Konten dari Pengguna

Drama Musikal Sultan Ageng Tirtayasa Potret Kejayaan Kesultanan Banten Lama

Gianluigi Fahrezi
Mahasiswa kesehatan masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Suka dan berminat pada dunia literasi, terutama dunia bacaan dan penulisan
7 Juli 2024 8:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gianluigi Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret kejayaan Kesultanan Banten Lama dalam pementasan Drama Musikal Sultan Ageng Tirtayasa di Pandeglang, Sabtu (29/6). Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Potret kejayaan Kesultanan Banten Lama dalam pementasan Drama Musikal Sultan Ageng Tirtayasa di Pandeglang, Sabtu (29/6). Dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
Aula SMKN 1 Pandeglang malam itu ramai. Pengunjung dari berbagai kalangan, bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak sibuk berbisik menantikan pagelaran yang sebentar lagi akan tayang. Beberapa saat kemudian, lampu mulai dimatikan dan pembawa acara naik menempati panggung, tanda bahwa acara akan dimulai.
ADVERTISEMENT
Selepas pembacaan sinopsis, muncul seorang bapak-bapak, berusia lebih kurang 40-50 tahun berkacamata dan mengenakan kaos BPK Wilayah VIII berbincang dengan seseorang yang berbaju santai dan mengenakan blangkon. Bapak dari BPK berujar bahwa saat ini dia sedang mencari naskah untuk dipentaskan. Tantangan tersebut diamini oleh sang pemakai blangkon dan dia pun seketika mengambil gunungan wayang.
Dengan gunungan wayang di tangan, langkah tegas mengiringi setiap dialog yang dilontarkan oleh Si Blangkon. Ternyata, Si Blangkon memainkan peran sebagai seorang dalang yang membawakan awal cerita. Si Blangkon tampil percaya diri dengan diiringi oleh kelip lampu dan alunan musik halus yang menambah suasana serius pada tiap dialognya. Beberapa saat kemudian, muncullah sekitar puluhan orang pemain yang bernyanyi-nyanyi dan menari merayakan kesuksesan dan kejayaan kerajaan Banten Lama.
Salah satu pemeran memainkan tokoh "dalang" dengan memegang gunungan wayang. Dokumentasi pribadi
Begitulah kira-kira pembukaan dalam pementasan bertajuk “Pertunjukkan Kolaboratif Sultan Ageng Tirtayasa” yang disajikan di Aula SMKN 1 Pandeglang pada Sabtu, (29/6). Pertunjukkan ini merupakan buah dari lokakarya pedalangan yang digagas oleh Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII selama lima hari sejak tanggal 25 Juni. Lokakarya tersebut diikuti oleh sekitar 50 peserta yang kemudian merangkap juga menjadi pemain teater.
ADVERTISEMENT
Pementasan dan rangkaian lokakarya dibuka oleh Kepala BPK Wilayah VIII, Lita Rahmiati. Lita menegaskan pentingnya proses adaptasi cerita klasik Babad Banten dalam berbagai medium lain agar cerita tersebut tetap lestari dan tidak dilupakan oleh generasi muda. “Banyak banget acara yang digagas oleh BPK VIII untuk pemajuan kebudayaan, informasi itu bisa didapat dari media sosial kami,” pesan Lita dalam sambutannya.
Pementasan dibuka dengan meriah. Setelah gong ditabuh, puluhan pemain laki-laki dan perempuan masuk ke atas panggung membawa pikulan berisi rempah-rempah seperti pala, jahe, dan lainnya. Lewat alunan lagu yang ceria dan semangat, para pemain menyanyikan lagu berisi rasa syukur atas panen rempah yang melimpah. Kesenangan dan kegembiraan jelas terlihat dari ekspresi para pemain menandakan kejayaan Kesultanan Banten sebagai salah satu penghasil rempah yang digdaya di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kemudian dua orang, satu bertubuh gempal dan satu bertubuh ceking masuk ke tengah-tengah khalayak. Terungkap bahwa dua orang ini adalah mandor bernama Sukanta dan Sakib yang mengomandoi panen rempah pada masa itu. Dua tokoh itu berhasil membawakan cerita secara dinamis dengan tingkah dan kelakar-kelakarnya yang segar. Sukanta dan Sakib juga membawakan realitas sosial yang terjadi di masa kini ke dalam dialognya sehingga senantiasa berjalan dinamis.
Potret masyarakat Banten ketika memanen rempah-rempah. Dokumentasi pribadi.
Tidak berlangsung lama, muncullah tokoh utama dalam naskah ini, Sultan Ageng Tirtayasa yang mengenakan jubah kebesaran berwarna merah dan Sultan Haji yang berjalan di belakangnya. Alunan nada beralih menjadi lebih tegas dan keras. Kontur wajah pemain Sultan Ageng Tirtayasa memancarkan wibawa laksana Sultan Banten sungguhan. Terkisah, Sultan Ageng Tirtayasa merupakan sultan yang mampu membawa Banten ke masa kejayaannya pada tahun 1651—1683. Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mampu membuat Banten menjadi bandar perdagangan internasional dan penghasil rempah dunia.
ADVERTISEMENT
Namun, kejayaan tersebut tidak berlangsung lama ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) datang untuk memonopoli perdagangan di Banten. Dalam lakon, para kompeni Belanda ini datang dengan tubuh kekar, mengenakan seragam khas pelaut lengkap dengan topi tinggi dan senapan. Mereka bernyanyi dan berkeliling dengan gestur pongah dan kaku. Semula, tiga orang kompeni ini nampak kagum dengan kekayaan alam dan kecantikan masyarakat Banten. Timbullah ketamakan untuk menguasai wilayah Banten.
Kelak, antek-antek VOC ini menerapkan sistem politik devide et impera, atau politik pecah belah. Lewat anak Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Haji, para kompeni masuk dan menghasut Sultan Haji agar mau melawan ayahnya yang terkenal keras terhadap orang-orang Belanda. Mereka menjanjikan kekayaan dan kekuasaan serta bala bantuan kepada Sultan Haji apabila mau membantu menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten.
Kedatangan Kompeni Belanda menjalankan politik devide et impera untuk merebut kekuasaan di Kesultanan Banten. Dokumentasi pribadi.
Perang pun pecah. Masyarakat yang semula menyambut panen rempah kini berlarian tunggang langgang dikejar kompeni. Serdadu Belanda menembaki dan mayat mereka bergelatakan di panggung pementasan. Pada bagian akhir cerita, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjara oleh gerombolan Belanda bersama Sultan Haji.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya diam, rakyat yang semula sudah jatuh bergelimpangan perlahan-lahan mulai bangkit dan melawan. Tangan mereka terkepal tinggi ke atas sembari menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Mereka mendekati, mengerumuni para serdadu Belanda dengan tatapan tajam memburu. Namun, apa daya, semangat mereka belum mampu mengalahkan taktik licik yang dijalani oleh para kompeni.
Lampu kemudian dinyalakan dan Si Blangkon kembali masuk ke atas panggung. Seluruh pemain membeku. Gerak gunungan berpindah lincah melalui tangan si blangkon. Lewat kalimat penutupnya, Si Blangkon berharap agar kisah yang baru disampaikan tidak dilupa dan generasi kini dapat memetik pelajaran darinya. Tabik.