Konten dari Pengguna

Ujian Nasional: Sebuah Refleksi

Irfan Ansori
Pengajar di MAN 2 Tasikmalaya
27 Oktober 2024 9:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irfan Ansori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Irfan Ansori, S.Sy*
(Pendidik di MAN 2 Tasikmalaya dan Peneliti di Pusat Pengkajian Pendidikan dan Agama)
ADVERTISEMENT
Isu mengenai penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) kembali mencuat seiring dengan pergantian di pucuk pimpinan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menegah (Mendikdasmen).
Pada awalnya, usulan untuk mengembalikan UN menjadi perbincangan di media, setelah viral sebuah konten video menunjukkan ketidakmampuan siswa menjawab beberapa pertanyaan trivia yang diberikan, letak negara di benua dan ibukota provinsi. Pada umunya netizen menganggap materi trivia ini seharusnya sudah dikuasai, atau kalaupun salah jawabannya tidak terlalu melenceng.
Ketidaktahuan siswa menjawab pertanyaan tersebut disinyalir mencerminkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, pasca ketiadaan Ujian Nasional (UN). Ketiadaan UN dinilai membuat hilangnya motivasi belajar siswa. Tidak ada lagi hal yang menjadi pemicu motivasi bagi siswa untuk belajar lebih giat dan serius dalam pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, pada dasarnya keputusan untuk menghapus UN pada beberapa tahun lalu tentu bukan tanpa alasan. Pemerintah memiliki alasan yang kuat setelah mengevaluasi kenyataan di lapangan. Lantas, apakah kita perlu kembali ke sistem yang lama atau mencari solusi alternatif yang lebih komprehensif?
Urgensi UN
Salah satu argumen paling kuat yang mendukung kembalinya Ujian Nasional (UN) adalah kebutuhan mendesak akan adanya suatu standar evaluasi yang berlaku secara nasional. Tanpa adanya tolok ukur yang sama, sulit bagi kita untuk mengukur sejauh mana capaian pembelajaran siswa di seluruh Indonesia. Dalam konteks ini, UN berperan sebagai sebuah patokan yang dapat digunakan untuk membandingkan kualitas pendidikan antar daerah, sekolah, bahkan antar siswa.
UN juga dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistem pendidikan kita. Dengan menganalisis hasil UN secara mendalam, kita dapat mengidentifikasi materi pelajaran mana yang masih sulit dipahami oleh siswa secara umum, metode pembelajaran mana yang kurang efektif, atau bahkan adanya kesenjangan akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Informasi ini sangat berharga bagi para pembuat kebijakan, pendidik, dan sekolah dalam merancang program perbaikan yang lebih tertarget.
ADVERTISEMENT
Adanya UN pun dapat menciptakan semacam kompetisi sehat antar sekolah dan daerah. Sekolah akan termotivasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran agar siswa-siswinya dapat meraih hasil yang lebih baik. UN menjadi katalisator bagi terjadinya perbaikan yang berkelanjutan dalam sistem pendidikan kita.
Kehdiran UN juga dapat berperan dalam memastikan adanya keadilan dan kesetaraan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas. Dengan adanya standar evaluasi yang sama, kita dapat mengidentifikasi sekolah-sekolah yang memiliki kinerja di bawah rata-rata dan memberikan dukungan yang lebih intensif. Selain itu, UN juga dapat menjadi alat untuk mengukur efektivitas program-program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal.
Beberapa perguruan tinggi di luar negeri masih menjadikan dan mengakui hasil UN sebagai salah satu persyaratan penerimaan. Oleh karenanya, ketiadaan UN ternyata juga menjadi kendala bagi siswa Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Siswa Indonesia terpaksa untuk mengikuti tes tambahan yang seringkali memakan waktu dan biaya yang cukup besar.
ADVERTISEMENT
Pelajaran dari Penghapusan UN
Tentunya, penghapusan UN pada masa lalu tidak lepas dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah. Ketiadaan UN dinilai bertujuan untuk mengurangi tekanan pada siswa, serta memberikan kesempatan bagi sekolah untuk mengembangkan sistem penilaian yang lebih berorientasi pada proses pembelajaran, sehingga muncul konsep Asesmen Kompetensi Minimum yang menekankan pada kemampuan literasi dan numerasi.
Salah satu masalah fatal yang muncul saat diberlakukannya UN adalah maraknya praktik kecurangan dalam pelaksanaan UN. Jual beli kunci jawaban dan manipulasi nilai menjadi bukti bahwa integritas dalam penyelenggaraan UN masih menjadi tantangan besar. Selain itu, fokus yang terlalu besar pada hasil ujian juga dapat menghambat pengembangan kompetensi siswa yang lebih luas, seperti keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Refleksi
Untuk mengatasi dilema ini, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai kelebihan dan kekurangan dari berbagai sistem penilaian. Perdebatan mengenai penyelenggaraan UN merupakan refleksi dari kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia.
Tidak ada solusi yang sederhana untuk mengatasi masalah ini. Namun, yang pasti, kita perlu mencari solusi yang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan untuk memiliki standar evaluasi nasional dengan upaya untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih holistik dan berpusat pada siswa.
Perlu diingat bahwa pada dasarnya motivasi belajar tidak semata-mata hanya berasal dari ujian. Faktor lingkungan belajar, dukungan guru, dan minat siswa itu sendiri juga sangat berpengaruh. Sehingga perlu juga dilakukan perbaikan pada sistem pendidikan secara keseluruhan. Mulai dari peningkatan kualitas guru, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, hingga pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, hasil ujian tidak hanya menjadi tolok ukur kemampuan siswa, tetapi juga sebagai refleksi dari kualitas pendidikan yang diberikan.