Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sejarah Dunia Perfilman di Indonesia
22 April 2024 14:16 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Intan Ayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1900 penduduk Batavia kedatangan gambar hidup atau film melalui peristiwa pertunjukan besar yang pertama di manage Tanah Abang Kebon Jahe. Pada awal kehadiran film di Indonesia hanya kaum Eropa yang bisa menyaksikan. Menjelang 1920-an kaum pribumi punya kesempatan menonton film setelah ada kebijakan kelas penonton. Hingga tahun 1920-an Perfilman di Indonesia hanya milik kaum Eropa yang berupa film impor dari Prancis dan Amerika, meliputi film dokumenter dan film cerita yang bisu. Dua tahun sesudah tahun 1900, muncul bioskop keliling dan bioskop rakyat. Pembuatan film hanya dilakukan orang-orang Belanda atau orang Eropa. Pada masa itu lahir film Onze Oost atau Timur Milik Kita yang dibuat tahun 1919.
ADVERTISEMENT
Tahun 1924 muncul polemik di koran-koran mengenai perlunya Hindia Belanda membuat film sekaligus menjadi objek pembuatan film sebagai proyek film untuk kaum Bumiputera. Tahun 1926 atas inisiatif L Huffle Door dan Kruegers dengan dukungan bupati Bandung Wiranatakusumah kelima, dibuat film cerita berjudul Lutung Kasarung atau cerita legenda Jawa Barat dengan seorang gadis pribumi sebagai pemainnya. Itulah awal orang Indonesia main film dan ada film cerita dibuat di Indonesia. Hal ini menjadi permulaan yang berani karena harus menghadapi persaingan dengan film-film Hollywood.
Mulai tahun 1930, perfilman di Indonesia berkembang dalam paham industri. Selain El Huffle Door dan Krugers, terdapat F Carly keturunan Italia kelahiran Bandung. Kemudian muncul orang-orang Cina, yakni Wong bersaudara yang terdiri dari Nelson Wong, Joshua Wong dan Oatmeal Wong. Orang Cina lainnya yang terjun ke film adalah The Teng Chun yang bisa disebut orang Timur pertama yang membuat film di Indonesia. Masa-masa ini mulai lahir film bicara atau tidak bisu. Film pertama yang dibuat oleh orang Cina berjudul Lili van Java dan dibuat di Jakarta. Dari The Teng Chun lahir film Bunga Rose dari Cikembang (1931) dan dari Wong bersaudara lahir film Nyai Dasima tahun 1932. Dalam semangat industri pula dua kekuatan non pribumi Rugers dan Wong bersaudara melakukan kerjasama produksi tahun 1937 yang melahirkan film Terang Boelan dengan sutradara Albert Balink.
Seorang wartawan bernama Sairun yang menjadi penasehat di perusahaan Wong bersaudara memunculkan gagasan perlunya memanfaatkan seni tonil atau sandiwara yang kala itu mewarnai hasanah seni pertunjukan di Indonesia. Artis-artis Dardanella kelompok tonil yang paling terkenal masa itu pimpinan Anjar Asmara yang juga wartawan diajak main film. Mulailah lahir artis-artis pribumi antara lain Rukyah dan Raden Mochtar.
ADVERTISEMENT
Tahun 1934, pelaku industri film membentuk organisasi gabungan bioskop Hindia atau Netherlands Indische bioskop Bone menyusul adanya organisasi gabungan importir film atau Bone van Film Importers. Ketika dalam organisasi itu masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana nasionalisme, pemerintah mencurigai sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka. Pemerintah Hindia Belanda membentuk film komisi atau badan sensor film.
Tahun 1940-an menjadi masa produktif film di Indonesia, adanya sensor film tidak membuat kreativitas dan industri film surut. Tahun 1940 produksi 13 judul, tahun 1941 menjadi 32 judul. Masa ini bisa disebut masa keemasan pertama film Indonesia. Pada tanggal 28 Juli 1940 lahirlah organisasi bernama Sari atau Sarekat Artis Indonesia yang digagas oleh wartawan Indonesia Tionghoa dan Belanda bertempat di Present Park atau Lokasari Jakarta yang dihadiri 58 aktivis film, pencetusnya adalah Sairun dan Muhammad Sier.
