Konten dari Pengguna

Ketidaktahuan Akan Hukum Tidak Dapat Dimaafkan

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
3 Oktober 2024 18:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar ungkapan “ketidaktahuan akan hukum tidak dapat dimaafkan” atau dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah ignorantia juris non excusat. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum yang berlaku di suatu negara, dan karena itu tidak dapat menggunakan alasan ketidaktahuan sebagai pembelaan atas pelanggaran yang mereka lakukan. Namun, penerapan prinsip ini tidak jarang menimbulkan polemik, terutama dalam masyarakat yang tingkat pemahaman hukumnya rendah. Artikel ini akan mengeksplorasi lebih jauh prinsip ini dari perspektif hukum dan implikasinya terhadap keadilan.
ADVERTISEMENT
Makna Ignorantia Juris Non Excusat
Secara harfiah, ignorantia juris non excusat berarti bahwa seseorang tidak dapat membela dirinya dengan alasan bahwa dia tidak mengetahui hukum yang dia langgar. Prinsip ini berlaku hampir di semua negara yang menganut sistem hukum modern. Di Indonesia sendiri, prinsip ini tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa "suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada."
Dasar pemikiran di balik prinsip ini adalah bahwa hukum bersifat umum dan terbuka untuk diketahui oleh semua orang. Dengan demikian, siapapun yang berada di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara dianggap telah mengetahui dan memahami hukum yang berlaku. Jika seseorang melanggar hukum, tidak ada ruang bagi mereka untuk beralasan bahwa mereka tidak tahu hukum tersebut. Logikanya, jika ketidaktahuan terhadap hukum dapat dijadikan alasan pembelaan, maka hal ini akan merusak tatanan hukum itu sendiri. Masyarakat akan cenderung lebih mudah mengabaikan hukum dan menggunakan alasan ketidaktahuan sebagai jalan keluar.
ADVERTISEMENT
Keadilan dalam Prinsip Ini
Meski prinsip ignorantia juris non excusat memiliki dasar logis yang kuat, tidak dapat dipungkiri bahwa penerapannya kadang-kadang menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi masyarakat yang aksesnya terhadap informasi hukum terbatas. Di Indonesia, misalnya, banyak masyarakat di daerah terpencil yang tidak mendapatkan informasi hukum yang memadai. Bahkan di perkotaan, masyarakat sering kali tidak paham secara detail tentang peraturan-peraturan yang ada, apalagi memahami hukum yang lebih kompleks seperti undang-undang pidana atau peraturan perdata.
Sebagai contoh, banyak masyarakat tidak tahu bahwa melanggar ketentuan parkir atau tidak membawa Surat Izin Mengemudi (SIM) ketika berkendara merupakan pelanggaran hukum. Jika ketidaktahuan terhadap hal ini tidak dapat dimaafkan, maka konsekuensinya adalah mereka tetap akan mendapatkan hukuman tanpa pertimbangan khusus, meskipun kesalahan mereka mungkin timbul karena kurangnya pengetahuan. Dalam situasi seperti ini, apakah adil untuk menghukum mereka dengan dalih bahwa hukum harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan pendidikan mereka?
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya adalah bagaimana hukum yang terus berkembang membuat masyarakat sulit mengikuti perubahan regulasi yang ada. Dalam banyak kasus, hukum yang baru diberlakukan sering kali tidak disosialisasikan secara efektif, sehingga menambah kebingungan di kalangan masyarakat. Akibatnya, banyak yang tidak menyadari perubahan peraturan dan tetap menjalankan kebiasaan yang bertentangan dengan hukum yang baru.
