Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kita Harus Merujuk ke Halmahera untuk Melihat Dampak Nyata dari Hilirisasi Nikel
22 Januari 2024 9:10 WIB
Tulisan dari Islah Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Calon Wakil Presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming, beberapa kali membahas mengenai hilirisasi berbagai komoditas pertambangan, salah satunya nikel. Hal itu disampaikan pada acara Debat Calon Wakil Presiden yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 21 Januari 2024 tentang lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agrarian, masyarakat adat, dan desa. Salah satu alasan Gibran mengutamakan komoditas nikel karena menurutnya Indonesia memiliki Cadangan nikel terbesar di dunia, sehingga program hilirisasi nikel harus diperbesar dan diperluas.
ADVERTISEMENT
Namun, Gibran tidak memberikan gambaran besar mengenai dampak nyata dari adanya pertambangan nikel yang telah terjadi di Indonesia. Dugaan saya, Gibran hanya berfokus pada ekonomi berskala makro saat pembahasan nikel tersebut. Padahal jika kita lebih mendalami debat tersebut, salah satu tema debat yang diusung yaitu soal masyarakat adat, di mana saat ini banyak masyarakat adat yang mengalami ancaman akan adanya pertambangan nikel. Bahkan, lingkungan hidup sebagai salah satu tema juga telah rusak akibat aktivitas pertambangan nikel, Salah satunya terjadi di Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.
Salah satu perusahaan pertambangan nikel terbesar di Indonesia, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang melakukan operasi pertambangan di Halmahera Tengah, dapat menjadi rujukan utama tentang dampak hilirisasi nikel di Indonesia. PT IWIP yang telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 tersebut memberikan ancaman nyata terhadap lingkungan hidup di Halmahera Tengah serta merampas ruang hidup masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Kerusakan Lingkungan Hidup yang Tak Terbendung di Halmahera Tengah
Hadirnya PT IWIP memberikan sejumlah dampak akibat aktivitas pertambangan nikel yang sangat masif. Salah satunya yaitu pencemaran sungai-sungai besar di lokasi pertambangan yang sebelumnya digunakan warga sekitar untuk kebutuhan sehari-hari. Beberapa sungai yang tercemar tersebut antara lain Sungai Sagea, Sungai Kobe, Sungai Akesake, dan lain-lain. Akibat pencemaran itu, warga tidak dapat memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih seperti sebelumnya.
Selain itu, adanya aktivitas pertambangan nikel juga memperburuk kualitas udara di Halmahera Tengah. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah penderita ISPA yang jauh meningkat dibandingkan sebelum adanya aktivitas pertambangan nikel. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, terdapat sekitar 8.264 kasus penderita ISPA yang tersebar di 12 Puskesmas di Halmahera Tengah selama tahun 2022. Sedangkan pada Bulan Januari-Agustus 2023 tercatat sebesar 5.166 kasus penderita ISPA. Data tersebut menunjukkan bahwa warga yang berada di lingkaran pertambangan mengalami ancaman kesehatan yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Aktivitas ekstraktif tersebut juga menciptakan bencana jangka panjang yang telah dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi tambang. Salah satunya yaitu banjir yang berkepanjangan. Sebelum adanya aktivitas pertambangan, banjir juga terjadi di Halmahera Tengah, terkhusus di sekitar Weda. Namun kondisi air banjir itu hanya berwarna coklat dan akan kembali jernih beberapa hari kemudian. Namun, setelah hadirnya pertambangan nikel, air banjir tersebut keruh dan tidak membaik selama beberapa minggu. Salah satunya terjadi pada tanggal 13 September 2023, di mana terjadi banjir bandang yang menerjang sekitar kawasan PT IWIP hingga merendam jalan umum serta pemukiman warga.
Berbagai dampak tersebut menggambarkan bahwa hilirisasi nikel melalui aktivitas pertambangan ekstraktif yang tidak memperhatikan aspek lingkungan justru akan merugikan masyarakat, alih-alih memberikan keuntungan ekonomi bagi warga sekitar. Berbagai dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan serta kesehatan akan terus terjadi jika pemerintah tidak mengevaluasi total perizinan berbagai perusahaan tambang yang telah beroperasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Aktivitas Tambang yang Menihilkan Hak Masyarakat Adat
Dalam konteks masyarakat adat, ekspansi wilayah yang dilakukan oleh PT IWIP diduga telah merampas ruang hidup masyarakat adat di Halmahera Tengah, terkhusus Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa. Penggundulan hutan sebagai salah satu cara ekspansi aktivitas ekstraksi nikel oleh PT IWIP menghilangkan sumber penghidupan Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa. Padahal, keberadaan hutan sangatlah penting bagi Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa, diantaranya sebagai sumber penyedia makanan, sumber penghidupan, serta tempat bersemayam bagi roh leluhur.
Bahkan, terjadi pengusiran masyarakat adat secara paksa yang juga dilakukan perusahaan melalui aparat pemerintah. Salah satunya dengan tindak intimidasi menggunakan berbagai pasal yang tidak dipahami oleh masyarakat adat, sehingga mereka merasa takut untuk pergi ke hutan karena ancaman pidana yang dibuat-buat oleh aparat pemerintah tersebut. Intervensi oleh aparat menunjukkan kecondongan keberpihakan pemerintah daerah kepada perusahaan dan meminggirkan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat. Alih-alih menjalankan hak masyarakat dalam mengambil keputusan yang tepat (free, prior, and informed consent), pemerintah justru mengizinkan perusahaan beroperasi melalui serangkaian aktivitas pertambangan tanpa melibatkan masyarakat adat yang justru menerima dampak besarnya.
ADVERTISEMENT
Walaupun belum mengeasahkan RUU Hukum Masyarakat Adat sebagai penjamin hak masyarakat adat, namun Indonesia telah meratifikasi United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang merupakan standar-standar hak yang dimiliki oleh masyarakat adat, sehingga pemerintah Indonesia wajib untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect) hak-hak masyarakat adat. Namun berkaca pada peristiwa yang terjadi di Halmahera, pemerintah abai untuk melakukan kewajibannya kepada masyarakat adat dari berbagai ancaman perampasan ruang hidup akibat aktivitas pertambangan PT IWIP yang telah ditetapkan negara sebagai PSN.
Kedua aspek tersebut yang terjadi di Halmahera harus menjadi rujukan kepada calon presiden dan wakil presiden untuk memperhitungkan berbagai dampak yang terjadi akibat berbagai pertambangan ekstraktif, terutama jika memprioritaskan masa kerjanya untuk melakukan hilirisasi komoditas pertambangan.
ADVERTISEMENT