Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dokter Bedah Saraf Prof Zainal Muttaqin
23 April 2023 20:23 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Isnawan Widyayanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kamar operasi penuh orang, tapi suasana begitu sunyi. Tak heran, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Operasi telah berlangsung lebih dari delapan jam. Kelelahan jelas tergambar di wajah para dokter dan perawat. Namun dokter ahli bedah saraf itu masih bergeming seakan lupa ia tak lagi muda.
Operasinya memang lama. Karena ia mengerjakan detail demi detail, mili demi mili, dengan sangat hati-hati. Gairahnya pada kesempurnaan hasil masih sama waktu ia masih muda. Ia seperti tak kenal jemu mengerjakan tugasnya. Meskipun operasi itu telah ribuan kali dikerjakannya. Dialah Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K). Dokter cerdas dengan kemampuan langka.
Saya sangat terkejut saat beredar surat pemberhentian beliau dari RS. dr. Kariadi Semarang. Surat tertanggal 5 April 2023 itu ditandatangani langsung oleh Direktur Utama RS, drg. Farichah Hanum, M.Kes. Menjadikan saya bertanya-tanya apa kiranya penyebab beliau diberhentikan dari pelayanan pasien di RS tipe A milik pemerintah pusat di Jawa Tengah tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam surat itu tidak dicantumkan eksplisit alasan pemberhentiannya. Apakah beliau terlibat masalah hukum? Apakah performa kerja beliau menurun sehingga jumlah operasinya sedikit, kehadiran layanan klinik rawat jalan berkurang, dan visit pasien rawat inap jarang?
Apakah beliau melanggar etik kedokteran? Apakah beliau sudah dianggap usang dan tidak berguna? Dan lebih dari itu semua, pertanyaan yang lebih fundamental adalah apakah keputusan pemberhentian beliau ini hasil pendapat independen Direktur Utama RS. dr. Kariadi ataukah ada tekanan eksternal yang mendikte pemberhentian tersebut?
Sebagai pembuat keputusan pemberhentian maka penandatangan surat tersebut semestinya menulis dengan jelas apa alasannya. Hal ini sebagai tanggung jawab moral seorang pemimpin, sekaligus menghapus prasangka yang berkembang dari ketidakjelasan itu. Sebuah prasangka yang muncul di benak saya mengapa pemberhentian ini terjadi.
ADVERTISEMENT
Dugaan saya, "penyingkiran" Prof. dr. Zainal Muttaqin , Phd, Sp.BS(K) dari RS. dr. Kariadi berkaitan dengan tulisan-tulisan beliau. Dalam media tersebut beliau kerap kali menulis opini yang berseberangan dengan pernyataan dan arah kebijakan Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Bahkan dapat dikatakan, setiap judul tulisan beliau yang lahir adalah bentuk reaksi dari pernyataan Menkes yang perlu untuk diluruskan. Sebab berpotensi menimbulkan narasi sesat di masyarakat luas. Kemudian dugaan muncul, sumber utama gesekan ini adalah RUU Kesehatan Omnibus Law. Menkes sebagai pihak yang pro, sementara Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K) ditengarai sebagai pihak yang kontra.
Bahkan, dalam satu tulisannya beliau menulis dengan keras bahwa RUU ini akan mengancam keselamatan masyarakat, memecah belah IDI (Ikatan Dokter Indonesia), mempersulit birokrasi tenaga kesehatan, memudahkan masuknya tenaga kesehatan asing, kapitalisme di bidang kesehatan, dan menjadikan Kemenkes sebagai institusi superpower dengan mengebiri peran organisasi profesi dokter.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dari perspektif Menkes RUU ini akan mampu menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia. Masalah kekurangan SDM dokter, terutama dokter spesialis, dan pemerataannya di Indonesia. Masalah alur pengurusan STR (Surat Tanda Registrasi) dan SIP (Surat Izin Praktik) dokter yang dianggapnya mahal dan penuh pemerasan terselubung.
