Konten dari Pengguna

Mewaspadai Senjata Digital Pemecah Belah yang Mengancam Pemilu 2024

Faisal Wibowo
Mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta
4 September 2023 13:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hoaks. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hoaks. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Ingar-bingar pemilu 2024 semakin terasa panas belakangan ini. Bukan hanya karena berita main serong dan pengkhianatan menuju pendeklarasian capres dan cawapres—namun sebagai zoon politicon (makhluk politik)—bangsa Indonesia selain harus dipusingkan memilih kandidat calon wakil rakyat dan calon pemimpinnya, juga dihadapkan dengan beragam ancaman serius, yaitu penyebaran hoaks.
ADVERTISEMENT

Hoaks: Senjata Digital Mematikan Pemilu

Sebagaimana diungkapkan Septiaji Eko Nugroho Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), bahwa hoaks atau informasi bohong dapat merusak akal sehat calon pemilih dan mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu. Bahkan, hoaks juga mampu merusak kerukunan masyarakat yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada pemilu 2019, hoaks yang terkait isu sosial dan politik jumlahnya sangat tinggi mencapai 91,8 persen. Tak bisa dimungkiri bahwa meningkatnya hoaks ini berkait kelindan dengan UUD 1945 pasal 28F tentang kebebasan setiap orang untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi.
Sementara itu, Herwyn JH Malonda Anggota Bawaslu RI memprediksi penyebaran informasi hoaks di media sosial puncaknya terjadi di bulan Februari 2024 menjelang tahapan pemilu. Fenomena yang sama juga terjadi pada pemilu 2019, di mana penyebaran informasi hoaks puncaknya terjadi saat pemungutan suara di bulan April 2019, sebanyak 501 isu hoaks menyebar ketika itu.
ADVERTISEMENT

Bias Kognitif

Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengungkap alasan penyebaran hoaks begitu masif adalah karena informasi palsu yang disebarkan menjadi alat untuk mempengaruhi opini publik. Ditambah lagi dengan masyarakat kita yang juga senang dengan berita-berita viral dan heboh.
Selain itu, masyarakat juga sering kali mengalami bias kognitif, yaitu kondisi saat alam bawah sadar (subconcious mind) mereka salah dalam berpikir yang menimbulkan kesalahan dalam memproses, dan menafsirkan informasi, sehingga mempengaruhi rasionalitas dan keakuratan dalam menilai dan mengambil sebuah keputusan.
Bias kognitif yang bisa terjadi dalam konteks pemilu yaitu bias konfirmasi. Artinya, para pemilih cenderung mempercayai informasi, berita, atau opini yang mendukung preferensi pilihan politik mereka, sekalipun informasi tersebut adalah tidak benar.

Bias Informasi

Ilustrasi hoaks. Foto: Shutter Stock
Di era digital, arus informasi begitu cepat dan mudah diakses, namun di saat yang sama juga sangat rentan terhadap bias. Artinya informasi yang didapatkan bukan yang sebenarnya, bisa jadi kebohongan yang diulang-ulang sehingga dipercaya oleh masyarakat. Dua aspek dalam bias informasi yang biasanya muncul ialah filter bubble dan efek bullshit asymmetry.
ADVERTISEMENT
Media sosial memiliki filter bubble, yakni fenomena di mana algoritma media sosial menyaring dan menampilkan konten kepada pengguna berdasarkan preferensi (kecenderungan), perilaku online, atau pandangan politik tertentu yang mereka cari.
Efek bullshit asymmetry yakni fenomena yang menggambarkan ketidakseimbangan antara kemampuan untuk menyebarkan informasi palsu (bullshit) dengan kemampuan untuk mengidentifikasi atau membongkar informasi palsu tersebut. Dalam konteks pemilu, efek “bullshit” merujuk pada informasi palsu, berita bohong yang digunakan untuk menjatuhkan kandidat tertentu, dan dapat merusak integritas pemilu.
Walhasil, masyarakat akan terpapar informasi atau opini yang sejalan dengan keyakinannya sendiri, sementara informasi atau pandangan yang bertentangan atau berbeda tidak mendapatkan eksposur yang sama. Akibatnya, terjadi polarisasi opini, kurangnya diversitas informasi, dan meningkatnya bias informasi.
ADVERTISEMENT

Dunning–Kruger Effect

Pertama kali dicetuskan oleh Psikolog Sosial David Dunning dan Justin Kruger tahun 1999. Efek Dunning–Kruger menggambarkan seorang individu memiliki persepsi yang bias terhadap kemampuannya sendiri berdasarkan keterbatasan pengetahuannya, ia cenderung menganggap dirinya lebih mengetahui daripada yang sebenarnya.
Hal ini berpotensi terjadinya penyebaran informasi palsu oleh individu yang merasa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah politik daripada yang sebenarnya.
Fenomena di atas menggambarkan dua hal, yaitu ketidakmampuan yang tidak disadari dan kepercayaan diri yang tidak realistis. Mereka merasa yakin bahwa mereka lebih tahu dan paling memahami, bahkan menganggap dirinya ahli dalam bidang tertentu, padahal kenyataannya tidak demikian.
Menjelang pemilu 2024, penyebaran hoaks yang dibentuk dari bias kognitif dan bias informasi seperti yang dijelaskan di atas, akan menjadi ancaman serius terhadap proses demokratisasi. Penyebaran informasi palsu tentang hasil pemilu akan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penyebaran informasi palsu tentang kandidat tertentu akan menjatuhkan reputasi mereka. Dan menyebarluaskan hoaks tentang isu-isu sensitif atau politik identitas dapat memicu polarisasi di masyarakat.

Bagaimana Mengantisipasi Hoaks?

Untuk mengantisipasi hoaks pada pemilu 2024, beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu mengedukasi masyarakat tentang mengidentifikasi informasi palsu, memberikan pemahaman tentang bias informasi dan bias kognitif, hal ini dapat membantu masyarakat menjadi lebih kritis dalam memfilter informasi.
Kemudian memverifikasi informasi melalui beberapa langkah, yaitu cek sumber resmi, lihat tanggal publikasi, cek foto dan videonya asli atau hasil editan, dan periksa di situs website seperti Snopes.com, FactCheck.org, atau AFP Fact Check.
Selain itu, media mainstream harus berperan aktif dalam memeriksa dan melaporkan informasi dengan integritas dan kebijakan redaksi yang ketat.
ADVERTISEMENT