Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Akankah Hizbullah Menjadi Front Kedua Israel Setelah Hamas?
12 Oktober 2023 14:17 WIB
Tulisan dari Irsad Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Israel sedang berjuang untuk mengamankan wilayah perbatasan dan menyiapkan invasi darat serta perang total dengan Hamas di Jalur Gaza. Namun terdapat pertanyaan lain muncul di wilayah utara: apa yang akan dilakukan Hizbullah? Sampai sejauh ini, kelompok Hizbullah di Lebanon telah melancarkan serangan artileri terhadap pos militer Israel di wilayah Perkebunan Shebaa pada hari Minggu (8/10/2023).
ADVERTISEMENT
Serangan tersebut dilakukan ketika Israel juga tengah menggempur Hamas di Jalur Gaza. Artileri Pasukan Pertahanan Israel (IDF) kemudian menyerang salah satu wilayah di Lebanon. Hizbullah kemudian menembakkan rentetan roket ke wilayah Israel bagian utara pada Senin (9/10/2023). Hizbullah melancarkan serangan ini setelah tiga anggotanya tewas akibat gempuran Israel di wilayah Lebanon bagian selatan.
Melihat perkembangan situasi konflik yang berkembang di mana Hizbullah turut menyerang Israel, akankah Negara Zionis itu akan menyerang habis-habisan Hizbullah dan Libanon menjadi front kedua setelah Jalur Gaza?
Para pembuat kebijakan di Israel dan sekutunya Amerika Serikat kemungkinan tidak akan mengabaikan risiko bahwa perang yang berkepanjangan akan menyebabkan Hizbullah mengubah perhitungannya—yang akan memicu konflik yang lebih dahsyat dan dapat dengan cepat meningkat menjadi perang regional.
ADVERTISEMENT
Bahkan ketika Israel memfokuskan pasukannya di Jalur Gaza, Israel dan sekutunya harus secara bersamaan membangun kembali pertahanan di wilayah utara, untuk memastikan bahwa Hizbullah terus berada di pinggir lapangan dan tidak terlalu jauh terlibat dalam konfrontasi langsung dengan Israel.
Baik Hamas maupun Hizbullah telah lama mendapat manfaat dari dukungan Iran. Sambil mendukung kebangkitan Hizbullah di Lebanon pada tahun 1980an dan 1990an, Teheran juga mencari peluang di wilayah Palestina, pada saat Hamas baru saja bangkit dari Intifada Pertama. Meskipun Hizbullah adalah penganut Syiah (seperti rezim Iran) dan Hamas adalah penganut Sunni, keduanya menunjukkan militansi, fundamentalisme Islam, dan dedikasi untuk menghancurkan Israel—semuanya sesuai dengan strategi Teheran dalam membangun proksi regional.
Meskipun memberikan pelatihan dan dukungan kepada Hamas, Hizbullah mungkin tidak ingin campur tangan langsung dalam perang dengan Israel yang dimulai Hamas dengan Operasi Badai Al-Aqsha. Sehari setelah operasi militer Hamas diluncurkan, pejabat nomor dua Hizbullah, Hashim Safi al Din, berjanji: “Hati kami bersamamu. Pikiran kami bersamamu. Jiwa kami bersamamu. Sejarah, senjata, dan roket kami ada bersamamu.”
ADVERTISEMENT
Dalam pernyataan ini, tidak ada janji dan tidak ada indikasi tentara Hizbullah “turun tangan” mendukung Hamas. Dalam bentrokan lain yang terjadi baru-baru ini antara Israel dan Hamas (pada tahun 2008, 2014, dan 2021), Hizbullah telah menawarkan dukungan politik dan sesekali melakukan serangan lintas batas untuk menunjukkan tekad, namun tetap berada di pinggir lapangan. Ada beberapa alasan bagus untuk melakukan hal yang sama sekarang.
Pertama, Hizbullah masih dalam masa pemulihan setelah satu dekade berperang dalam perang regional untuk mendukung Iran. Upaya-upaya tersebut menyebabkan kelompok ini kehilangan ribuan nyawa, jutaan dolar, dan persediaan senjata dan material dalam jumlah besar. Bahkan saat ini, mereka masih terbebani dengan beban biaya yang terus menerus untuk merawat anggota Hizbullah yang terluka dan memberikan kompensasi kepada keluarga “martir.”
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, pada saat Libanon sangat lumpuh dan terpecah belah dan ketika sebagian besar kelompok politik membenci Hizbullah karena perannya dalam menghalangi pemilihan presiden dan pembentukan pemerintahan baru. Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, akan fokus pada masalah politik domestik ini dan menghindari pertentangan lebih lanjut dengan faksi politik lain. Di tengah situasi politik domestik yang kurang menguntungkan, Hizbullah kemungkinan enggan melibatkan Libanon dalam perang yang sebagian besar warganya ingin hindari.
