Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berburu Kebahagiaan di Kabupten Katingan, Tanah Surganya Kalteng
30 November 2021 11:11 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Intishar Dinia Afifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari itu tanggal 22 Mei 2021, aku dan keluargaku sepakat untuk berkunjung ke rumah kerabat dalam rangka silaturahmi lebaran. Saat itu masih tersisa sedikit aroma dari suasana lebaran. Keluargaku memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah kerabat kami di Desa Asem Kumbang yang terletak di Kabupaten Katingan sekaligus berekreasi ke objek wisata setempat.
ADVERTISEMENT
Kalimantan Tengah dikenal sebagai provinsi yang memiliki objek wisata alam yang khas akan kealamian dan pelestariannya. Orang-orang lebih mengenalnya dengan nama-nama seperti taman nasional, taman wisata alam, tahura, arboretum dan kawasan konservasi dengan keragaman makhluk hidup yang ada di dalamnya. Dari berbagai informasi waktu itu, Kabupaten Katingan memiliki banyak danau di sepanjang Daerah Aliran Sungai Katingan, baik danau yang berasal dari badan sungai Katingan yang telah terputus dengan saluran induknya menjadi danau tipe tapal kuda (ox bow lake) ataupun danau bertipe genangan banjir (floodplain).
Pilihan objek wisata pertama kami jatuhkan kepada Danau Bulat di Desa Jahanjang, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, yang kabarnya telah dikembangkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Katingan. Danau ini berjarak sekitar 155km dari Palangka Raya. Selain itu desa ini juga pernah menjadi desa binaan Taman Nasional Sebangau dan WWF Kalimantan Tengah.
ADVERTISEMENT
Kami berencana untuk pergi ke sana melalui jalur darat. Kabar terbarunya, akses jalan menuju ke danau tersebut telah beraspal dan kini sangat mulus untuk dilewati kendaraan beroda dua dan empat. Sebelumnya, akses menuju ke sana masih berupa jalan tanah atau perkerasan. Meskipun sebelumnya bapakku pernah mengunjungi Danau Bulat, waktu itu dari Baun Bango (sebuah kecamatan yang berjarak beberapa kilometer sebelum Kecamatan Kamipang) ke Desa Jahanjang hanya ditempuh lewat jalan tanah dan masih bergelombang. Sementara diriku sendiri paling jauh baru sampai Desa Asem Kumbang.
Waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan ketika kami melintasi jembatan Sungai Katingan di Kasongan, ibukota dari Kabupaten Katingan yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 2002. Lalu lintas jalan Trans Kalimantan masih belum terlalu ramai. Perjalanan pun cukup lancar. Mobil terus melaju, sekitar 30 menit sampailah kami di Kereng Pangi, kota kecil yang dulu terkenal dengan perdagangan emasnya. Kami sampai pada pertigaan yang lurus ke arah Sampit dan arah kiri yang menuju Baun Bango dan bapakku membelokkan mobilnya ke arah kiri pertigaan.
Perjalanan dari Kereng Pangi menuju Desa Jahanjang ditempuh sekitar 1 jam lebih sedikit. Bapakku benar, jalan menuju Desa Jahanjang sudah beraspal. Selama di perjalanan banyak dijumpai pemandangan alam yang membuat hati kami merasa terkagum-kagum akan keindahan yang terbentuk secara alami dari area bekas penambangan emas yang paling dekat dengan Kereng Pangi, yaitu Desa Hampalit. Kata bapak, area tersebut sebelumnya merupakan hutan yang seharusnya dilestarikan. Namun karena diketahui di area tersebut mengandung banyak emas bumi, banyak penambang yang mengeruk emas di hutan tersebut dan meninggalkan banyak gundukan pasir gersang seluas ratusan hektar. Sejauh mata memandang bagaikan berada di tengah gurun pasir putih.
