Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pilkada dan Arus Pragmatisme Politik
29 Mei 2024 18:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan kepala daerah secara serentak tahun 2024 yang sudah di ambang mata tentu bernilai sangat strategis bagi pembangunan demokrasi di daerah-daerah dalam arti seluas-luasnya. Namun pilkada dengan sistem langsung kelihatannya masih akan diganggu berbagai bentuk pragmatisme politik sehingga di banyak daerah, seperti pengalaman sebelum-sebelum ini, hasilnya belum berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Salah satu akar masalahnya: proses politik lokal yang dilalui berbiaya mahal (high cost politics). Bagi calon kepala daerah, untuk mengikuti prosedur formal saja mereka atau sponsor ekonomi politik mereka sudah harus merogoh kocek dalam-dalam. Ketika calon hendak memaksimalkan kans terpilih, ongkos politiknya menjadi membengkak, termasuk komponen biaya rekomendasi partai, logistik, saksi, sosialisasi dan tuntutan biaya-biaya lainnya.
Visi dan misi calon kepala daerah seolah menjadi tidak terlalu penting lagi, bahkan cenderung hanya sebagai aksesoris politik belaka. Persoalan yang dianggap “primer” dalam praktik demokrasi lokal dewasa ini adalah kesanggupan para calon kepala daerah atau pendana mereka menanggung biaya kemahalan yang diperlukan.
Proses demokrasi yang kian kapitalistik dan transaksional dalam pasar politik yang distortif tentu akan mempengaruhi (kualitas) hasilnya. Ketika prosesnya sumir secara etik, tidak heran kemudian banyak kepala daerah ikut menjadi barisan pejabat bermasalah secara hukum. Sejak 2005, lebih 400-an kepala daerah terjerat kasus hukum, di antaranya kasus korupsi, sekalipun hal itu tidak menimbulkan efek jera terhadap pejabat dan politikus lokal lainnya.
ADVERTISEMENT
Tujuan Otonomi dan Demokrasi
Padahal sampai saat ini masih banyak “pekerjaan rumah” di daerah-daerah yang mesti dikerjakan serius, namun terkesan luput dari perhatian elite lokal dan masyarakat. Hampir dua dekade otonomi belum sepenuhnya membawa perubahan substantif di banyak daerah.
Padahal sejak otonomi diberlakukan, sudah banyak dana dari pusat dikucurkan ke daerah-daerah. Namun hasil-hasilnya masih jauh dari harapan awal. Sebagai contoh, berdasarkan data BPS 2019, dua provinsi yang sudah lama berstatus otonomi khusus justru memiliki tingkat kemiskinan paling parah.
Persoalan utama lainnya, otonomi sejatinya juga mengamanatkan kepala daerah untuk mengambil inisiatif memajukan dan sekaligus memandirikan daerahnya. Namun, faktanya justru sebaliknya. Alih-alih mengambil prakarsa untuk melakukan inovasi dan kreasi untuk memandirikan dan memajukan (ekonomi) daerah secara berkelanjutan, banyak pemimpin daerah atau elite politik lokal malah beramai-ramai dan “bergantian” menggerogoti anggaran publik.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, secara alamiah pejabat publik hasil politik transaksional tentu tidak akan punya nyali atau keberanian moral melakukan terobosan kebijakan untuk memajukan dan apalagi memandirikan daerahnya sesuai tujuan substantif otonomi dan demokrasi, kecuali sekadar untuk 'gimmick' politik. Termasuk absennya nyali menerobos pelbagai halangan klasik selama ini, seperti birokrasi, yang secara esensial kulturnya ternyata belum banyak berubah.
Birokrasi di banyak daerah, misalnya dalam penggunaan anggaran, masih belum menjalankan prinsip efektif, efisien dan ekonomis, apalagi berkeadilan. Anggaran yang dihabiskan belum berdampak signifikan pada kepentingan publik. Bahkan ironisnya, sampai kini APBD di banyak daerah anggaran rutinnya sampai 70 persen, sehingga yang tersisa 30 persen saja untuk kegiatan pembangunan. Itu kalau tidak dikorupsi pula!
Tidak hanya itu, birokrasi juga terjebak dalam pusaran politisasi, dalam arti menjadi “alat” politik dan ekonomi tertentu. Tidak heran, di banyak daerah, kepala daerah bukannya memperbarui birokrasi, tapi malah sebaliknya. Struktur pemerintahan lokal dibiarkan atau malah sengaja dibuat “tambun” dan budaya lama birokrasi tetap dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi politik pemerintahan lokal semacam itu, tentu sulit mengharapkan kepala daerah hasil pilkada akan melakukan upaya-upaya memaksimalkan pencapaian tujuan otonomi itu sendiri. Hampir musykil pula mereka bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan, memberantas kemiskinan, mengatasi ketimpangan, memajukan pendidikan, mengatasi kerusakan lingkungan, ancaman bencana alam atau wabah penyakit di daerahnya.
Inilah konteksnya mengapa untuk banyak daerah yang akan melaksanakan pilkada 2024 semestinya mengarahkan perhatiannya pada pendalaman dan adu visi-misi masing-masing calon kepala daerah, lalu bagaimana mewujudkan visi yang ditawarkan itu untuk kemajuan daerahnya.
Namun lagi-lagi persoalannya, apakah para pemegang kuasa politik pilkada akan tertarik dan secara substantif mendalami isu-isu esensial tersebut? Di sinilah sering harapan ideal akan kembali berhadapan dengan kecenderungan pragmatis partai-partai dan aktor-aktor politik lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya kita tak harus mengembalikan pilkada ke sistem pemilihan DPRD yang mudharatnya jauh lebih besar, namun sistem pilkada langsung saat ini harus benar-benar dibenahi serius agar memberikan kemanfaatan lebih besar bagi pembangunan di daerah yang ujungnya terkait langsung pada penguatan bangunan (politik) negara bangsa.