Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Liku-Liku Sineas Remake Film di Indonesia
9 Juni 2022 13:30 WIB
Tulisan dari Inge Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada era kemajuan globalisasi industri film turut diminati oleh masyarakat tidak kecuali di Indonesia. Namun, kualitas industri film di Indonesia dirasa menurun daripada sebelum-sebelumnya. Di tengah maraknya film-film pendek buatan komunitas sosial yang memunculkan isu-isu di masyarakat pada awal tahun 2000, beberapa industri film Indonesia bahkan memproduksi film-film berkualitas rendah, semi-pornografi, dan kekerasan. Hal ini mengakibatkan semakin ketatnya regulasi perfilman. Banyak film yang disensor karena melanggar norma budaya dan agama. Film-film remake yang diproduksi secara besar-besaran diduga menawarkan keuntungan besar di pasar. Bahkan film-film daur ulang ini tidak hanya dinilai mampu meraup keuntungan pasar yang potensial tetapi juga dianggap aman dari lembaga sensor film.
ADVERTISEMENT
Film remake adalah salah satu elemen dari tradisi pengerjaan ulang sinema yang lebih luas yang diadaptasi dari teks sastra, kisah nyata, maupun mitos. Namun, istilah "remake" secara umum dipahami untuk merujuk pada film berdasarkan film dan/atau skenario sebelumnya. Dengan demikian, status "remake" dapat melintasi batas temporal dan spasial saat mereka mereproduksi materi yang ada untuk audiens baru.
Menurut Istilah Televisi & Film (2010), remake adalah reproduksi film yang telah diproduksi sebelumnya. Film Remake dibuat dari sumber cerita yang sama sehingga tidak ada perubahan jalan cerita dan tidak harus menggunakan judul yang sama untuk filmnya. Remake film ini juga dapat dikatakan sebagai adaptasi, seperti yang dikatakan Linda Heutchon dalam bukunya “A Theory of Adaptation”, Remake selalu merupakan adaptasi karena perubahan konteks. Jadi tidak semua adaptasi harus melibatkan pergeseran media atau cara keterlibatan, meskipun banyak yang melakukannya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya banyak film remake yang diproduksi oleh industri perfilman dunia, khususnya Hollywood. Hal ini dikarenakan penonton telah memiliki pengalaman atau bayangan sebelumnya dari cerita aslinya sehingga dalam konteks komersial, film remake menjanjikan keuntungan. Film remake sering dianggap sebagai produk komersial yang memanifestasikan kembali kesuksesan film aslinya untuk meminimalkan risiko dan mengamankan keuntungan di pasar. Menariknya, kemunculan film remake di Indonesia, selain pasar, film remake tidak lepas dari isu sosial politik, khususnya pasca reformasi 1998.
Film remake menjadi tren baru di industri perfilman Indonesia. Puncaknya, film remake berjudul Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) menjadi film terlaris sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Film ini ditonton oleh lebih dari 6,8 juta penonton. Lahirnya film remake memberikan kesan bahwa kreativitas sineas Indonesia semakin menurun. Pasalnya, ide cerita film remake ini diambil dari film yang sebelumnya sukses di pasaran. Dalam kisahnya, film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Bagian 1 menggunakan aktor dan setting baru, tetapi tetap menggunakan karakter dan nama yang sama seperti Dono, Kasino dan Indro. Para aktor didesain semirip mungkin dengan aktor-aktor sebelumnya, seperti dari segi wajah dan sifatnya. Untuk memeriahkan cerita, Indro, salah satu aktor Warkop DKI yang masih hidup, dilibatkan sebagai bayang-bayang Indro baru agar penonton tidak kehilangan citra Warkop DKI di masa lalu. Karakter film ini sama dengan versi asli dari genre humor dengan menggambarkan adegan sensual yang digambarkan melalui Mrs. Boss. Remake Warkop DKI masih dibumbui kritik sosial, seperti mogok kerja, kemacetan di Jakarta, dan korupsi yang merajalela. Kritik sosial dalam film ini disesuaikan dengan kondisi saat ini.
ADVERTISEMENT
Tren film berbasis remake di industri film Indonesia tidak hanya dilihat dari perspektif komersial tetapi juga dari sudut pandang manifestasi tekanan dan tuntutan dari pemerintah, pemilik bioskop, pengiklan, tokoh masyarakat dan kelompok penekan, serta penonton. Tekanan dan tuntutan tersebut dapat mengurangi kebebasan film sebagai media berkreasi dan berekspresi, terutama dalam menciptakan ide cerita film. Masifnya film berbasis remake ini menunjukkan bahwa di satu sisi industri film harus tetap hidup dengan memproduksi film-film yang diminati pasar agar para pemilik bioskop mau memutarnya. Di sisi lain, industri film Indonesia harus tunduk pada kebijakan pemerintah yang cukup ketat saat ini.