iradat dalam sesi penyampaian saran atas buku ini.
Diceritakan Iradat bahwa menurut sejarah, Sultan Dompu atau Manuru Kupa yaitu Sultan Muhammad Sirajuddin diasingkan selama 13 tahun. Pada saat itu Kesultanan Dompu tidak punya pemimpin, sehingga Belanda memaksa Kesultanan Bima untuk merawat Dompu dan terjadilah aneksasi atau penggabungan kedua wilayah tersebut. Jadi, itulah yang selama ini membuat Dompu seolah satu suku dan bahasa dengan bima atau mbojo.
"Jika ada yang menanyakan kenapa orang Dompu begitu risih dengan penyebutan suku mbojo, saya tekankan kita tidak sedang mengkampanyekan etnosentris tapi kita mau meluruskan sejarah, agar tidak ada lagi anggapan bahwa Dompu ini subordinate atau dimarjinalkan terus menerus. Kita tidak boleh atau tidak mau diinjak, kita harus sejajar dan sama" tegas Iradat.
Terkait kekeliruan tersebut, Iradat berharap apabila ada cetakan selanjutnya atau edisi revisi agar Setyo membenarkan penulisan suku dan bahasa tersebut. Iradat yang ditemui saat acara selesai ternyata juga sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Setyo dan kawan-kawannya dengan komunitas Dou Dompu.
ADVERTISEMENT
"Kawan-kawan ini bisa kita katakan sebagai pahlawan kita, karena selama ini sebagai komunitas lokal ada yang merasa seperti jalan sendiri, sporadis dan spontan. Sedangkan kawan-kawan IKKON dan Bekraf ini, cara mereka berkarya seperti peluncuran buku ini membuat kita sebagai generasi Dompu bangga sekaligus malu dan 'tertampar', tapi itu semakin memantik kita untuk berkarya lebih baik dari apa yang dilakukan oleh orang dari luar Dompu" puji Iradat.
Syafruddin sebagai peneliti budaya juga memberikan tanggapan terhadap buku ini. Ia mengatakan bahwa sejauh ini setiap orang sangat merindukan karya independen atau bukan buku pesanan, yang dikerjakan oleh ahlinya dengan visualisasi yang manarik dan tidak lepas dari yang namanya kolaborasi. Narasi-narasi yang dibuat dalam buku ini juga adalah hasil kolaborasi dengan orang-orang yang mengerti.
ADVERTISEMENT
"Karya ini adalah sesuatu yang luar biasa, dan justru dikerjakan oleh orang di luar Dompu dalam waktu yang cukup singkat dan alhamdulillah kita dilibatkan di dalamnya" ujar Syafruddin tersenyum saat ditemui setelah acara usai.
Adapun tanggapan yang diberikan Surfan Edy Yanto sebagai Fotografer Dompu, ia mengatakan bahwa setelah ia membaca dan melihat foto, berulang-ulang ia lakukan hingga ia memuji bahwa buku fotografi dan narasi ini sudah cukup bagus. Bahkan pada saat pemaparan di depan peserta, ia secara jujur mengatakan bahwa sudah bercita-cita memiliki karya buku seperti ini sejak lama.
"Kesempurnaan dalam sebuah karya itu tidak ada, karena kesempuranaan hanya milik Tuhan. Bagi saya karya ini cukup bagus, sudah enak di frame-nya, kontennya juga enak. Dari foto lanskap sudah bisa memadukan komposisi foto yang bagus" ujar lelaki yang akrab disapa Edwar ini.
ADVERTISEMENT
Membuat buku fotografi dan narasi tentang Dompu memang membuat setiap orang mengapresiasi apa yang dilakukan Setyo. Bukan saja waktu dan pikiran yang ia habiskan, bahkan materi yang ia miliki dipergunakan untuk mencetak 39 eksemplar buku tanpa adanya sponsor untuk ia bawa pada saat lauching tersebut. Harga per eksemplar bukunya cukup mahal bagi peserta yang hadir yaitu Rp 600 Ribu.
"Saya menyadari buku ini mahal, karena ini berawal dari saya bertemu seseorang yang pernah me-layout buku fotografi sejenis ini. Ia mengatakan pada saya, buat segala sesuatunya terbaik tapi meminimalisir cost. Dia juga mengatakan bahwa cerita tentang Dompu adalah cerita internasional, agar bagaimana caranya ini bisa dipasarkan secara internasional, tentunya dengan kualitas buku yang sesuai standar. Jadi, memang saya membuat buku ini untuk bersaing di pasar internasional" terang Setyo.
ADVERTISEMENT
Setyo pun tidak menutup kemungkinan jika ada saran nantinya untuk membuat book paper yang harganya sangat terjangkau terutama bagi masyarakat Dompu, ia pun akan mengerjakannya nanti, karena sekarang ia ingin fokus menjual karyanya di pasar internasional.
"Ketika berbicara tentang Dompu, mungkin wisatawan yang datang itu bukan masyarakat lokal karena mereka pasti akan berpikir untuk apa mengabiskan uang untuk perjalanan pulang pergi Jakarta ke Dompu. Tetapi ketika berbicara tentang foreigner atau orang asing, misalnya yang ada di Bali, itu adalah target pasar bagi Dompu. Itu yang saya kejar" jelas Setyo.
Terdapat sebuah pemikiran Setyo untuk optimis dengan apa yang dia lakukan, bahwa ia diajarkan bukan untuk mencari uang untuk berkarya, melainkan harus berkarya lebih dahulu untuk mendapatkan nama atau uang. Buku yang ia tulis ini, baginya seperti anaknya.
ADVERTISEMENT
"Buku ini saya lahirkan, ia seperti anak saya. Tapi pujian atas anak saya, itu adalah miliknya, dengan seperti itu ia akan terus hidup" terang Setyo.
-
Penulis: Intan Putriani