Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilgub Sumbar, Pemerintah Pusat dan Pembangunan Daerah
18 Juli 2024 6:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Genderang pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 makin kencang, termasuk di Sumatera Barat. Di daerah ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), misalnya, mengumumkan berkoalisi mengusung pasangan Mahyeldi Ansharullah-Vasco Ruseimy dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Sumatera Barat tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan mengusung duet Mahyeldi-Vasco tertuang dalam rekomendasi partai masing-masing. DPP PKS, misalnya, mengeluarkan SK Nomor 628.3.C-1/SKEP/DPP-PKS/2024 bertanggal 4 Juli 2024. Mahyeldi adalah Gubernur incumbent yang merupakan Ketua DPW PKS Sumbar, sedangkan Vasco Ruseimi adalah kader muda dan salah satu Ketua DPP Partai Gerindra (Kompas.id).
Kemunculan duet ini cukup mengejutkan, tidak hanya karena tingginya elektabilitas Mahyeldi sebagai petahana, tetapi juga karena dalam lima tahun terakhir kedua partai terlibat persaingan bahkan mengarah konflik politik yang kontraproduktif bagi perkembangan (pembangunan) daerah. Puncaknya adalah Pilpres 2024 lalu di mana kedua partai mendukung calon presiden yang bersaing keras satu sama lain, khususnya antara paslon Anies-Muhaimin yang didukung PKS dan Prabowo-Gibran yang didukung Gerindra.
ADVERTISEMENT
Wartawan senior Sumbar Effendi dalam kolomnya di situs analisakini.id mengatakan, pasangan Mahyeldi-Vasco, jika terpilih nantinya, akan memberikan harapan baru, terutama dalam konteks relasi daerah Sumbar dengan pemerintah pusat yang bermanfaat bagi pembangunan daerah ini lima tahun ke depan. Gubernur Mahyeldi sejauh ini dianggap menghadapi kendala tertentu dalam menjalin relasi konstruktif dengan penguasa politik di pusat mengingat ia berasal dari partai oposisi, sementara lingkaran pengambil keputusan di tingkat pusat notabene didominasi PDIP bersama anggota koalisinya.
Kendala Mahyeldi ini dalam batas tertentu hampir sama dengan yang dialami Gubernur sebelumnya, Irwan Prayitno, yang juga dari PKS. Perbedaan lanskap politik di tingkat lokal dan nasional sejak Pilpres 2014 menjadi hambatan tersendiri bagi pemimpin lokal dalam melakukan kontak dengan penguasa politik di pusat untuk kepentingan pembangunan Sumbar, daerah yang notabene secara SDA miskin (dibandingkan banyak daerah lain). Sudah menjadi pengetahuan umum juga, khususnya di dunia birokrasi dan politik, bahwa kualitas relasi elit lokal dan nasional akan mempengaruhi kualitas representasi kepentingan daerah di tingkat pusat.
ADVERTISEMENT
Masalah ini sebenarnya bisa diatasi jika ada pihak yang menjembatani barrier politik semacam itu. Masalahya pula selama ini banyak tokoh asal Sumbar atau Minang tumplek di barisan "oposisi" terhadap pemerintahan nasional yang dipimpin Jokowi dan PDIP. Tidak heran, dalam konteks ini, orang bilang, inilah masanya tak ada lagi atau minimnya tokoh Minang berpengaruh di Kabinet maupun lembaga negara strategis lainnya.
Keadaan menjadi rumit, karena berbagai sikap politik elit lokal seolah mencerminkan sikap "oposisi" daerah ini pada penguasa politik di pusat. Keadaan ini seolah bertolak belakang denga citra orang Minang dalam sejarah sebagai etnik yang piawai berdiplomasi. Anekdot orang Minang "banyak akal" atau "BA" , termasuk memperjuangkan kepentingan daerahnya, seperti tidak kelihatan lagi belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Sikap elit lokal itu memang sejalan dengan sikap mayoritas rakyat Minang yang tidak memilih dan tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi sejak mula memimpin negara ini. Gubernur sendiri misalnya bahkan seakan tidak mencerminkan fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sebagaimana diatur UU, tetapi lebih mewakili suara-suara (mayoritas) masyarakatnya kalau bukan suara partainya.
