Konten dari Pengguna

Kemana (Kontribusi) Alumni Fakultas Pertanian?

Itmamul Wafa Sidiq
Insiator Selaras Institute
25 Desember 2024 16:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Itmamul Wafa Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, Muhammad Fatahillah Akbar menulis opini berjudul “Bubarkan Fakultas Hukum” (Kompas, 29/10), sebagai refleksi kritis atas kontribusi Fakultas Hukum yang dinilai belum optimal bagi kemajuan bangsa. Namun, jika kita cermati lebih luas, eksistensi Fakultas Pertanian juga pantas mendapat sorotan serupa, mengingat sektor pertanian berada di pusaran berbagai ironi pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam dua dekade terakhir, sektor pertanian terus menghadapi kenyataan pahit. Laporan Center for Indonesia Policy Studies menunjukkan rata-rata upah pekerja sektor pertanian merupakan yang terendah dibandingkan sektor lainnya, bahkan kalah dari sektor baru yang baru terklasifikasi sejak 2015. Lebih memprihatinkan lagi, sekitar 50% petani Indonesia masih tergolong miskin, dengan luas lahan garapan rata-rata tidak lebih dari 0,5 hektare per keluarga (BPS 2013).
Modernisasi yang diharapkan mampu menjadi solusi justru belum memberikan dampak signifikan. Sektor ini malah menjadi "penampung" surplus tenaga kerja dari sektor lain, sebagaimana diungkapkan oleh Booth (2000) dan Geertz (1963). Produktivitas per pekerja sektor pertanian pun tetap rendah. Tragisnya, ketika para petani mencoba keluar untuk mencari penghidupan yang lebih baik, mereka sering kembali lagi ke sektor ini tanpa peningkatan kesejahteraan yang berarti (Moeis et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana para alumni Fakultas Pertanian yang dilahirkan setiap tahun? Sejak peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 27 April 1952, kontribusi mereka seharusnya mampu memberikan solusi nyata bagi tantangan mendasar di sektor ini.
Melihat Kembali Wajah Pertanian Indonesia
Jika kita jujur, tidak banyak yang bisa dibanggakan dari sektor pertanian Indonesia, kecuali narasi romantis “tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Meski begitu, sektor ini tetap menjadi penopang utama tenaga kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada periode 2014–2018, sektor pertanian menyerap 38,52% angkatan kerja Indonesia.
Salah satu tantangan serius sektor ini adalah rendahnya tingkat pendidikan pelaku-nya. Data Statista menunjukkan bahwa 63,09% tenaga kerja sektor ini hanya mengenyam pendidikan dasar, bahkan menurut Sensus Pertanian 2023, angkanya mencapai 75%. Kondisi ini memperlihatkan jurang besar antara kebutuhan pengetahuan modern di sektor pertanian dan realitas di lapangan. Padahal, berbagai penelitian, termasuk oleh Le Khuong Ninh dalam Economic Role of Education in Agriculture: Evidence from Rural Vietnam, menegaskan pentingnya pendidikan dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
ADVERTISEMENT
Lebih ironis lagi, di tengah fakta ini, setiap tahun ratusan alumni Fakultas Pertanian lulus tanpa kejelasan kontribusi mereka terhadap perbaikan sektor. Tanpa peningkatan pendidikan dan transfer ilmu kepada petani, transformasi nyata sulit dicapai.
Selain itu, distribusi usia petani juga memperburuk situasi. Sebanyak 70% petani Indonesia berasal dari generasi Baby Boomer dan Gen X—kelompok usia tua yang memiliki adaptasi teknologi rendah. Kombinasi ini menghasilkan “paket lengkap” permasalahan: lahan sempit, pendidikan rendah, produktivitas minim, hingga ketidakmampuan bersaing. Akibatnya, 51,3% rumah tangga miskin di Indonesia pada 2021 bergantung pada sektor ini.
Ketimpangan dan Harapan untuk Masa Depan Pertanian
Lembaga Demografi Universitas Indonesia, dalam laporan “Job Mismatch and Age-Earning Profile in Indonesia” (berdasarkan data Sakernas 2008 dan 2015), laporan ini mengungkap fenomena job mismatch di Indonesia, yang terbagi menjadi dua jenis: horizontal mismatch dan vertical mismatch.
ADVERTISEMENT
Horizontal mismatch merujuk pada ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan jenis pekerjaan, sementara vertical mismatch menggambarkan ketidaksesuaian antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan yang dijalani. Fakta menarik yang diungkap laporan tersebut adalah bahwa sektor pertanian mencatat angka mismatch tertinggi pada kedua jenis tersebut.
Horizontal mismatch terjadi pada 71,74% pekerja sektor pertanian di 2008 dan 54,63% di 2015. Sementara itu, pada vertical mismatch, 95% pekerja sektor pertanian di 2008 dan 96% di 2015 tergolong overqualified.
Konsekuensi mismatch ini adalah fenomena wage penalty atau upah rendah yang tidak sebanding dengan kualifikasi pekerja. BPS per Agustus 2024 melaporkan rata-rata gaji pekerja sektor pertanian hanya Rp2,4 juta, jauh di bawah rata-rata nasional Rp3,2 juta.
Praktikum Mahasiswa Fakultas Pertanian. Dokumentasi Pribadi
Berbenah untuk Masa Depan Pertanian
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta ini menjadi panggilan bagi kampus, pemerintah, dan akademisi untuk berbenah. Kampus perlu mengevaluasi kurikulum agar relevan dengan kebutuhan lapangan. Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja yang layak bagi lulusan pertanian, sementara akademisi harus aktif berkontribusi pada inovasi pertanian yang berkelanjutan.