Konten dari Pengguna

Pelanggaran HAM dalam Aturan Tata Tertib Sekolah: Perspektif dan Analisa Hukum

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
13 Oktober 2024 9:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Ketua Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Sekolah SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Sekolah, sebagai institusi pendidikan, memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik generasi muda. Di dalamnya, diterapkan aturan-aturan tata tertib untuk menjaga keteraturan dan disiplin. Namun, sering kali, aturan tata tertib sekolah ini menimbulkan polemik karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Di tengah meningkatnya kesadaran akan hak-hak individu, pertanyaan muncul: apakah aturan tata tertib sekolah secara tidak sadar telah melanggar HAM? Bagaimana aturan-aturan tersebut dianalisis dari perspektif hukum?
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia dalam Pendidikan
Menurut Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapatkan pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan serta teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Hak atas pendidikan ini diperkuat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 60).
Di sisi lain, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga menjamin bahwa setiap orang berhak atas hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Ini berarti bahwa segala aturan yang diterapkan oleh institusi, termasuk sekolah, harus menghormati hak-hak dasar individu, termasuk siswa.
ADVERTISEMENT
Aturan Tata Tertib Sekolah: Memperkuat Disiplin atau Melanggar HAM?
Aturan tata tertib sekolah umumnya mencakup berbagai aspek seperti seragam, ketertiban, sikap dan perilaku siswa, serta sanksi bagi mereka yang melanggar aturan tersebut. Sebagai contoh, ada aturan mengenai panjang rambut bagi siswa laki-laki, kewajiban menggunakan seragam tertentu, penyitaan handphone/smartphone, hingga larangan menggunakan atribut tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan norma sekolah. Sekilas, aturan-aturan ini dibuat untuk menciptakan suasana yang disiplin dan teratur, yang pada akhirnya bertujuan mendukung proses belajar-mengajar.
Namun, dalam praktiknya, beberapa aturan ini justru sering dianggap sebagai bentuk pembatasan yang berlebihan terhadap kebebasan individu. Misalnya, aturan tentang panjang rambut yang ketat dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak siswa untuk berekspresi. Hal ini diperkuat oleh Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Atau contoh lain adalah penyitaan handphone/smartphone yang jelas bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) KUHAP yang berbunyi Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
ADVERTISEMENT
Demikian pula, adanya sanksi fisik atau hukuman yang dianggap berlebihan oleh pihak sekolah sering kali berujung pada tuduhan pelanggaran HAM, seperti hak untuk tidak disiksa sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Hukuman fisik yang diterapkan dalam bentuk kekerasan, baik itu ringan maupun berat, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merendahkan martabat manusia.
Analisa Hukum atas Aturan Tata Tertib Sekolah
Dari perspektif hukum, aturan tata tertib sekolah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk peraturan tentang HAM. Setiap aturan yang dibuat oleh sekolah harus memperhatikan prinsip proporsionalitas dan kesesuaian dengan hak asasi siswa. Hal ini diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengatur bahwa pendidikan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan (Pasal 4 ayat (1)). Ini berarti bahwa setiap kebijakan dan peraturan yang diterapkan di sekolah haruslah sejalan dengan penghormatan terhadap HAM.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mengatur bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang diskriminatif dan tidak manusiawi (Pasal 66). Dengan demikian, aturan yang diterapkan di sekolah, baik mengenai seragam, tata rambut, maupun aspek lainnya, tidak boleh mendiskriminasi siswa berdasarkan gender, agama, atau latar belakang sosial.
Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanNomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan di sekolah, baik fisik maupun verbal, harus dicegah. Ini menunjukkan bahwa hukuman fisik sebagai bagian dari sanksi pelanggaran tata tertib sekolah bertentangan dengan peraturan ini.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 351 tentang penganiayaan, juga dapat diterapkan dalam kasus kekerasan di sekolah. Jika terdapat bukti bahwa hukuman fisik di sekolah menyebabkan luka atau cedera pada siswa, maka pihak yang bertanggung jawab dapat dituntut secara pidana.
ADVERTISEMENT
Kontroversi Aturan dan Kebutuhan Reformasi
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia di mana aturan tata tertib sekolah dipandang sebagai pelanggaran HAM. Salah satu contoh yang sering menjadi perdebatan adalah kebijakan pelarangan jilbab atau aturan seragam yang dianggap tidak menghormati keragaman agama. Meskipun sebagian besar sekolah telah mulai lebih fleksibel dalam aturan ini, kasus-kasus di mana siswa dipaksa mengikuti aturan yang bertentangan dengan keyakinan agamanya terus terjadi.
Ada juga masalah mengenai aturan disiplin yang diterapkan secara berlebihan, seperti hukuman fisik yang masih diterapkan di beberapa sekolah, meskipun telah ada larangan tegas dalam peraturan nasional. Praktik-praktik ini tidak hanya melanggar hak anak untuk diperlakukan dengan penuh rasa hormat, tetapi juga dapat merusak kesehatan mental dan fisik mereka.
ADVERTISEMENT
Menuju Kebijakan yang Lebih Humanis
Pelanggaran HAM dalam konteks aturan tata tertib sekolah bukanlah isu sepele. Sering kali, hal ini diabaikan karena dianggap sebagai bagian dari disiplin pendidikan. Namun, aturan yang terlalu ketat dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM justru dapat menimbulkan trauma dan merusak perkembangan siswa, baik secara mental maupun fisik.
Oleh karena itu, reformasi tata tertib sekolah diperlukan. Sekolah harus menyadari bahwa aturan yang diterapkan harus sejalan dengan hak asasi manusia dan tidak boleh melanggar hak-hak siswa. Penerapan aturan harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih humanis, di mana hak-hak siswa dihormati dan dijamin sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis hak ini akan menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak hanya disiplin, tetapi juga menghargai kebebasan individu, keragaman, dan martabat manusia. Di sinilah letak tanggung jawab sekolah untuk tidak hanya mengedukasi, tetapi juga melindungi hak-hak asasi siswa, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan peraturan hukum lainnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT