Konten dari Pengguna

Organisasi Mahasiswa Itu Masih Relevan dan Penting

Itmamul Wafa Sidiq
Insiator Selaras Institute
22 Februari 2023 10:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Itmamul Wafa Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Belakangan banyak muncul perdebatan antara dua kelompok yang menyangkut apakah organisasi mahasiswa (ormawa) masih relevan? Makin hari perdebatan ini kian memanas dalam lalu lintas percakapan di media sosial, khususnya pada akun-akun menfess di twitter.
ADVERTISEMENT
Seperti topik lain yang biasa didiskusikan di twitter pada umumnya, terbagi dua kelompok dalam setiap kolom komentar yang saling silang pendapat. Beberapa kelompok menyampaikan keluh kesahnya dengan ketidakrelevanan ormawa dan biasanya ini menjadi kelompok mayoritas.
Mereka lebih menyarankan ikut program-program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM), atau kerja part-time alih-alih ikut organisasi mahasiswa yang banyak menghabiskan waktu.
Sementara kelompok lain yang jumlahnya lebih sedikit di ruang media sosial, beranggapan bahwa ormawa masih relevan dengan sederet argumentasi serta pengalaman yang pernah didapat.
Foto Organisasi Mahasiswa di Banten melakukan Aksi Hari Tani Nasional di Pusat Pemerintahan Provinsi. Sumber: Koleksi foto pribadi
Lantaran populernya perbincangan ini, kalau anda menulis “Ormawa Tidak Relevan” pada kolom pencarian Youtube, akan muncul banyak pembahasan, bahkan salah satu kanal Youtube yang sudah memiliki lebih dari 2.5 Juta subscribers, ikut membahas masalah ini dengan sedikit kalimat pemancing pada bagian thumbnailnya agar terlihat menarik yang bertuliskan “Organisasi Mahasiswa: Gak Berdampak, Rugi Pula”.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, sebelum lebih jauh membaca tulisan ini, penting kiranya penulis menetapkan batas pembahasan agar tidak salah dalam memahami tulisan ini.
Berdasarkan banyak percakapan di media sosial, ormawa yang dimaksud dianggap sudah tidak relevan adalah Himpunan Mahasiswa Jurusan dan sejenisnya; Badan Eksekutif Mahasiswa dan sejenisnya; Badan Legislatif Mahasiswa dan sejenisnya.

Hakikat Organisasi Mahasiswa

Ilustrasi mahasiswa mengerjakan tugas. Foto: MDV Edwards/Shutterstock
Organisasi mahasiswa yang eksis sampai pada hari ini, tentu dibentuk bukan tanpa dasar hukum, kaidah, dan kerangkanya sudah tertuang pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 155/u/1998 (Kepmendikbud 155/1998) tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Peraturan ini keluar sebagai jawaban atas kebebasan mahasiswa berekspresi dan mengembangkan diri di lingkungan kampus yang kala itu masih terisolasi rezim orde baru. Dalam aturan ini tertulis pada pasal 1 (1) bahwa organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri ke arah perluasan wawasan dan pengingkatan kecendikiawanan serta integritas kepribadian. Pada aturan tersebut juga tertulis dalam pasal 1 (5) bahwa salah satu bentuk kegiatannya adalah upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan bakti sosial.
ADVERTISEMENT
Melalui 2 ayat tersebut harusnya sudah cukup jelas mengapa ormawa masih penting dan relevan, selain karena menjadi ruang diskursus mahasiswa di luar kelas yang dapat meningkatkan intelektualitas, ormawa juga menjadi wadah perjuangan menampung dan menyalurkan aspirasi yang meyangkut kesejahteraan mahasiswa.

Politik Ekstra-Parlementer

Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia dengan Petani di Kabupaten Muaro Jambi dalam perjuangan Reforma Agraria. Sumber: Koleksi foto pribadi.
Pada era yang lampau ormawa yang berbentuk Senat Mahasiswa atau Dewan Mahasiswa menjadi alat perjuangan politik ekstraparlementer untuk mengambil kembali hak-hak rakyat Indonesia yang dibajak, baik oleh rezim orde lama ataupun orde baru.
Namun pada era orde baru, perjuangan mahasiswa melalui ormawa sempat dikebiri tanpa ampun menggunakan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan ini dimulai sekitar tahun 1978-an yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef.
ADVERTISEMENT
Salah satu artikel Historia.id (24/1/2018) yang berjudul “Warisan Daoed Joesoef dalam Pendidikan” menyebutkan bahwa Daud Jusuf menerangkan bahwa mahasiswa diperlukan untuk belajar, menggerakan mesin pembangunan atau menggerakkan teknostruktur.
Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Pada intinya mahasiswa tidak boleh ikut mencampuri politik kenegaraan dan hanya boleh mempelajari teori-teorinya saja, itu pun sangat dibatasi layaknya obat-obatan berbahaya. Saat itu kampus sebenarnya tetap memberi ruang pengembangan mahasiswa, yang saat ini kita kenal sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Namun, wadah tersebut dengan dikontrol penuh dan sangat terbatas pada aktivitas minat bakat saja. Walaupun demikian, perjuangan gerakan mahasiswa tidak pernah berhenti, sekalipun seluruh ruangannya dikunci, mereka terus menumbuhkembangkan diskursus pada tempat-tempat terbatas seperti kolong jembatan, lorong gelap kampus, atau kamar-kamar yang jauh dari mata-mata pemerintah hingga akhirnya menghasilkan hadiah pada era ini, yakni reformasi.
ADVERTISEMENT
Dan ormawa kembali eksis serta bisa menunjukkan dirinya melalui berbagi penamaan baru seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, atau organsasi lain yang sejenis.

Perkembangan Zaman

Ilustrasi mahasiswa muslim di Prancis Foto: Philippe Desmazes/AFP
Jika pada masa yang lampau mahasiswa berupaya terus menumbuhkembangkan BEM atau Senat Mahasiswa bahkan di ruang-ruang yang paling sempit dengan konsekuensi dikeluarkan dari kampus sekalipun, pada masa sekarang dengan segala kebebasan berekspresi hasil dari reformasi yang terjadi justru sangat kontras, BEM atau organisasi mahasiswa pergerakan sejenisnya banyak ditinggalkan dan bahkan dianggap sudah tidak relevan.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi hal ini, dari banyak faktor tersebut dua diantaranya adalah pandemi covid dan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Premis ini jelas bukan tanpa dasar, mari kita mulai dari covid-19. Indonesia pertama kali memasuki fase pandemi pada awal Maret 2020. Semenjak masuk ke Indonesia, seluruh aktivitas pembelajaran harus dilakukan secara daring, ini terjadi hampir sekitar 2 tahun lebih.
ADVERTISEMENT
Dampak kebijakan tersebut bukan hanya terjadi dalam gelanggang akademik yang kehilangan ketajaman diskursusnya, namun juga menumpulkan organisasi mahasiswa secara efektif.
Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock
Hal ini logis, karena selama pandemi, kesempatan mahasiswa berkumpul sangat terbatas akibat kebijakan pembatasan sosial, sehingga kampus sepi dari kegiatan pergerakan, diskusi, dan aksi yang pada hilirnya mengikis kesadaran politik untuk mengawal kekuasaan.
Kemudian muncul program MBKM yang digagas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.
Program ini memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi untuk magang dengan adanya intensif, sertifikat, dan segala iming-iming atribut lainnya.
Program ini lebih menggiurkan mahasiswa karena dianggap memberikan pengalaman kerja dan uang, dibanding ikut dalam ormawa yang tidak menawarkan kemewahan apapun. Namun apakah benar demikian?
ADVERTISEMENT

Menakar Relevansi Idealisme sebagai Kemewahan

Organisasi Mahasiswa Fakultas Pertanian Untirta sedang melakukan perayaan aksi Hari Tani Nasional 2021 dengan melakukan refleksi di depan lingkungan kampus. Sumber: Koleksi foto pribadi.
Ada kutipan yang cukup populer dari salah satu pejuang besar republik ini, Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”.
Secara sederhana Idealisme berangkat dari sebuah ide/konsep. Ide/konsep dapat membawa perubahan menuju kebaikan/keburukan. Maka menurut Tan Malaka, seorang pemuda (khususnya yang berpendidikan baik–mahasiswa) harusnya terus mengasah ketajaman pisau analisis dan kepekaan sosialnya, untuk membawa perubahan ke arah yang baik.
Ormawa adalah ruang-ruang untuk menjaga idealisme tersebut, ia hadir seyogianya untuk mewadahi diskusi, perdebatan, kajian, dan kegiatan-kegiatan lain yang menjadi benteng idealisme mahasiswa.
Maka jika hal-hal tersebut sekarang dianggap sudah tidak menjadi kemewahan bagi mahasiswa, lantas apa bedanya mahasiswa dengan macan ompong yang berada di dalam kurungan?
ADVERTISEMENT
Yang lebih memilih sepotong daging setiap hari dengan bermodal mengaung di depan penonton, daripada menjelajahi hutan di alam liar dan menjadi raja rimba.

Musuh Bersama

Organisasi Mahasiswa Fakultas Pertanian Untirta sedang melakukan perayaan aksi Hari Tani Nasional 2021 dengan melakukan refleksi di depan lingkungan kampus. Sumber: Koleksi foto pribadi.
Para pendiri republik menitipkan bangsa ini setelah merdeka untuk menuju keadilan dan kemakmuran. Namun kondisi sekarang malah mencerminkan hal yang sebaliknya, jauh panggang dari api.
Maka seharusnya mahasiswa tidak saling berkonfrontasi di media sosial tentang ormawa masih relevan atau tidak. Kesejahteraan sebagian besar mahasiswa di kampus atau seluruh masyarakat republik Indonesia.
Harusnya lebih didahulukan untuk masuk dalam perdebatan di ruang-ruang publik, untuk menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini belum merdeka sepenuhnya.
Jika memang dianggap tidak relevan, masuk-lah ke dalamnya, berdebat dan saling berbantah-bantahan argument mengenai ide/konsep, bukan saling berkonfrontasi di media sosial. Karena sejatinya ormawa akan selalu relevan selama masih ada kekuasaan yang tidak adil.
ADVERTISEMENT