Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mereka yang Terlupakan dari Megahnya Ibu Kota Nusantara (IKN)
12 Agustus 2024 15:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Izzatul Isma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam persembahan sinematik "Tanah Moyangku" karya Watchdog, aliran kehidupan mengalir dalam harmoni yang rapuh antara manusia dan bumi yang memelihara mereka. Dengan latar belakang yang memesona dari warisan budaya yang kaya dan keindahan alam yang melimpah, film ini merangkai narasi yang mengajak penonton untuk merenung. Namun, di balik gemerlap keindahan itu, tersirat pula panggilan yang mendalam: kehancuran yang lambat namun pasti terhadap lingkungan tempat kita berakar. Tanah air yang dijelajahi dalam film ini tidak hanya menjadi latar, melainkan juga karakter yang hidup, meneguhkan peran sentralnya dalam membentuk identitas dan eksistensi manusia. Namun, kisah ini juga memperlihatkan bagaimana interaksi manusia dengan alam telah menorehkan bekas yang semakin dalam dan tak terhapuskan. Perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali, dan pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam mengancam tanah moyang mereka. Alam yang dijaga oleh masyarakat adat dengan nilai tradisionalnya hingga sekarang bisa ia nikmati, seketika hilang oleh orang-orang yang mengatasnamakan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Tepat pada tahun 2019 lalu, pemerintah mengumumkan rencana monumental uatuk memindahkan ibu kota negata dari Jakarta ke sebuah Lokasi baru di Provinsi Kalimantan Timur, yang kemudian kita kenal dengan Ibu Kota Nusantara. Keputusan ini memunculkan konsekuensi baru pada aktivitas kehidupan masyarakat adat yang ada diwilayah Kalimantan timur. Tepat pada tahun 2022 pembangunan IKN dimulai yang dalam prosesnya, “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” (SDGs) atau keberlanjutan (sustainability) menjadi menjadi jargon yang kerap digaungkan oleh pemerintah hingga kini. Pada Dokumen Voluntary Local Review (VLR) SDGs IKN yang dirilis Otorita IKN menyebutkan jika SGDs menjadi kerangka dalam inovasi dan tantangan terkait pembangunan IKN. Dokumen tersebut juga memuat analisis capaian dan keselarasan pembangunan IKN dengan SDGs. Selain itu, Otoritas IKN juga menerbitkan beberapa panduan pembangunan IKN seperti Strategi Emisi Nol Bersih Nusantara 2045, Cetak Biru Kota Cerdas Nusantara, dan Pedoman Bangunan Cerdas Nusantara. Sayangnya dari semua dokumen yang ada tersebut belum dapat menjawab tentang perlindungan dan pengakuan yang didapatkan bagi masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Defisit keterlibatan masyarakat adat
Sebelum adanya keputusan pemindahan Ibu Kota Negara, masyarakat adat sempat terlibat konflik dengan beberapa pengusaha, terhitung hingga kini terdapat 162 konsensi tambang, perkebunan sawit hingga kehutanan di atas tanah seluas 180.000 hektar. Pada penulusuran yang sempat dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan fakta jika seluruh Perusahaan yang ada di Penajam Paser Utara pernah terlibat konflik dengan masyarakat adat. Lahan masyarakat adat yang digunakan untuk mereka hidup dengan berkebun dan berladang diserobot oleh pemerintah dan swasta. Padalah, jika kita menelisik pada konteks masyarakat adat, kepemilikan tanah mereka didasarkan pada turun-temurun bahkan sebelum negara ini ada. Masyarakat adat seakan-akan harus tarsus merelakan tanahnya untuk diambil untuk kesejahteraan para pengusaha, sedangkan masyarakat adat harus berjuang secara mandiri untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Serangkaian tindakan penolakan atau perlawanan kecil-kecilan dilakukan oleh masyarakat adat saat ini, namun mereka harus mengalah dan menerima kenyataan bahwa lahan dan sumber penghidupan yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka telah hilang.