Dalam sebuah video, Menkes menuding IDI memiliki kepentingan bisnis dalam pengurusan STR dan SIP dokter. Ia menghitung bahwa jumlah uang yang bisa dikumpulkan bisnis penerbitan STR ini bisa mencapai Rp 430 miliar per tahun. Sedangkan biaya untuk memenuhi 250 SKP sebagai syarat penerbitan STR dapat menghabiskan Rp 62 juta per dokter. Sehingga pantas bahwa IDI menjadi gaduh bila wewenang itu diambil darinya.
“Ya pantes rame...,” begitu ucapnya.
ADVERTISEMENT
Dengan landasan berpikir seperti itulah, Menkes menawarkan diri menjadi pahlawan dengan mengambil alih tugas pengurusan STR dan SIP di bawah yurisdiksi Kementerian Kesehatan. Tidak lagi dipegang oleh organisasi profesi dokter. Lebih lanjut, Menkes menginginkan agar Surat Rekomendasi IDI Cabang di Kabupaten Kota dihapuskan karena menjadi sarang pemerasan terselubung lainnya.
Pernyataan ini dibantah oleh Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K). Dalam sebuah tulisan bertajuk Tanggapan Pernyataan Menkes Soal Pemerasan Terselubung di Kedokteran Indonesia , beliau menuliskan secara rinci hitungan sebenarnya pengeluaran penerbitan STR yang dibayar seorang dokter. Upaya pelurusan fakta dari apa yang disebut beliau sebagai fitnah keji yang menyesatkan pada organisasi IDI.
Beliau juga mendukung Surat Rekomendasi IDI Cabang tetap ada. Rekomendasi ini adalah kontrol perilaku profesionalitas dan etik yang hanya bisa diamati dan dinilai oleh peer group dokter di unit terkecilnya, yaitu IDI Cabang. Berkali-kali beliau menyayangkan tudingan Menkes yang ditancapkan ke dada organisasi IDI.
ADVERTISEMENT
Beliau curiga bahwa narasi-narasi dari Menkes ini adalah upaya pembangunan isu negatif terstruktur untuk mendiskreditkan dan meruntuhkan marwah IDI. Sehingga nantinya dicapai tujuan pembenaran sepihak pengambilalihan wewenang IDI melalui mulusnya pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law.
Terhadap masalah kurangnya SDM dokter, utamanya dokter spesialis, Menkes memberikan solusi melalui perubahan model pendidikan dokter spesialis yang semula university based menjadi hospital based.
Beliau juga terbuka terhadap masuknya dokter luar negeri untuk bekerja di Indonesia melalui Permenkes No.6 tahun 2023 tanpa mensyaratkan kemampuan berbahasa Indonesia. Karpet merah dokter asing ini konon bertujuan untuk membantu mengatasi persoalan pelayanan kesehatan di masyarakat.
Dokter spesialis di Indonesia saat ini adalah lulusan model university based dari 92 universitas di Indonesia. Menkes ingin mengubah model ini menjadi hospital based dengan jumlah katanya sekitar 3.000 RS yang siap menghasilkan dokter spesialis, alih-alih hanya 92 pusat pendidikan dokter spesialis saat ini. Dengan hitungan seperti ini, akan dihasilkan setidaknya akselerasi 30 kali lipat dari kemampuan produksi dokter spesialis saat ini. Sebuah lompatan angka yang fantastis tentunya.
ADVERTISEMENT
Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K) lagi-lagi menulis tulisan untuk mematahkan argumen Menkes di atas. Dalam tulisannya Mendidik Dokter Tidak Sama dengan Mencetak Tukang Operasi/ Tukang Mengobati , beliau mengatakan bahwa landasan berpikir Menkes dangkal dengan menganggap pendidikan profesi spesialis seolah pendidikan vokasi yang cukup dilakukan di Balai Latihan Kerja.
Untuk menjadi dokter spesialis yang memerlukan waktu setidaknya 10 tahun lamanya bukanlah tanpa alasan. Panjangnya masa pendidikan itu memiliki tujuan agar dokter spesialis yang dihasilkan tidak hanya memiliki pengetahuan cukup dan keterampilan yang baik, namun juga memiliki landasan etika, disiplin, dan profesionalitas. Berdasarkan kondisi saat ini tujuan tersebut hanya mungkin tercapai melalui metode university based bila melihat kemampuan pendidik yang tersedia.