ADVERTISEMENT
8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang, Jepang menutup semua perusahaan film, termasuk milik gif wong bersaudara. Jepang Mendirikan perusahaan film bernama Jawa, pada September 1942 berubah menjadi Jepang di phone Egasha pada April 1943. Strategi politik Usmar Ismail, Jayus Siagian, dan Jaya Kusuma menghidupkan klub diskusi film lalu merintis sekolah film di Jogja, namun baru beberapa bulan ditutup pemerintah militer Jepang. Masa-masa inilah Usmar Ismail membuat sajak berjudul Citra, lalu Cornel Simanjuntak membuatkan lagunya. Sajak dan lagu Citra lolos untuk dimuat di majalah Jawa Baru. Pada Desember 1943 sajak dan lagu Citra difilmkan oleh Usmar Ismail.
Revolusi yang melahirkan negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyebabkan berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan. Sandiwara Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, dan lain-lain mendirikan Perkumpulan Seniman Merdeka. Syamsudin Syafei menggerakkan kelompok Ratu Asia studio film milik Jepang. Nippon Ega Siak direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan RM Sutarto.
ADVERTISEMENT
Kemudian, lahir berita film Indonesia atau BFI di Yogyakarta pada tahun 1946 yang dirintis sekolah film Cine Drama Instituut atau CDI antara lain oleh Jamaluddin Malik dan Mr Sujarwo. Lalu muncul sekolah film KDA dirintis Buyung Sri Murtono dan lain-lain. Mereka juga mendirikan Stitching Hiburan Mataram yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit.
Saat kembali ke Jakarta setelah mengungsi di Yogyakarta dari 1945 sebagai wartawan yang ikut meliput Perjanjian Renville, Usmar Ismail ditangkap pihak Belanda dan bebas tahun 1949. Saat keluar dari tahanan, Usmar Ismail membentuk perusahaan film nasional Indonesia atau Perfini bersama Jamaluddin Malik. Dari sinilah lahir film The Long March atau Darah dan Doa yang syuting pertamanya pada tanggal 30 Maret 1950. Peristiwa ini dijadikan Hari Film Indonesia atau hari kelahiran film Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tahun 1954 Usmar Ismail membentuk organisasi gabungan produser film Indonesia, kemudian menjadi Perserikatan Produser Film Indonesia. Selanjutnya, berubah menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia atau PPFI. Para seniman beranggapan bahwa film harus bermutu, sedangkan para pedagang film dan pengusaha bioskop tentu mengejar penonton. Hal ini menjadi perselisihan paham antara kedua belah pihak. Festival Film Indonesia tahun 1955 menjadi upaya jalan keluar atas perselisihan tersebut. Hasilnya menuai kontroversi karena film terbaik jatuh pada Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, tetapi sutradara terbaik adalah Lilik Sudjio lewat film Tarmina. Aktor dan aktris terbaik masing-masing dua orang dari kedua film tersebut, mereka adalah A. N. Alcaff dan Abdul Hadi serta Dhalia dan Fifi Young.
ADVERTISEMENT
Tahun 1956 para wartawan film mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia atau Perpefi. Suryo Sumanto merintis berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia atau Parfi, melalui organisasi-organisasi perfilman ini dilakukan aksi melawan dominasi film impor dari Filipina, Malaysia, dan India.
Perkembangan film di Indonesia mengalami kebangkrutan akibat banyaknya pertikaian yang terjadi pada tahun 60-an. Jamaluddin Malik dikenai tahanan rumah dalam kasus politik. Setelah bebas pada tahun 1960, ia membuat FFI yang kedua, pemenangnya film Turang yang disutradarai Bachtiar Siagian yang berhaluan komunis. Di ajang Festival Asia Tokyo film Turang gagal mendapat penghargaan, sementara artis Suzanna yang membintangi film Asrama Dara karya Usmar Ismail meraih penghargaan sebagai aktris cilik terbaik. Setelah ikut membuat film-film menghibur diantaranya gaya India berjudul Tiga Dara, Perfini melahirkan film pejuang yang menghantarkan Bambang Hermanto menjadi aktor terbaik Festival Moskow tahun 1961. Tahun 1962 Jamaluddin Malik dan Usmar Ismail bekerjasama dengan produser Filipina membuat film Holiday in Bali yang merupakan film berwarna pertama.