Selain itu, Hassan Nasrallah ingin menghindari pengeluaran tenaga kerja [man power] dan rudal dalam pertempuran yang, bagi Hizbullah, tidak bersifat eksistensial; pada akhirnya, kekuatan militer dan senjata canggihnya adalah untuk mengamankan kekuasaan di Lebanon, untuk menghalangi Israel, dan untuk kepentingan Teheran jika terjadi perang Israel-Iran.
ADVERTISEMENT
Hal ini ditunjukkan dengan respons awal Hizbullah setelah serangan Hamas. Respon itu mencerminkan keinginan untuk menahan diri. Pada hari Minggu, Hizbullah terlibat baku tembak artileri dan roket dengan pasukan Israel di wilayah perbatasan Shebaa Farms yang diperebutkan. Pasa hari Senin [9/10/202233], Israel melancarkan serangan udara sebagai tanggapan atas serangan lintas batas oleh pejuang Palestina, dalam serangan itu, tiga pejuang Hizbullah.
Sebagai tanggapan, Hizbullah memilih untuk menembaki instalasi militer Israel daripada meningkatkan serangan yang ditargetkan terhadap personel atau warga sipil Israel. Hal ini menunjukkan bahwa Hizbullah memandang tindakan Israel sebagai tindakan yang sesuai dengan aturan permainan respons proporsional.
Sementara itu, satu serangan dari Israel akan meningkat dengan cepat, dan sangat berpotensi meletus menjadi perang regional skala penuh. Kemampuan Hizbullah memungkinkan kelompok itu melakukan serangan melalui darat, laut, dan udara, serta didukung oleh artileri dan amunisi roket. Rudal presisi dapat menargetkan fasilitas militer dan intelijen Israel serta infrastruktur utama dan bahkan mencapai lokasi sensitif di Yerusalem dan Tel Aviv.
ADVERTISEMENT
Israel, sebaliknya, akan melancarkan kampanye udara yang menghancurkan di seluruh Libanon. Para pendukung Hizbullah—mulai dari Iran dan Suriah hingga milisi Syiah di Irak dan mungkin hingga Afghanistan dan Pakistan—akan terseret ikut berperang. Dan tidak lama kemudian, Amerika Serikat dapat dengan mudah terseret ke dalam konflik karena pasukan dan fasilitasnya menghadapi serangan di seluruh Timur Tengah. Iran dapat merespons dengan mengaktifkan sel-sel proxy di wilayah tersebut dan sekitarnya.
Skenario mengerikan seperti ini sebenarnya bisa dihindari. Namun untuk mencegahnya diperlukan peningkatan tindakan pencegahan di sepanjang perbatasan Israel dengan Libanon, di mana Hizbullah mengawasi dari sisi lain. Kredibilitas tindakan pencegahan tersebut akan bergantung pada keefektivan Israel dalam melakukan serangan balik terhadap Hamas.
ADVERTISEMENT
Namun hal ini juga memerlukan upaya simultan melawan Hizbullah, termasuk pemberian sinyal (misalnya, dengan menggerakkan unit-unit militer penting) dan unjuk kekuatan (termasuk pengerahan angkatan laut ke pantai Lebanon dan pesawat tempur serta patroli drone).
Amerika Serikat juga mempunyai peran penting untuk mencegah berkembangnya perang regional. Negara Adidaya ini dapat mengerahkan angkatan udara dan armada lautnya di wilayah tersebut dan berkomunikasi dengan Iran dan Hizbullah bahwa eskalasi lebih lanjut akan menyebabkan sanksi yang lebih melumpuhkan dan, jika terjadi konflik besar-besaran, AS akan melakukan serangan terhadap kelompok tersebut. Untuk saat ini, Amerika Serikat telah mengirimkan kapal induk dan armada pengiringnya ke wilayah itu.
Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa Israel tidak akan menyerang total Hizbullah dan menjadikan wilayah Libanon sebagai Front Kedua setalah Hamas di Jalur Gaza. Hal ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya, pertama, menjadikan Hizbullah sebagai Front Kedua dapat memicu perang regional.
ADVERTISEMENT
Kedua, Israel dan Hizbullah, dengan alasannya masing-masing, nampak enggan meningkatkan eskalasi pertempuran. Ketiga, campur tangan langsung Amerika Serikat yang telah mengirimkan kapal induk yang dapat memperkecil dorongan-dorongan dari lawan-lawan Israel untuk menyerang Negara Zionis itu.