ADVERTISEMENT
Bila metode pendidikan dokter spesialis dipaksakan beralih ke hospital based, maka lulusan dokter spesialis yang dihasilkan akan mengalami kemerosotan standar kualitas. Seorang dokter, yang menurut istilah beliau, hanya sekadar "tukang operasi dan tukang mengobati". Tanpa memiliki integritas etika, profesionalitas, dan disiplin yang justru nilai paling esensial dalam perawatan objek manusia seutuhnya.
Guru Besar Bedah Saraf Undip ini juga menyoroti upaya Menkes mempermudah dokter asing berpraktik di Indonesia dengan menghilangkan kewajiban berbahasa Indonesia. Bagi beliau, kemampuan Bahasa Indonesia ini adalah faktor utama yang harus ada pada dokter asing bila ingin merawat pasien Indonesia.
Tanpa kemampuan ini, dokter asing akan cacat dalam melakukan anamnesa (pertanyaan terarah dari dokter terkait penyakit). Terlebih bila pasiennya sendiri tidak bisa memahami bahasa yang digunakan dokter tersebut. Sehingga rawan terjadi komunikasi yang salah antara dokter-pasien.
ADVERTISEMENT
Padahal kualitas komunikasi ini akan menentukan tindakan dokter selanjutnya. Pemeriksaan radiologi yang akan diminta, pemeriksaan darahnya apa saja, atau perlukah konsultasi dengan dokter spesialis bidang lain terkait apa yang dikeluhkan pasien.
Secara singkat beliau menggarisbawahi hal ini akan memperbesar peluang salah diagnosis (missed diagnosed), salah pengobatan, dan permintaan pemeriksaan yang tidak perlu sehingga merugikan pasien. Baik dari segi waktu maupun keuangan.
Perbedaan-perbedaan landasan logika antara dokter langka Ahli Bedah Saraf Epilepsi dengan Menkes itu semakin diperuncing dengan narasi hubungan dokter-perawat di Indonesia. Dalam suatu forum, Menkes mengatakan bahwa dokter merasa kastanya jauh di atas perawat. Kedudukan perawat di Indonesia dalam pandangannya adalah pesuruh, dekat-dekat dengan pembantu. Ia membandingkan kondisi ini dibandingkan di luar negeri, di mana dokter dan perawat itu setara dan bekerja sebagai tim.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K) bereaksi keras melalui tulisan Tanggapan Terbuka Pernyataan Menkes di Medsos Tentang Profesi Perawat dan Dokter . Naluri kemanusiaan beliau terusik mendengar pernyataan Menkes.
Beliau yang puluhan tahun berkolaborasi dengan perawat memberikan pelayanan terbaik bagi pasien, mungkin merasa hal tersebut tak pantas diucapkan apalagi dalam kapasitasnya sebagai menteri kesehatan. Demi apa pernyataan itu diutarakan? Untuk menciptakan jurang dan situasi saling curiga antara dokter dan perawat?
Saya tidak melihat adanya manfaat yang bisa didapat darinya selain renggangnya hubungan dokter-perawat setelah puluhan tahun kami mencoba mengeratkannya. Tuduhan Menkes bisa jadi relevan pada 40-50 tahun lampau. Namun saat ini rekan perawat dapat mencapai pendidikan yang bahkan lebih tinggi dari dokter, berupa perawat spesialis, S2, sampai S3.
ADVERTISEMENT
Bila memang ada kesan kasta ekonomi perawat lebih rendah dibandingkan dokter, itu justru menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan untuk memberikan penghargaan finansial yang layak pada segenap perawat yang bekerja di RS dan Puskesmas di bawah Kementerian Kesehatan.
Perseteruan-perseteruan inilah yang menurut dugaan saya sebagai sebab pemberhentian Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K) dari RS. dr. Kariadi . Rumah sakit tempat beliau mendedikasikan ilmunya, ketrampilannya, dan rasa cintanya pada pasien hampir 30 tahun lamanya. Bagi mereka yang mengenalnya, seperti saya, atau sekali saja bertemu dengannya, akan mendapati beliau sebagai pribadi yang hangat. Kecerdasan tampak jelas dari sorot matanya. Bila itu soal pembahasan ilmu kedokteran, mata itu mendadak berbinar-binar menjelaskannya.