ADVERTISEMENT
Sesudah melewati lautan pasir, kami disuguhi tegakan hutan rawa kerangas yang rusak akibat mulai dimasuki penambang emas dan sisa-sisa kebakaran hutan di tahun sebelumnya. Demikianlah kerusakan hutan di sepanjang kiri kanan jalan menuju Danau Bulat, sampai akhirnya sisa-sisa kebakaran hutan yang tersebar secara tidak merata di sela-sela luasnya perkebunan kelapa sawit dari sebuah perusahaan yang ada di wilayah tersebut. Tidak ketinggalan, papan-papan nama pemilik lahan sudah berbaris sepanjang jalan seakan berderet menyambut kedatangan kami.
Mobil kami akhirnya berhasil melalui jalan akses perjalanan yang ternyata medannya tak semulus dengan yang kami bayangkan. Kira-kira pada pukul sebelas siang kami telah sampai di Desa Jahanjang. Mobil diparkir di jalan desa yang hanya cukup untuk papasan mobil, pun dengan hati-hati karena obyek wisata ini belum dilengkapi sarana perparkiran.
ADVERTISEMENT
Danau Bulat terletak di sebelah barat Desa Jahanjang. Danau ini merupakan danau bertipe genangan banjir (flood plain). Untuk menuju Danau Bulat, kita akan menjumpai pintu gerbang yang terbuat dari kayu dan diberi atap multiroof berwarna biru. Di bagian atasnya terpampang tulisan "Welcome to Lake Bulat". Pengunjung akan melalui titian jembatan dari kayu ulin sepanjang lebih dari 200m yang tersusun rapi mulai dari pintu gerbang sampai ke tepi danau. Pada sisi kiri kanan jembatan terdapat pohon-pohon yang tumbuh alami dari jenis-jenis rengas, medang, pelawan, rotan dan lain-lain. Masih sering dijumpai kawanan monyet mencari buah-buahan di kawasan ini.
Di pintu masuk yang lebih menyerupai gapura, kami bertemu dengan Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Jahanjang sekaligus pengelola Danau Bulat, bernama Bapak Ardinan. Sedikit informasi, ternyata Pak Ardinan mengenal baik kerabatku yang tinggal di Desa Asem Kumbang. Ya, pada dasarnya masyarakat di desa-desa yang berdekatan sepanjang sungai Katingan banyak saling mengenal karena mereka umumnya masih berkerabat, baik yang dekat maupun yang berkerabat jauh. Menurut penjelasan yang sedikit kudengar dari Pak Ardinan, danau ini hanya salah satu dari beberapa danau yang ada di sebelah barat Desa Jahanjang. Antara danau satu dengan yang lain dihubungkan oleh saluran atau sungai kecil yang berhulu di kawasan yang sekarang sudah dibuka menjadi area perkebunan kelapa sawit. Penduduk menyebutnya Sungai Buntut Tanjung. Sungai ini bermuara di Sungai Katingan setelah keluar dari objek wisata Danau Kuluk Durah, sebelah selatan Desa Jahanjang.
ADVERTISEMENT
Obyek wisata Danau Bulat dilengkapi dua buah guesthouse yang dibangun di sebelah kiri dan kanan jembatan titian. Kedua guesthouse merupakan rumah panggung besar yang lantai dan dindingnya berbahan kayu, sebagian dari jenis ulin. Atapnya menggunakan jenis multiroof. Masing-masing guesthouse memiliki satu buah ruang tamu, dua buah kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur beserta perabotannya. Sayangnya, guesthouse tersebut tampak tak terurus dari luar. Mungkin karena tidak ada yang menyewa untuk menginap di sana, sehingga pengelolaan guesthouse tersebut dihentikan. Kupikir, jika fasilitas semacam guesthouse ini diperhatikan, akan menjadi salah satu sarana yang bisa dimanfaatkan untuk pemasukan ekonomi pengelola setempat. Tidak ketinggalan, dermaga dan empat buah gazebo dibangun sebagai tempat penggunjung dapat bersantai menikmati keindahan Danau Bulat.
Walaupun pada saat itu masih termasuk musim penghujan, air danau terlihat tidak terlalu surut. Bagian tepi danau banyak ditumbuhi jenis rengas dan putat. Menurut Pak Ardinan dan juga ayahku, kedua pohon ini memang tumbuh dan berekosistem di daerah berair, di tepi sungai atau danau. Oleh karena itu bila seseorang terkena getah rengas yang menyebabkan gatal-gatal, maka daun putat menjadi penawarnya. Demikian beliau berdua menerangkan keunikan kedua pohon tersebut.
