Konten dari Pengguna

Tragedi Satu Dekade: Kaleidoskop Kekacauan Agraria dan Nasib Petani

Itmamul Wafa Sidiq
Insiator Selaras Institute
24 September 2024 12:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Itmamul Wafa Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi petani gunakan cangkul. Foto: Dian Muliana/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani gunakan cangkul. Foto: Dian Muliana/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Satu dekade bukanlah waktu yang singkat. Kita masih ingat dengan jelas, ketika Joko Widodo, dengan penuh semangat, berdiri di hadapan rakyatnya, berjanji untuk memuliakan petani. Pidatonya dulu begitu menggetarkan jiwa kita. Sayangnya, sepuluh tahun berselang, kenyataan yang kita hadapi sungguh pahit. Jokowi gagal. Ia tak lebih dari kelanjutan pemerintahan SBY, yang kebijakan-kebijakannya tidak membawa perubahan berarti bagi sektor pertanian dan agraria.
ADVERTISEMENT
Sebagai presiden yang lahir dari rakyat jelata, seharusnya Jokowi memahami penderitaan kaum tani. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih membela, ia justru turut terlibat dalam eksploitasi dan perampasan sumber agraria. Tanah petani semakin menyusut, ruang hidup mereka direnggut, sementara proyek-proyek besar yang diklaim sebagai pembangunan infrastruktur justru memperburuk keadaan. Alih-alih menjadi solusi, proyek-proyek ini malah menjadi jerat yang memperdalam penderitaan petani.
Jokowi gagal total memperbaiki perdagangan dan kesejahteraan petani. Janji-janjinya pada 2014 dan 2019 kini tak lebih dari kebohongan yang menyakitkan. Yang paling memilukan adalah kegagalan ini tenggelam dalam hiruk-pikuk politik elektoral yang baru saja berakhir, seolah-olah nasib petani tak lagi penting untuk diperhatikan.

SATU DEKADE KRISIS AGRARIA

Pada 7 September 2023, tragedi Rempang menjadi cermin yang jelas tentang wajah sebenarnya negara ini—negara yang lebih tunduk kepada modal ketimbang rakyatnya. Dengan tangan besi, pemerintah mengusir warga yang telah lama menetap, demi proyek kapital yang dibungkus dengan narasi Proyek Strategis Nasional (PSN). Tindakan represif ini mengingatkan kita pada tragedi Kertajati, ketika 11 desa lumbung pangan di Jawa Barat digusur tanpa ampun untuk membangun bandara yang kini sunyi dan tak memberi manfaat bagi rakyat.
ADVERTISEMENT
Tak lama berselang, kita dikejutkan lagi oleh kematian seorang petani di Seruyan, Kalimantan Tengah, yang ditembak mati aparat saat menuntut hak mereka. Mereka bukan teroris, bukan pemberontak—hanya petani yang meminta janji plasma yang tak pernah ditepati oleh PT Hamparan Massawit Bangun Persada. Ini bukan sekadar kesalahan; ini adalah kegagalan pemerintah dalam melindungi rakyatnya. Kebijakan agraria di bawah Jokowi benar-benar runtuh.
Secara struktural, konflik agraria ini bukanlah kebetulan. Ini adalah hasil perampasan tanah yang dilegalkan oleh pemerintah, melalui kebijakan yang tunduk sepenuhnya pada kepentingan korporasi. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, dari 2014 hingga 2023, tercatat 3.423 konflik agraria yang berdampak pada hampir dua juta keluarga. Ini bukan hanya angka; ini adalah kehidupan dan masa depan rakyat yang hancur di bawah rezim Jokowi.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi juga harus bertanggung jawab atas disahkannya kebijakan-kebijakan ultraliberal, seperti UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan dan UU Sumber Daya Air, yang semakin mengubur harapan reforma agraria. Puncaknya, rencana pelelangan tanah untuk proyek Ibu Kota Negara (IKN) dengan jangka waktu yang tak masuk akal (180 tahun) memperlihatkan betapa jauhnya pemerintah dari kepentingan rakyat.
Semua janji Nawacita yang dulu diagungkan kini hanya tinggal kenangan pahit. Gagal, runtuh, dan tak ada harapan. Petani yang dulu dijanjikan masa depan cerah, kini hanya bisa menangisi tanah yang hilang.

BURUKNYA PERDAGANGAN PERTANIAN

Prestasi kegagalan pemerintahan Jokowi dalam satu dekade terakhir sangat memprihatinkan, khususnya di sektor pertanian. Tidak hanya konflik agraria yang semakin runcing, tetapi juga ketidakmampuan pemerintah menjaga keseimbangan perdagangan pertanian (di luar komoditas perkebunan) yang terus menunjukkan defisit mengkhawatirkan. Menurut laporan Prof. Dwi Andreas (Guru Besar IPB), dari 2014 hingga 2023, neraca perdagangan pertanian kita mengalami defisit besar (Gambar 1). Pada 2014, impor pertanian bernilai 10 juta dolar, melonjak menjadi 18 juta dolar pada 2023, sementara ekspor stagnan.
Gambar 1: Laporan data Neraca Perdagangan Prof. Dwi Andreas saat membahas pangan dalam Podcast bersama Ahok
Yang lebih mengkhawatirkan, impor komoditas strategis seperti beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah merosot drastis hingga minus 41% (Gambar 2). Ini adalah bukti nyata dari ketidakseriusan pemerintah dalam membenahi sektor pertanian, yang juga tercermin dari anggaran Kementerian Pertanian yang turun setiap tahunnya—bahkan lebih kecil dibandingkan Kementerian Agama. Petani hanya dijadikan alat politik untuk ceruk suara, sementara kesejahteraan mereka terabaikan.
Gambar 2: Laporan Volume Impor Prof. Dwi Andreas saat membahas pangan dalam Podcast bersama Ahok
Sensus Pertanian 2023 mengkonfirmasi keprihatinan ini. Jumlah petani gurem meningkat hingga 2,64 juta rumah tangga, menunjukkan bahwa kebijakan Reforma Agraria telah gagal total. Petani semakin miskin dan terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Lebih ironis lagi, pemerintah justru mendukung perusakan lingkungan dan sistem pertanian melalui proyek ambisius seperti food estate, yang pada dasarnya tidak lebih dari perampasan tanah dan sumber kehidupan masyarakat adat serta petani. Proyek ini tidak hanya menghancurkan ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga mencabut akar budaya yang telah mereka jaga selama berabad-abad.
Yang paling memilukan adalah saat semua penderitaan ini terjadi, FAO justru memberikan penghargaan Agricola Medal kepada Presiden Jokowi. Bagaimana mungkin penghargaan setinggi itu diberikan di tengah kehancuran yang dialami oleh petani dan masyarakat adat? Mereka yang setiap hari bergulat dengan tanah yang makin tak subur, air yang mengering, dan sistem pertanian yang tidak berpihak. Penghargaan ini terasa seperti tamparan keras bagi mereka yang telah kehilangan lahan, mata pencaharian, dan harga diri sebagai petani.
ADVERTISEMENT
Ini bukan hanya soal medali; ini soal penghargaan yang diberikan di atas penderitaan jutaan orang. Sebuah ironi menyakitkan, di mana jerih payah petani tidak lagi dihargai, sementara pemimpin yang gagal justru diagungkan di panggung dunia. Di mana keadilan ketika yang tertindas harus menyaksikan perayaan atas kehancuran hidup mereka?