Ketidaktahuan Fakta Bisa Dimaafkan
Meskipun ketidaktahuan terhadap hukum tidak dapat dijadikan alasan pembelaan, ketidaktahuan terhadap fakta (ignorantia facti excusat) sering kali bisa dipertimbangkan dalam proses hukum. Ketidaktahuan fakta ini merujuk pada situasi di mana seseorang tidak tahu atau tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan melibatkan unsur-unsur yang dapat dihukum. Misalnya, seseorang membeli barang bekas dari seseorang tanpa mengetahui bahwa barang tersebut merupakan hasil curian. Dalam kasus seperti ini, ketidaktahuan terhadap fakta bahwa barang tersebut curian bisa menjadi faktor yang meringankan hukuman atau bahkan membebaskannya dari tuntutan hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, hukum lebih fleksibel dan memperhitungkan niat serta kesadaran pelaku. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua ketidaktahuan fakta bisa dimaafkan. Jika seseorang seharusnya secara wajar bisa mengetahui fakta yang terkait, misalnya seorang pembeli yang membeli barang dengan harga jauh di bawah harga pasar tanpa menanyakan asal-usul barang tersebut, maka ketidaktahuan mereka mungkin tidak akan diterima sebagai alasan pembelaan.
Pentingnya Sosialisasi dan Pendidikan Hukum
Prinsip ignorantia juris non excusat menuntut adanya kesadaran hukum yang merata di masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, hal ini tidak mudah tercapai. Ketidaktahuan terhadap hukum sering kali menjadi masalah struktural yang disebabkan oleh minimnya akses terhadap pendidikan hukum, terutama di kalangan masyarakat dengan latar belakang sosial ekonomi yang rendah.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, peran pemerintah sangat krusial dalam menyediakan akses terhadap informasi hukum yang mudah dipahami dan merata. Sosialisasi hukum kepada masyarakat harus dilakukan secara terus-menerus dan tidak terbatas pada saat hukum baru disahkan saja. Pemahaman hukum harus menjadi bagian dari pendidikan formal, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Selain itu, media massa juga harus turut berperan dalam menyebarkan informasi terkait perubahan atau kebijakan hukum yang baru.
Pemerintah juga dapat membentuk lembaga atau program yang khusus menangani penyebaran informasi hukum kepada masyarakat, terutama di daerah terpencil atau daerah dengan tingkat pendidikan yang rendah. Program bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu juga harus diperluas agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh keadilan hukum yang seimbang.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi Jika Prinsip Ini Dilonggarkan
Meskipun banyak kritik terhadap penerapan ketat ignorantia juris non excusat, melonggarkan prinsip ini akan menimbulkan konsekuensi yang lebih besar. Jika ketidaktahuan terhadap hukum dapat dijadikan alasan pembelaan, maka sistem hukum akan menjadi lebih kacau. Orang-orang akan cenderung menggunakan ketidaktahuan mereka sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab hukum. Ini akan membuat penegakan hukum menjadi lebih sulit dan membuka peluang bagi orang-orang untuk menghindari sanksi hukum dengan alasan yang tidak dapat diverifikasi secara objektif.
Sebagai contoh, seseorang yang melakukan penipuan atau pelanggaran administratif bisa dengan mudah berdalih bahwa mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang. Jika alasan ini diterima oleh hukum, maka keadilan bagi korban atau pihak yang dirugikan akan terancam. Oleh karena itu, prinsip ini harus tetap diterapkan dengan ketat, tetapi dengan diimbangi oleh peningkatan upaya edukasi hukum kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ketidaktahuan terhadap hukum tidak dapat dimaafkan, namun prinsip ini juga harus diiringi dengan tanggung jawab pemerintah dan lembaga terkait untuk memastikan bahwa informasi hukum dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, prinsip ini menekankan pentingnya kesadaran hukum sebagai elemen dasar dalam menjaga ketertiban dan keadilan di masyarakat. Tanpa kesadaran hukum yang merata, penerapan prinsip ini bisa menjadi tidak adil, terutama bagi mereka yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan hukum dan sosialisasi peraturan harus menjadi prioritas dalam mewujudkan masyarakat yang sadar hukum.