Ketika Pilpres 2019 usai, sebenarnya ada harapan Sumbar akan akomodatif dengan pusat. Tanda-tanda itu terlihat ketika Partai Gerindra bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Di Sumbar sendiri, Gerindra adalah pemenang pemilu legislatif 2019. Namun dalam perkembangannya, sikap oposisi Sumbar terhadap penguasa politik di pusat tak berkurang. Bergabungnya Prabowo dan Gerindra ke koalisi pemerintah malah mengundang kritik dari banyak kalangan, termasuk di Sumbar.
ADVERTISEMENT
Politik di sekitar Pilkada Sumbar 2020 makin menegaskan betapa tidak mudah merintis politik akomodasi daerah dengan pusat. Keberadaan Gerindra, juga PAN, di Kabinet Indonesia Maju seakan tak banyak menolong ketika sikap partai-partai yang punya kaki kuat di Sumbar itu disesalkan banyak kalangan, termasuk di ranah Minang. Persaingan dan bahkan konflik Gerindra dan PKS dalam Pilkada 2020 seperti "perang saudara" di Sumbar.
Kemenangan kader PKS, Mahyeldi, yang berpasangan dengan kader PPP, Audy Joinaldi, dalam Pilkada 2020, menebalkan perseteruan antara kedua partai berpengaruh di Sumbar itu. Inilah yang menyebabkan mengapa usaha-usaha membangun dan memulihkan relasi dengan pusat untuk kepentingan rakyat daerah tidak banyak berhasil.
ADVERTISEMENT
Keadaan inilah yang terjadi sampai Pilpres 2024 lalu, di mana PKS dan Gerindra kembali berhadapan satu sama lain. Gerindra bersama Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo-Gibran Rakabuming Raka ditantang oleh pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang diusung Koalisi Perubahan. Hasilnya, capres-cawapres dukungan mayoritas rakyat Minang (Anies-Muhaimin) kalah di tingkat nasional dari pasangan Prabowo-Gibran yang tampil sebagai pasangan terpilih.
Pada konteks itulah muncul kekhawatiran sikap oposisi Sumbar akan kembali berlanjut lima tahun ke depan. Kekalahan calon pilihan mayoritas rakyat Sumbar dari capres pilihan mayoritas rakyat Indonesia berpotensi menjadi kendala dalam membangun relasi pusat dan Sumbar lima tahun ke depan.
Pilkada 2024
Dimunculkannya duet Mahyeldi-Vasco sungguh mengejutkan politik Sumbar. Sekilas ini suatu terobosan untuk mengantispasi lanskap politik nasional yang terbentuk untuk lima tahun ke depan yang berpotensi "mengebiri" lagi posisi (pemerintah propinsi) Sumbar dalam kancah politik nasional.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang pasti Gerindra akan menjadi partai penguasa di tingkat pusat dalam lima tahun ke depan. Kekuasaan di pusat memang terbagi dengan anggota Koalisi Indonesia Maju lainnya, tetapi posisi Gerindra akan sangat menentukan.
Jika koalisi Gerindra-PKS ini menang dalam Pilgub Sumbar 2024 ini hal itu tentu akan berpengaruh pada kualitas hubungan Pemda Sumbar-Pusat lima tahun ke depan. Hal itu tentu juga akan lebih lempang dengan asumsi PKS berada di dalam koalisi pemerintahan. Namun jika partai dakwah ini memilih menjadi "oposisi", hal itu tentu akan tetap mempengaruhi kualitas dan konstruksi relasi (pemerintah) propinsi ini dengan penguasa politik di tingkat pusat nantinya.