Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Korupsi, Politik Dinasti, dan Budaya Masyarakat
19 Juli 2024 15:09 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak lama muncul pertanyaan, khususnya di kalangan akademisi dan cendekiawan: mengapa di Indonesia seorang eks terpidana korupsi bisa kembali menduduki jabatan publik? Mengapa seolah ada kelompok masyarakat mau memilih tokoh yang mengandalkan politik uang dan pencitraan semu untuk menduduki jabatan anggota legislatif atau eksekutif?
ADVERTISEMENT
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dasar yang sudah menjadi klasik di atas tak jarang dikaitkan dengan (kecenderungan) budaya masyarakat. Ada keyakinan bahwa salah satu penyebab kenapa korupsi sulit diberantas karena tetap eksisnya nilai-nilai atau pandangan kultural (masyarakat) yang memungkinkan atau menoleransi tumbuh dan berkembangnya korupsi dengan segala dimensinya itu.
Belakangan ini orang secara pejoratif menyebutnya "Asian Values" atau "Indonesian Values." Termasuk di dalamnya perihal politik dinasti di mana ada anggapan bahwa masyarakat kita mentolerir berlakunya politik keluarga asal dirasakan atau tepatnya dianggap memberi dampak kepada kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan.
Kecenderungan ini sudah berlaku lama dalam masyarakat kita. Warisan budaya lama yang terus dipertahankan, bahkan ketika nilai-nilai baru diperkenalkan, nilai-nilai lama tidak sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai lama tersebut bahkan diadaptasi sedemikian rupa ke dalam praktik sosial pada konteks kekinian.
Kita ambil saja ilustrasinya pada perkembangan di masa awal reformasi. Dari sisi politik, era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 pada awalnya diikhtiarkan untuk merombak sistem politik Orde Baru yang otoriter dan feodalistik dengan menggantikannya dengan sistem demokrasi. Kebijakan dan praktik politik koruptif di banyak lini juga hendak ditransformasi menjadi politik meritokratis yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
ADVERTISEMENT
Namun dalam perkembangannya, semangat reformasi secara perlahan mengalami distorsi dan pembelokkan. Sistem otoriter memang digantikan sistem demokrasi, bahkan sistem demokrasi langsung, tetapi yang juga berkembang secara paralel adalah demokrasi bercorak kapitalistik. Politik bernuansa transaksional berlangsung di berbagai tingkatan dan arena politik.
Sistem politik sentralistis kekuasaan juga sudah digeser menjadi sistem yang desentralistis, namun paradoksnya juga muncul dan bertumbuh: penyebaran korupsi ke daerah. Otonomi dan desentralisasi politik dan keuangan menyebabkan penyebaran korupsi dan ketimpangan wilayah alih-alih pemerataan pembangunan.
Politik Dinasti dan Budaya Koruptif
Belakangan isu politik dinasti juga kembali menyeruak. Dalam konteks ini, Presiden Joko Widodo dianggap sebagai praktisi ulung politik dinasti. Jalan "spektakuler" dua putranya, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, dan juga menantunya, Bobby Nasution, ditengarai tidak terlepas dari politik cawe-cawe Presiden. Tidak terbayangkan sebelumnya, seorang presiden petahana di ujung masa jabatannya memiliki anak yang segera pula akan menjadi wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Di negara demokrasi maju , sebutan politik dinasti atau dinasti politik memang bukan sesuatu yang luar biasa. Di AS, keluarga Kennedy dan Bush merupakan contoh keluarga politisi yang pada masanya mewarnai kancah politik negara adidaya itu. Anggota keluarga yang terjun ke politik dan pemerintahan tidak ujug-ujug, tetapi betul-betul dipersiapkan dengan baik dan matang melalui pendidikan dan perjenjangan karier politik yang mesti dilewati.
Memang politik dinasti akan bernilai KKN ketika prosesnya melabrak etika dan asas kepatutan. Seorang pejabat publik karena jabatannya atau bahkan karena modal finansialnya memberi peluang bagi anggota keluarganya untuk memperoleh jabatan publik dengan menihilkan peluang orang lain yang sebenarnya lebih kompeten dan kapabel.
Di negara ini mungkin ada saja alasan untuk membenarkan politik dinasti yang melabrak asas kepatutan dan etika dimaksud. Alasan sistem demokrasi tak boleh membatasi hak warga negara bisa menjadi "pintu masuk" untuk praktik politik dinasti yang tak layak dan tak patut.
ADVERTISEMENT
Argumen semacam ini berpijak pada keyakinan tentang demokrasi prosedural yang tak jarang mengabaikan etika dan asas kepatutan. Tidak heran, jauh sebelum masa sekarang ini, politik dinasti yang tergolong tidak layak dan patut atau melanggar etika tersebut sudah berlangsung di banyak daerah dan pusat sendiri.
Namun tidak boleh juga menafikan kenyataan bahwa ada praktik politik keluarga yang tidak tergolong politik dinasti yang nir-etika, sehingga mendapatkan approval tinggi dari rakyat atau komunitasnya. Dengan kata lain, mayoritas rakyat bisa menerima politik dinasti sepanjang tidak melanggar asas kepatutan dan etika serta membawa kemaslahatan umum.
Kembali pada pertanyaan awal: apakah budaya masyarakat kita memberi peluang langgengnya korupsi dan penyimpangan (distorsi) kekuasaan, termasuk politik dinasti yang melanggar asas kepatuhan dan cacat etika? Budaya masyarakat atau tepatnya praktik budaya yang berkembang pada kehidupan masyarakat tentu bukan suatu harga mati, melainkan bersifat dinamis.
ADVERTISEMENT
Ada kalanya, apa yang dipersepsi sebagai budaya pada dasarnya bukan budaya itu sendiri, melainkan suatu penyimpangan budaya. Pandangan ini meyakini bahwa budaya sebagai nilai ideal pada ghalibnya baik untuk kemaslahatan umum.
Merujuk ke Hofstede (1991), kita mesti bedakan antara budaya dan praktik budaya. Ketika ada golongan masyarakat seolah menjustifikasi perilaku koruptif, misalnya, maka hal itu pada prinsipnya bukan budaya, tetapi praktik budaya berdasarkan pada penafsiran tertentu yang tak jarang bersifat subjektif dan temporer.