Konten dari Pengguna

Kebijakan Izin Tambang untuk Ormas: Kesejahteraan atau Risiko Ketidakadilan?

Irma Septi Viana
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya
5 Oktober 2024 10:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irma Septi Viana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.shutterstock.com/image-photo/south-kalimantan-indonesia-8-june-2024-2473056955
zoom-in-whitePerbesar
https://www.shutterstock.com/image-photo/south-kalimantan-indonesia-8-june-2024-2473056955
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Joko Widodo telah membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mendapatkan izin pengelolaan tambang melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 terkait pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara. Dasar pemerintah membagi izin tambang kepada ormas keagamaan adalah kepedulian agar ormas keagamaan bisa mandiri.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini direspons positif oleh ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Langkah pemerintah tersebut menuai banyak kritik dari berbagai pihak.
Beragam kritik muncul dari masyarakat yang khawatir akan adanya motif politik di balik kebijakan ini, yang berpotensi memicu konflik. Kekhawatiran utama terletak pada dampak negatif terhadap lingkungan akibat aktivitas pertambangan, seperti deforestasi dan pencemaran air serta udara.
Kerusakan ini tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat, baik generasi sekarang maupun mendatang. Selain itu, kurangnya pengalaman dan kompetensi ormas dalam mengelola tambang berisiko menghasilkan praktik yang tidak sesuai standar, yang dapat membahayakan lingkungan dan keselamatan para pekerja.
ADVERTISEMENT
Melihat betapa menggiurkannya hasil konsesi pertambangan, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat justru berisiko mengalir ke kantong pejabat korup dan pemilik modal besar, sementara masyarakat kecil harus menanggung beban kerugiannya.
Konflik internal di dalam ormas juga dapat terjadi, terutama di antara elite yang memperebutkan keuntungan dari konsesi pertambangan. Akibatnya, bukan hanya masyarakat yang dirugikan, tetapi stabilitas internal ormas juga bisa terancam.
Risiko munculnya konflik horizontal antara ormas keagamaan dan warga setempat juga dapat terjadi karena kebijakan tersebut. Menurut Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), banyak masyarakat adat telah berkonflik dengan tambang dan proyek investasi.
ADVERTISEMENT
Mereka berjuang melawan perusahaan dan aparat untuk mempertahankan tanah yang telah mereka diami selama bertahun-tahun, yang kini tumpang tindih dengan izin konsesi tambang. Hingga saat ini, belum ada pengakuan resmi dari negara terhadap tanah adat mereka. Jika ormas keagamaan terlibat dalam situasi ini, maka tentunya akan sangat berpotensi terjadi konflik horizontal.
Melihat dampak atau risiko dari kebijakan tersebut, seharusnya ormas-ormas lebih mempertimbangkan tawaran pemerintah untuk ikut mengelola tambang. Ormas keagamaan justru semestinya berkontribusi dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terdampak oleh tambang. Pasalnya, banyak dari korban tambang yang diadvokasi oleh JATAM juga terkait dengan ormas-ormas keagamaan.
Kasus di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, menjadi contoh nyata di mana warga Nahdliyin terdampak oleh pertambangan batu andesit untuk proyek strategis nasional (PSN). Mereka khawatir akan kehilangan sumber penghidupan, terutama akses terhadap air bersih yang selama ini menopang kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, jika ormas keagamaan terlibat dalam proyek-proyek semacam ini, mereka justru berisiko berkontribusi pada ketidakadilan yang menimpa warga. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan oleh ormas keagamaan, yaitu melindungi dan membela hak-hak jemaah mereka yang terkena dampak.
Jika pemerintah benar-benar peduli terhadap ormas keagamaan, tidak perlu melibatkan mereka dalam kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan. Sebagai alternatif, pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih konstruktif, seperti memberikan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan bagi lembaga pendidikan yang dikelola oleh ormas keagamaan, sehingga manfaatnya lebih nyata dan berkelanjutan.