Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilpres, Pilkada Sumbar, dan Hubungan Pusat-Daerah
9 Juni 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di samping belasan pemilihan bupati dan walikota, Sumatera Barat pada tahun politik ini juga akan melaksanakan pemilihan gubernur (Pilgub). Tanpa mengabaikan arti penting pilkada di tingkat kabupaten dan kota, Pilgub Sumatera Barat 2024 dinilai sangat strategis. Hasil pilgub dianggap akan mempengaruhi corak relasi Sumatera Barat dengan pemerintah pusat yang pada gilirannnya akan mempengaruhi corak perkembangan daerah ini lima tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Dalam satu setengah dekade terakhir, Sumatera Barat seakan menampilkan corak hasil pilgub yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Di daerah ini, kader PKS berhasil "hattrick" dalam Pilgub: 2010, 2015 dan 2020. Hal tersebut dianggap telah mempengaruhi corak relasi daerah ini dengan pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya periode keduanya (2009-2014), relasi daerah ini dengan pemerintah pusat dianggap harmonis. PKS ada dalam koalisi pemerintahan dan mantan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi bahkan diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri.
Namun sejak era Presiden Joko Widodo, relasi Sumatera Barat dengan pemerintah pusat dianggap tak semantab sebelumnya. Ini dikaitkan dengan hasil dua atau tiga Pilpres mutakhir. Jokowi kalah dalam dua kali Pilpres di daerah ini yakni 2014 dan 2019. Pada Pilpres Februari 2024 lalu, calon yang notabene diendorse Jokowi, yakni Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, juga kalah di Minang.
ADVERTISEMENT
Pada periode pertama Jokowi, memang masih ada tokoh Minang yang diangkat menjadi Menteri-nya Jokowi, seperti Andrinof Chaniago dan Rizal Ramli, tetapi mereka sebentar saja di Kabinet. Setelah itu tidak ada lagi. Alih-alih diakomodasi, Sumatera Barat yang sejak 2014-2010 dipimpin Gubernur Ustadz Irwan Prayitno dan periode 2020-2024 dipimpin Buya Mahyeldi justru paling sering (tidak hanya pada masa kampanye) mengeluarkan suara-suara “oposisional”-nya pada pemerintahan Jokowi, suatu keadaan yang dalam batas tertentu seakan mengulang kondisi kurang mantabnya relasi daerah ini dengan pemerintah pusat di masa lalu.
Dinamika Historis
Dari perspektif sejarah, hubungan Sumatera Barat dengan pemerintah pusat mengalami dinamika pasang surut. Ada masanya memburuk, tetapi pada masa lain membaik, bahkan mesra. Dinamika hubungan pemerintah pusat dan daerah Sumatera Barat sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru bisa menjadi kaca bening untuk merefleksikan situasi kekinian.
ADVERTISEMENT
Salah satu fase terburuk hubungan pemerintah pusat dan Sumatera Barat adalah pada dekade 1950-an. Banyak peristiwa sosial politik pada masa itu yang mengindikasikan buruknya relasi pemerintah pusat dan Sumatera Barat. Puncaknya adalah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang melibatkan mayoritas rakyat Sumatera Barat, dan sebagian masyarakat Riau, Sumatera Utara dan Jambi. Orang Minangkabau menyokong PRRI karena pemerintah pusat dan Presiden Sukarno dianggap telah melanggar konstitusi dengan mengakomodasi Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemerintahan.
Pemerintah pusat berhasil menumpas keras gerakan politik militer itu. Pada saat itulah Sumatera Barat seolah berada di titik nadir sejarahnya. Banyak orang yang terbunuh, termasuk tunas-tunas muda daerah. Sumatera Barat pasca-PRRI terpuruk di segala bidang, termasuk kerusakan infrastruktur fisik yang parah. Tetapi dampak paling serius dan berjangka panjang adalah keterpurukan mental masyarakat Minang. Mereka hidup dalam tekanan batin yang berat. Tidak heran, banyak di antara mereka yang malu mengaku sebagai orang Minang. Pada periode ini banyak rakyat setempat yang pergi merantau ke luar Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT
Usai penumpasan PRRI, hubungan Sumatera Barat dan Jakarta dipulihkan, tetapi hubungan itu bersifat asimetris. Sumatera Barat dalam status daerah pendudukan (darurat militer, lalu darurat sipil). Di bawah permukaan, hubungan pemerintah pusat dan Sumbar masih menyimpan “gejolak yang terpendam”, terutama berhubungan dengan dendam eks pendukung PRRI terhadap PKI yang makin eksis di Minangkabau pasca pergolakan daerah karena mendapatkan perlindungan istimewa dari penguasa perang.
Sumatera Barat baru bisa “bangkit” ketika di tingkat nasional terjadi peralihan kekuasaan dari rezim Demokrasi Terpimpin Sukarno ke rezim Orde Baru Soeharto menyusul kudeta Gerakan 30 September 1965, tragedi politik di Ibukota yang menempatkan PKI dan ideologi komunis sebagai pihak “terhukum”. Elit lokal dan rakyat Sumatera Barat memberikan dukungan penuh pada Orde Baru yang tidak hanya ditunjukkan lewat aksi-aksi antikomunis dan kontra-Orde Lama pertengahan 1960-an, tetapi juga kemudian lewat hasil-hasil Pemilihan Umum yang selalu dimenangkan Partai Golkar secara absolut di daerah ini.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, pemenangan Golkar di Sumatera Barat tidak hanya sebagai bagian pelaksanaan “Demokrasi Pancasila” untuk kepentingan rezim, tetapi juga dalam rangka untuk kepentingan daerah. Pada zaman itu, Sumatera Barat harus akomodatif terhadap corak kekuasaan pemerintah pusat yang otoritarian. Sebagai daerah “minus” dari segi sumber daya alam dan terpuruk di berbagai bidang kehidupan akibat pergolakan politik pada masa sebelumnya, Sumatera Barat harus berpandai-pandai menarik hati penguasa di Jakarta. Tidak boleh ada suara-suara kritis terhadap pemerintahan pusat. Daerah ini ikut arus besar mendukung Orde Baru dengan mengesampingkan aspirasi-aspirasi bercorak “Islamis”. Para ulama, ninik mamak (tokoh adat), cendekiawan dan tokoh-tokoh Minangkabau di ranah dan rantau ikut menetralisir tokoh-tokoh politik Islam lokal untuk tidak (lagi) menunjukkan sikap “galak” dalam kampanye-kampanye mereka, baik untuk Parmusi (Pemilu 1971) maupun kemudian PPP.
ADVERTISEMENT
Walaupun Golkar harus selalu dimenangkan untuk kepentingan rezim dan juga kepentingan daerah, tetapi partai Islam Parmusi, yang dianggap sebagai “pewaris” Masyumi dan kemudian dilanjutkan oleh PPP, sebagai fusi partai-partai Islam lama, masih berada di posisi kedua di Sumbar. Namun di daerah ini, Golkar sendiri, yang mewakili aliran pragmatisme Orde Baru juga menampilkan diri sebagai organisasi yang “akomodatif” dengan nilai-nilai Islam dan adat. Banyak ulama lokal (terutama ulama tradisionalis) bergabung dan membangun narasi-narasi religius untuk “Beringin” (Golkar). Hanya Partai Demokrasi Indoensai (PDI), sebagaimana Partai Nasional Indonesia (PNI) pada masa 1950-an, yang memang kurang popular di Minangkabau, dengan sejumlah alasan, termasuk persepsi tentang idiologinya yang netral agama.