ADVERTISEMENT
Secara politik, pemerintah merangkul perfilman dengan dibentuknya Direktorat Film Departemen Penerangan, pejabatnya merupakan lulusan akademis sinematografi Moskow tahun 1965. Selanjutnya dibentuk Dewan Produksi Film Nasional atau DPFN yang menghasilkan sejumlah film percontohan, antara lain film Apa Yang Kau Cari Palupi karya Asrul Sani tahun 1970 dan menjadi film terbaik Festival Film Asia. Hal ini menjadi kali pertama film Indonesia mendapat penghargaan di ajang festival Internasional.
Tahun 1970 sampai 1980 merupakan masa terbangunnya pondasi apresiasi yang penuh semangat dari masyarakat menuju tertatanya infrastruktur perfilman nasional. Tahun 1980 bertemu dengan kebudayaan populer Indonesia seperti novel-novel terkenal yakni Badai Pasti Berlalu dan komik cerita silat. Pada waktu itu juga, TVRI masih menjadi satu-satunya saluran film di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tahun 1981 dibentuk Dewan Film Nasional, tahun 1982 FFI diambil penyelenggaraannya dari FFI oleh Dewan Film Nasional. Tahun 1987 Dewan Film Nasional dan Departemen Kemenangan membentuk panitia tetap FFI untuk masa kerjaan 5 tahun hingga tahun 1992 masa kerja FFI habis. FFI 1992 menjadi FFI terakhir sampai 12 tahun kemudian dalam semangat melindungi perfilman nasional lahir Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang perfilman. Lahirnya undang-undang perfilman melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat serta melalui rintisan yang panjang. Hingga tahun 2000 pelaksanaan undang-undang perfilman tidak mampu menolong perfilman nasional. Dominasi sistem kapitalistik yang mewarnai perfilman dan televisi memprosokkan film Indonesia ke fenomena film-film bertema seks dan mistik.
Upaya penggerakan film nasional dilakukan dengan adanya fasilitas dari pemerintah untuk membuat film berkualitas muncul, antara lain film Cemeng tahun 2005 karya Nano Riantiarno, Bulan Tertusuk Ilalang karya Garin Nugroho, Fatahillah karya Chaerul Umam dan Imam Tantowi, dan film Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho bersama produser dan artis Christine Hakim. Meskipun film-film tersebut sulit diterima masyarakat Indonesia, kehadirannya dapat membawa nama Indonesia di ajang festival film Internasional.
Setelah tahun 2000 adalah masa bergeraknya kembali perfilman nasional, dimulai dengan munculnya film Petualangan Sherina karya Riri Riza, disusul film Ada Apa Dengan Cinta Karya Rudi Soedjarwo. Kedua film tersebut produksinya di bawah arahan Mira Lesmana. Kebangkitan film Indonesia pada tahun 2004 berlangsung ketika negara Indonesia secara politik di bawah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah 12 tahun terhenti, pada tahun 2004 FFI kembali diselenggarakan atas fasilitas dari pemerintah. Namun, hal ini diwarnai dengan ketidakselarasan antar masyarakat. Perfilman nasional piala Citra mengembalikan simbol penghargaan dari FFI tersebut, peristiwa ini berbuntut pada dibatalkannya keputusan dewan juri FFI atas film Ekskul karya Nayato sebagai film terbaik FFI 2006 oleh badan pertimbangan perfilman nasional.
ADVERTISEMENT
Sebagai karya cipta budaya dan produk industri, menjelang tahun 2010 pergerakan film nasional ditandai dengan produksi film-film bertema horor, mistik, dan tema remaja. Masa ini juga ditandai aktifnya kembali pelaku industri film yang sempat berhenti produksinya. Sejak saat itu, film Indonesia mulai terlihat lebih berkualitas dan bermutu.
Sumber:
joblist. (2014, Oktober 29). SEJARAH PERFILMAN INDONESIA DARI A Z [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=0FaLjIY2BDI