ADVERTISEMENT
Pemindahan Ibu kota seakan-akan menjadi arena pertarungan baru bagi masyarakat adat. Eksistensi masyarakat adat di kawasan IKN menjadi sorotan karena minimnya partisipasi mereka dalam pemindahan IKN. Presiden Jokowi memang sempat mengundang beberapa tokoh adat tetapi keberadaan mereka mendapatkan resistensi karena dianggap tidak mewakili masyarakat adat secara keseluruhan. Tokoh-tokoh tersebut dianggap terlalu elitis, dengan kata lain masyarakat adat merasa tidak didengarkan. Padahal Secara konstitusional, Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan jika masyarakat adat haru mendapatkan perlindungan dan hak tradisional. Selain itu rekomendasi yang terdapat pada laporan mengenai masyarakat adat yang dikeluarkan oleh PBB dengan tajuk “State of the world’s Indigenous People : Right to Land, Territories, and Resources” mengisyaratkan untuk mendorong representasi masyarakat adat sebagai bentuk pengakuan dan pelibatan masyarakat adat secara langsung dalam pembuatan kebijakan dari mulai proses perencanaan hingga proses implementasi. Namun, berbagai rekomendasi dan peraturan diacuhkan demi untuk melancarkan proyek ambisius tersebut.
ADVERTISEMENT
Hilangnya Warisan Penghidupan
Salah satu dampak dari pemindahan ibu kota yaitu akan adanya migrasi secara besar-besaran. Pemerintah merencanakan akan terjadi migrasi sekitar 2 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) serta kalangan swasta lainnya yang turut ikut dalam perencanaan itu. Aktivitas tersebut pada akhirnya memunculkan persaingan di IKN antara masyarakat lokal dan masyarakat yang dipindahkan dari Jakarta. Persaingan tersebut menjadi hal yang seimbang dan justru akan memunculkan kesenjangan yang sangat jauh baik ekonomi, pendidikan, maupun politik. Akibatnya, dengan adanya migrasi tersebut akan mengambil ruang hidup masyarakat adat di sana sehingga rentan menghasilkan kemiskinan bagi masyarakat adat. Kerentanan kemiskinan yang terjadi adalah implikasi dari tersingkirnya masyarakat adat dalam kontestasi sumber daya proyek IKN.
ADVERTISEMENT
Padahal, hasil identifikasi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) setidaknya terdapat 22 masyarakat adat yang saat ini mendiami wilayah yang akan dibangun IKN Estimasi lain memperkirakan jumlah indvidu yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat adat mencapai 20.000 jiwa Pada Desa Pemaluan di Kabupaten PPU misalnya, terdapat setidaknya 150 keluarga masyarakat adat asli dari suku Balik. Kelompok masyarakat adat tinggal baik di Kabupaten PPU maupun Kukar. Dari sisi persebaran kelompok tradisional, setidaknya terdapat dua grup adat besar yang diidentifikasi sebagai masyarakat adat yang tinggal di Kabupaten PPU dan Kukar, yakni kelompok adat Bajao dan Dayak.
Dengan melihat kondisi tersebut, mengharuskan masyarakat adat untuk kembali memikirkan strategi penghidupan mereka (Sustainable Livelihood) di tengah pembangunan IKN. Masyarakat Paser misalnya, yang mayoritas sebelumnya berkebun dan bertani untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saat ini mereka harus mencari alternatif-alternatif lain jika sewaktu-waktu aset penghidupan (livelihood asset) mereka hilang. Pada seluruh dokumen yang di keluarkan oleh pemerintah ataupun otoritas IKN sama sekali belum menawarkan persiapan strategi penghidupan bagi masyarakat adat. Pemerintah pada hal seakan-akan lebih memaksa masyarakat untuk mengikuti pola penghidupan yang di wacanakan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pembangunan IKN harus dilaksanakan tanpa meninggalkan seorang pun di belakang jika pemerintah benar-benar mengakui keberadaan masyarakat adat. Kesadaran akan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat merupakan langkah awal yang krusial, karena jika tidak kita harus rela negara Indonesia ini kehilangan identitas akibat hilangnya suku, budaya dan tradisi lokal yang dibangga-banggakan. Tanah Moyang yang mereka jaga selama ratusan tahun hanya akan menjadi cerita yang tertulis pada buku sejarah ataupun film layaknya film Tanah Moyangku karya Watchdog.