ADVERTISEMENT
Matahari mulai condong ke arah barat, namun sinarnya tetap terasa panas ketika aku melayangkan pandanganku ke sisi paling kanan jembatan titian. Banyak jaring ikan yang dihamparkan di atas jembatan titian tersebut, tepatnya di sekitar gazebo tempat kami beristirahat. Beberapa tahun lalu, banyak penduduk desa yang datang ke tempat ini untuk menangkap ikan di danau. Mereka mengayuh sampan kecil masing-masing ke tengah danau untuk menjemput rizki dari Sang Maha Pemberi. Bagi penduduk Desa Jahanjang sendiri, Danau Bulat merupakan sumber penghidupan mereka. Sebagian besar pekerjaan penduduk adalah nelayan yang menangkap ikan di sungai dan danau. Mereka menggunakan perangkap jaring untuk menangkap ikan di Danau Bulat. Untuk menjaga kelestarian hasil perikanan di danau, ada aturan besaran lubang jaring yang diperbolehkan. Hal ini dimaksudkan agar hanya ikan-ikan yang telah mencapai ukuran tertentu saja yang dipanen, sedang ikan yang masih kecil-kecil dibiarkan tetap hidup sampai mencapai usia siap panen. Namun ada saja nelayan "nakal" yang tidak mau mengikuti aturan tersebut sehingga dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian hasil ikan demi keuntungan sesaat.
Puas menikmati keindahan Danau Bulat, tak terasa bayangan kami terlihat condong ke arah barat. Sebagian sinarnya meredup dan tidak sepanas ketika kami baru menginjakkan kaki di tempat ini. Angin bertiup sepoi-sepoi, menambah kesan sejuk dan sedikit mengibarkan jilbab lebarku. Aku berharap lebih lama lagi berada di tempat ini, bahkan hingga matahari menampakkan sinar kekuningannya tanda hari berganti menjadi sore karena ingin menikmati suasana sunset di tengah danau ini. Namun kami harus melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Asem Kumbang, sebelum hari beranjak sore. Kami pun meninggalkan lokasi wisata ini. Sebelum pulang kami berpamitan dengan Pak Ardinan dan berfoto bersama untuk kenang-kenangan.
ADVERTISEMENT
Tujuan kami pulang saat itu bukan langsung ke Palangka Raya, melainkan menuju rumah kerabat kami yang terletak di wilayah Desa Asem Kumbang. Matahari sudah semakin kemerahan ketika kami sampai di sana. Setelah melewati jalanan aspal yang terkadang mulus tapi berlubang, sampailah kami di wilayah Desa Asem Kumbang. Perjalanan kami belum selesai. Untuk mencapai rumah kerabat kami, harus melewati jalur transportasi air terlebih dahulu, yaitu menaiki kelotok –semacam perahu getek yang hanya bisa memuat 3-5 penumpang— untuk menyeberangi sungai Katingan yang lebar.
Sesampainya di rumah kerabat, kami langsung disuguhi berbagai olahan ikan sungai yang baru saja dipancing oleh kerabatku di siang harinya. Ikan-ikan segar tersebut diolah menjadi berbagai macam masakan rumah, di antaranya sayur asam, ikan panggang, ikan goreng, ikan masak merah, dan lainnya. Tidak ketinggalan nasi putih yang berasal dari beras khas Kalimantan bertipikal pera, juga lalapan serta sambal terasi yang disajikan langsung di atas cobeknya. Kenikmatan semakin bertambah karena es teh menjadi pelengkap makanan otentik tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak sia-sia kami melalui perjalanan yang cukup melelahkan dan panjang, karena pada akhirnya kami pulang ke Palangka Raya dengan perut terisi makanan rumahan yang khas dan puas akan keindahan panorama alam yang disuguhkan. Kenikmatan dunia ini membuat kondisi jasmani serta rohani kami seperti terlahir kembali.