Di tengah jadwal padat operasinya, beliau tak bosan memberikan waktunya untuk mendidik calon dokter spesialis maupun dokter muda (koas). Menghujani mereka dengan pertanyaan medis dan tertawa renyah bahagia bila mendapati jawaban benar atas pertanyaannya. Suatu karakter pendidik sejati.
ADVERTISEMENT
Soal pencapaian keilmuan, beliau adalah lulusan S3 Hiroshima University sekaligus satu dari sedikit Ahli Bedah Saraf yang memiliki kemampuan operasi epilepsi. Soal sikapnya pada pasien, carilah tahu sendiri dari pasien yang pernah dirawatnya. Mereka akan mengatakan beliau sebagai dokter baik yang mampu menjelaskan penyakit dengan bahasa yang enak dan sederhana. Tak lupa senyum dengan sikap yang ramah.
Dokter seperti itulah yang akan disingkirkan dari RS. dr. Kariadi. Tanpa alasan jelas selain yang bisa saya lihat dari benang merah dari tulisan-tulisan beliau. Tulisan yang bernada kontra pada orang nomor satu di kementerian jas putih.
Sejatinya bukan Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K) yang merugi dari pemberhentian bhakti pada negeri. Namun deretan panjang pasien saat ini maupun masa datang yang berpotensi mendapat sentuhan keahliannya di kamar operasi RS. dr. Kariadi.
Pun demikian dengan calon dokter, calon dokter spesialis, dan perawat yang mendapat pengajaran darinya. Semua akan terhenti begitu saja. Bila ada suatu kesia-siaan, maka ini adalah kesia-siaan paling sia-sia. Kontradiksi sekali. Katanya kurang tenaga dokter spesialis tapi justru membuang yang telah ada. Yang kualitasnya tidak kaleng-kaleng pula.
ADVERTISEMENT
Pemberhentian Prof. dr. Zainal Muttaqin, Phd, Sp.BS(K) yang diduga karena tulisannya mestinya mengusik nurani kita. Di negara manakah kita tinggal? Indonesia atau Korea Utara? Bila memang tanah ini adalah Indonesia yang kita cintai bersama, harusnya kebebasan berpendapat dijamin oleh negara. Republik ini menjunjung tinggi hak tiap manusia di dalamnya untuk bersuara bebas, meskipun berseberangan dengan pendapat pemerintah.
Bukan melalui "pembungkaman" seperti ditunjukkan dalam edaran Kementerian Kesehatan No : HK.01.01/D/4902/2023 yang melarang seluruh ASN Kementerian Kesehatan membahas RUU kesehatan di luar forum resmi dengan ancaman sanksi administrasi pada pelanggarnya. Bukan pula melalui penyingkiran seorang guru besar dari RS milik pemerintah karena tulisannya.
Ini negara demokrasi, bukan negara tangan besi. Tiap mulut yang mau bersuara, tiap kritik dalam goresan pena, justru adalah bentuk kepedulian ke mana arah kapal. Ke lautan yang aman atau ke jalur yang akan menenggelamkan seisi awak kapal. Kalau pun mau bisa saja mereka memilih aman, apatis dan diam.
ADVERTISEMENT
Seorang Menteri Kesehatan adalah dirigen dari sebuah pertunjukan orkestra besar kesehatan. Di dalamnya ada dokter, perawat, bidan, dan aneka rupa tenaga kesehatan lainnya. Masing-masing memainkan instrumen musik yang sama pentingnya. Menunggu dirigen mengayunkan tongkatnya agar menghasilkan suara megah yang terkolaborasi dengan indah.
Maka tak elok dirigen menuduh pemain biolanya menyembunyikan uang konser tanpa bukti nyata, tak elok pula memecah belah pemain cello dan clarinet dengan mengatakan mereka berbeda kedudukannya. Rangkul pemain biola, cello, clarinet, harpa, flute, oboe, tuba, dan bass drum semuanya.
Karena hanya dengan jalan itulah masing-masing pemain akan bertenggang rasa menyesuaikan tempo, mematuhi ayunan dirigen, untuk kemudian memastikan suksesnya sebuah orkestra.