Konten dari Pengguna

Politik Kartel dan Pembajakan Demokrasi

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
25 Agustus 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peta Indonesia. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Peta Indonesia. Sumber: pixabay.com
Belakangan ini istilah politik kartel atau kartel politik kembali menguat di jagat politik Indonesia. Proses politik, khususnya menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2024 di sejumlah daerah mengindikasikan penguatan corak politik elitis yang tidak hanya memblokir kepentingan lawan atau kompetitor politik, tetapi juga aspirasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Muslihat elit politik dominan untuk membajak demokrasi (bahkan dengan menggunakan instrumen hukum) ini mungkin belum tercium pada saat menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) lalu. Peta politik Pilpres 2024 menunjukkan persaingan segitiga koalisi antara yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Koalisi Perubahan), pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Koalisi Indonesia Maju) dan koalisi Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Dalam pemilu legislatif, partai-partai politik pendukung juga telah mendapatkan efek (elektoral) dari corak persaingan para capres-cawapres tersebut.
Namun ketika Pilpres usai dan bahkan ketika hasilnya ditetapkan, bahkan sejak lembaga-lembaga survei mengumumkan hasil "hitung cepat"-nya, di mana pasangan Prabowo-Gibran tampil atau dinyatakan sebagai pemenang, peta politik secara perlahan bergeser. Pasca Pilpres, proses "interplay" (saling mendekati dan mempengaruhi) antar kekuatan politik untuk merancang kerjasama politik berlangsung intensif.
ADVERTISEMENT
Secara formal dan normal, publik dalam batas tertentu dapat memahami terjadinya komunikasi untuk menjajaki dan merancang kerjasama politik pasca pilpres, khususnya antara koalisi pendukung presiden terpilih dengan kekuatan politik di luar koalisinya. Bagi pemerintahan Prabowo-Gibran proyeksi utamanya tentulah untuk mendapatkan dukungan maksimal di parlemen untuk masa lima tahun mendatang.
Tetapi, yang membuat suasana politik menjadi riuh, karena agenda perluasan kerjasama politik yang dirintis di masa transisi ini berkait erat sekali dengan pilkada 2024 sebagai agenda politik jangka pendek namun berdampak sampai jauh ke depan, suatu kondisi yang proyeksinya tidak banyak dibayangkan berbagai pihak sebelumnya, bahkan oleh pembuat UU sekalipun. Pilkada, khususnya di propinsi-propinsi strategis, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara, bahkan menjadi semacam “battle ground” yang sangat menentukan arah politik nasional ke depan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, kubu pemenang Pilpres merasa berkepentingan memborong sebanyak-banyaknya partai politik untuk masuk dalam koalisi pendukung pemerintah. Usaha memperluas dukungan dan keanggotaan Koalisi Indonesia Maju, sebagai koalisi partai-partai pro pemerintahan Prabowo-Gibran, di sejumlah propinsi di atas menjadi indikasi awal yang penting tentang corak, arah dan peta politik mendatang.
Kotak suara. Sumber: pixabay.com
Masalahnya menjadi sangat heboh, karena proses-proses politik itu dinilai kebablasan dan bahkan menabrak akal sehat publik. Publik melihat upaya mewujudkan KIM plus dalam tautannya dengan pilkada dan pelbagai dinamika politik pada sejumlah partai tidak sekedar untuk kepentingan pemerintahan dalam kurun lima tahun mendatang saja, tetapi juga untuk kelanjutan atau pertaruhan kekuasaan sesudahnya lagi.
Dalam prosesnya, seperti terbaca dari kecenderungan peta baru dukungan pilkada di sejumlah daerah, partai-partai di luar KIM kemudian menyatakan mendukung dan bahkan memang berharap bergabung ke dalam pemerintahan mendatang. Insentif politik yang ditawarkan dan hal-hal lain, termasuk kecurigaan sangat kuat atas terjadinya politik sandera dengan memperalat hukum, dinilai sebagai pembajakan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, terutama Presiden Jokowi, yang sejauh ini (dan entah sampai kapan) dianggap sebagai “Ketua” KIM Plus telah menjadi sasaran kritik dan protes luas publik, sebagaimana juga pada saat sebelum Pilpres. Kepala negara lagi-lagi dituding cawe-cawe dalam semua proses politik mutakhir tidak hanya dalam rangka menjamin stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran, tetapi juga dalam konteks mengamankan dan bahkan mempertegas kepentingan dinasti politik yang sudah terbangun belakangan ini.
Titik temu kepentingan para aktor politik di masa transisi kekuasaan inilah yang membuat lawan-lawan politik mereka dan terutama masyarakat sipil menjadi kecewa berat dan protes keras. Mahasiswa, akademisi, artis, dan berbagai unsur masyarakat sipil lainnya turun ke jalan di berbagai kota memprotes revisi UU Pilkada dan mendukung putusan MK yang (jika tidak "dikerjain" lagi) dapat mengurangi potensi kartelisasi politik, setidaknya dalam pilkada tahun ini.
ADVERTISEMENT