Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
G30S, Supersemar dan Transisi Kekuasaan
12 Maret 2024 7:38 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 11 Maret 1966, atau 58 tahun lalu, terjadi salah satu peristiwa politik paling krusial dalam sejarah Indonesia modern. Sejarah mencatat, Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Letjen Soeharto yang menjabat Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat tertulis itu dikenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret, disingkat Supersemar atau SP 11 Maret 1966.
ADVERTISEMENT
Supersemar terbit di tengah memanasnya tensi politik dan keamanan di Jakarta dan berbagai daerah menyusul kudeta G30S pada awal Oktober 1965 di Ibukota yang kemudian memicu kehebohan nasional luar biasa. Supersemar tidak hanya merupakan respon atas tuntutan dan ekspresi ketidakpuasan rakyat pada perkembangan keadaan, tetapi juga bagian dari rangkaian peristiwa transisi politik. Supersemar seolah menjadi “surat sakti” yang melempangkan peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru.
Kudeta G30S
Kalau dikilas balik, masa-masa sebelum meletusnya G30S yang didalangi PKI merupakan masa-masa yang penuh dengan ketegangan politik. Dinamika politik periode Demokrasi Terpimpin ditandai antara lain adanya konflik antara Angkatan Darat dan PKI. Pasca pembububaran Masyumi dan PSI, Angkatan Darat bertransformasi menjadi garda depan kekuatan antikomunis. Keadaan itu juga memperburuk hubungan Angkatan Darat dengan Presiden Sukarno yang secara terang-terangan (antara lain dengan menggunakan doktrin ‘Nasakom’) melindungi PKI (Said, 2015).
ADVERTISEMENT
Pada saat memburuknya hubungan AD dan Sukarno, terutama di masa akhir kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin, PKI yang seolah mendapatkan “angin” dari Presiden malah makin meningkatkan ofensif revolusioner di hampir semua sektor. Namun pada saat itu, di kalangan militer sendiri terdapat perbedaan-perbedaan sikap terhadap Sukarno. Meskipun terdapat perbedaan sikap di antara kelompok Nasution, Yani dan Soeharto terhadap Presiden Sukarno, tetapi mereka sepakat dalam menghadapi PKI. Mereka menjalin kontak dan aliansi dengan elemen-elemen antikomunis lainnya (Said, 2015).
Kerumitan konflik dan persaingan di tubuh militer, khususnya AD, serta relasinya dengan Sukarno dan PKI, membantu menjelaskan latar belakang peristiwa Gestapu 1965. Tragedi itu sendiri meletus pada malam 30 September 1965 di mana sekelompok perwira militer yang menyebut diri mereka “Gerakan 30 September” dan dipimpin oleh Letkol Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa (pasukan penjaga Istana Presiden), menculik dan membunuh enam tokoh puncak militer yang mereka tuduh sebagai “Dewan Jenderal” yang merencanakan untuk melakukan “kudeta kontra revolusi”. Dalam pengumumannya pada pagi hari 1 Oktober itu, Untung menyatakan bahwa “Gerakan 30 September” dilakukan untuk melindungi Presiden Sukarno dari ancaman “Dewan Jenderal”. Ia juga mengumumkan pembentukan dewan revolusi dengan 45 anggota untuk memerintah Indonesia. Ketua Dewan Revolusi Indonesia adalah Untung sendiri. Ada puluhan tokoh yang disebut sebagai anggota Dewan Revolusi Indonesia, tetapi hanya sedikit saja orang komunis. Selebihnya antara lain adalah orang-orang agama, perwira tinggi ABRI yang dianggap tidak tahu menahu dengan peristiwa itu (Sulastomo, 1990). Cukup aneh, nama Sukarno tidak masuk di antaranya. Untung juga tidak mengindikasikan Presiden mendukung tindakannya. Namun suatu pernyataan dikeluarkan atas nama Sukarno pada siang 1 Oktober yang menyatakan bahwa ia selamat dan dalam keadaan baik, bahwa kepemimpinan AD ada di tangannya. Pada 2 Oktober Presiden menyatakan menujuk Mayjen Pranoto Reksosamodra untuk menjalankan tugas sehari-hari di Kementerian Pangad (Anwar, 1980).
ADVERTISEMENT
Namun gerakan Untung menjadi berantakan pada hari itu juga. Kekuasaan militer segera berada di tangan Mayjen Soeharto, Komandan Kostrad. Walaupun mempunyai posisi strategis, tetapi Soeharto tidak menjadi target gerakan 30 September dan ini memunculkan spekulasi dan dasar bagi mereka yang mencurigai hubungannya dengan komplotan Untung itu. Sesuai dengan pernyataannya kemudian, segera setelah ia mendengar penculikan itu – pada pagi 1 Oktober – Soeharto memutuskan mengambil alih pimpinan AD. Ia mendahului keputusan Sukarno yang telah menunjuk Pranoto, perwira tinggi asal Divisi Diponegoro. Dengan cepat Soeharto mengumpulkan pasukannya untuk menghancurkan kelompok yang melakukan kudeta.
Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal AD tersebut masih menjadi tanda tanya besar di awal Oktober itu, tidak hanya di Jakarta, tetapi di seluruh pelosok negeri. Bahkan kemudian memicu berbagai spekulasi, terutama terkait siapa yang (menyuruh) menculik dan bahkan membunuh para petinggi tentara tersebut. Pada hari itu, mayoritas masyarakat, bahkan kalangan elite, juga tidak mengetahui dan memahami apa yang terjadi. Sebab setelah pengumuman Untung, selang beberapa jam kemudian, atau pada malam harinya, muncul pengumuman radio dari Soeharto yang informasinya berbeda 180 derajat. Sejak saat itu, Soeharto dan kelompok-kelompok anti-komunis serta kalangan masyarakat mulai menuduh PKI sebagai pihak bertanggungjawab atas kudeta yang gagal tersebut (Said, 2015).
ADVERTISEMENT
Pasca-Gestapu yang berantakan, angin politik dengan cepat mengarah ke pendukung Orde Baru. Gerak cepat Jenderal Soeharto telah mengubah konstelasi politik di Ibukota. Pangkostrad segera mendapat dukungan luas dari kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok antikomunis lainnya. Spontanitas gerakan melawan kekuatan komunis itu digambarkan seperti “air bah yang dahsyat”. Ada semacam perasaan yang terpendam terhadap dominasi dan bahkan arogansi PKI di masa sebelumnya. Aksi-aksi antikomunis pasca-Gestapu makin kuat dan efektif setelah terbentuknya berbagai kelompok kesatuan aksi, semacam kelompok-kelompok penekan (pressure groups) yang dibentuk dari berbagai macam organisasi dan elemen masyarakat guna mendukung kebijakan-kebijakan militer pasca-kudeta. Dalam pembentukannya kelompok-kelompok ini sebagian diprakarsai militer dan Adam Malik. KAMI dan KAPPI yang dibentuk Oktober 1965 adalah kelompok-kelompok yang aktif.
ADVERTISEMENT
Memasuki tahun 1966 aksi-aksi mahasiswa makin intens, bahkan menimbulkan huru-hara yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa UI Arief Rahman Hakim akibat ditembak anggota pasukan pengawal Presiden pada 24 Februari 1966. Akibat kericuhan itu Sukarno membubarkan KAMI dan menutup UI. Gerakan massa bahkan kemudian mengarah pada isu peralihan kekuasaan. Puncaknya pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberi wewenang kepada Soeharto untuk mengatasi situasi dan kondisi yang tidak stabil dengan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu. Dengan bekal “surat sakti” itu, Soeharto pun kemudian melakukan tindakan politis yakni membubarkan PKI, melarang paham komunis, merombak kabinet dan menghukum orang-orang yang dianggap terlibat dan terkait dengan peristiwa G30S dan organisasi pendukungnya. Dengan demikian berbagai aksi demonstrasi massa tersebut merupakan faktor penting, bahkan mungkin menjadi terpenting, yang memaksa Sukarno memberikan kekuasaannya kepada Soeharto dan menyusun kabinet yang baru.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan aksi-aksi mahasiswa dan pelajar di perkotaan, aksi-aksi pembalasan fisik terhadap komunis jauh lebih mengerikan. Ribuan orang PKI dibunuh di berbagai daerah. Aksi-aksi balas dendam ini berlangsung sejak pertengahan Oktober 1965 sampai tahun berikutnya
Memasuki tahun 1967, aksi-aksi mahasiswa dan pelajar masih terus berlangsung, sekalipun intensitasnya mulai berkurang. Isunya antara lain seputar pembahasan sidang MPRS yang terkait pertanggungjawaban Presiden Sukarno. Isu yang diusung kalangan mahasiswa Padang jelas mengikut tuntutan yang sedang berkembang di Ibukota terkait tuntutan pemberhentian Presiden Sukarno yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya kekacauan politik di sekitar Gestapu dan kemerosotan ekonomi. Tuntutan di kalangan mahasiswa dan angkatan 66 sendiri juga sejalan dengan suara anggota MPRS yang menolak pertangungjawaban Presiden Sukarno.
ADVERTISEMENT
Demikianlah masa-masa permulaan pasca-G30S adalah masa-masa “transisi” politik dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru. Suasana perubahan pun berlangsung begitu cepat. Ketika PKI dan Presiden Sukarno mengalami krisis kekuasaannya, militer, khususnya Angkatan Darat, pun kemudian tampil sebagai satu-satunya kekuatan politik utama dan menentukan.