Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Jakarta perlu optimalkan pembangunan hunian vertikal
13 Juni 2019 12:23 WIB
Diperbarui 7 Agustus 2020 10:53 WIB
Tulisan dari Jakarta Property Institute tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyinggung soal hunian yang makin tak terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Tingginya harga properti membuat hanya 20 persen dari kalangan berada yang mampu membeli rumah di pasar formal.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 40 persen kelompok menengah hanya bisa memiliki rumah dengan bantuan subsidi pemerintah. Sisanya, bahkan tidak mampu membeli rumah sama sekali.
Mahalnya harga hunian di Jakarta salah satunya disebabkan oleh lahan yang semakin terbatas. Jakarta tergolong kota terpadat di dunia, setara dengan Tokyo yang memiliki rasio 14.000 penduduk per kilometer persegi. Bedanya, kedua kota dibangun dengan cara yang bertolak belakang.
Tokyo terus membangun ke atas atau vertikal. Pemerintah kota itu mengoptimalkan potensi peningkatan kepadatan ruang dengan membangun gedung-gedung tinggi. Sedangkan Jakarta, kepadatannya masih menyebar secara horizontal dengan kepadatan bangunannya yang rata-rata bertingkat rendah. Pembangunan ini menggerus lahan berlebihan dan menyisakan sedikit ruang untuk hunian.
Selain terbatasnya lahan, mahalnya hunian di Jakarta juga disebabkan karena harga tanah yang tinggi. Akibatnya, hunian terjangkau nonsubsidi yang dibangun pengembang—sebagai pemenuhan kewajiban sosial mereka—berakhir tak efektif.
ADVERTISEMENT
Sebab, hunian nonsubsidi yang dibangun berada di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Contohnya di Marunda dan Rorotan, Jakarta Utara. Memang, harga tanah di lokasi tersebut murah, tetapi jaraknya jauh dari pusat kota dan akses transportasi cenderung sulit. Ini tidak menarik bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja di pusat kota. Padahal, Jakarta sebagai pusat bisnis dipastikan membutuhkan jasa-jasa yang menunjang operasional harian perusahaan.
Masalah lain yang turut membuat hunian di Jakarta mahal, yakni perencanaan tata ruang yang kurang visioner. Diterbitkan pada 2014 lalu, rencana tata ruang Jakarta 2030 tidak memiliki visi dan terobosan soal pemanfaatan lahan. Rencana itu dirancang dengan proyeksi pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terlalu konservatif.
ADVERTISEMENT
Populasi Jakarta diperkirakan hanya naik 20 persen menjadi 12 juta penduduk dari 2014 ke 2030. Prediksi ini bisa jadi benar, mengingat periode 2000-2014 penduduk di kota ini hanya bertambah 20 persen dari 8,4 juta ke 10 juta.
Perlu dicatat, pada periode yang sama, pertumbuhan ekonomi ibu kota justru meroket 187 persen. Pada periode itu, Jakarta tumbuh pesat sebagai pusat bisnis, tapi warga ibu kota malah pindah ke kota-kota sekitarnya, seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, Depok, dan lainnya. Inilah yang luput dari proyeksi tersebut.
Jakarta tentu tidak bisa terus mengandalkan daerah sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hunian untuk penduduknya. Ini berarti bertambah jauhnya jarak, maka semakin melelahkannya perjalanan menuju ibu kota. Belum lagi, hilangnya area resapan air dan lahan pertanian di kota sekitar Jakarta.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, langkah pertama adalah memperbaiki perencanaan kota. Pertumbuhan populasi yang terjadi begitu pesat merupakan faktor yang harus ikut dipertimbangkan dan tak bisa dihindari. Untuk itu, Jakarta harus mulai membangun hunian vertikal.
Kehadiran MRT Jakarta sebenarnya bisa jadi kunci pemanfaatan lahan ibu kota yang lebih efisien. Ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 16/2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit atau TOD.
Aturan ini mendukung pemadatan ruang di simpul-simpul transit. Artinya, Jakarta memiliki kesempatan memanfaatkan lahan di sekitar stasiun-stasiun MRT, LRT, BRT, dan kereta komuter untuk membangun hunian vertikal.
Idealnya, bangunan dirancang terpadu dan multiguna untuk masyarakat dengan beragam tingkat penghasilan. Dengan begitu, efek positifnya yaitu terciptanya hunian terjangkau yang terintegrasi dengan transportasi publik dan hadirnya area terbuka hijau di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Perencanaan tata kota Jakarta perlu direvisi agar bisa mengadopsi prinsip TOD yang ideal sebagaimana diamanatkan oleh Permen No. 16/2017. Revisi tata ruang ini rencananya akan dilakukan pada 2019 yang mengakomodasi tambahan ruang untuk hunian terjangkau.
Tak cuma perbaikan rencana tata ruang, upaya pembangunan hunian vertikal di area TOD perlu didukung kebijakan subsidi berupa penyediaan lahan di lokasi strategis. Jika tidak, pembangunan hunian terjangkau akan berakhir di lokasi yang tidak atraktif dan sulit akses transportasi seperti Marunda dan Rorotan.
Masalah ketersediaan lahan strategis ini sebenarnya bisa diselesaikan apabila pemerintah mau melakukan terobosan. Salah satunya, menggandeng BUMN/BUMD untuk mengoptimalisasi aset lahan mereka. Sebab, banyak BUMN/BUMD yang memiliki gedung satu atau dua tingkat di lahan yang cukup luas di Jakarta. Contohnya, pasar-pasar yang dimiliki BUMD dan terminal.
ADVERTISEMENT
Bayangkan jika bangunan-bangunan pasar ditinggikan lagi untuk dijadikan hunian khusus masyarakat kurang mampu di atasnya. Pengerjaannya bisa dilakukan oleh pengembang lewat program kewajiban sosial mereka.
Cara tersebut tentu menguntungkan semua pihak. BUMD/BUMN memperoleh tambahan pendapatan dari optimalisasi penggunaan Koefisien Lantai Bangunan yang digunakan pengembang, kewajiban pengembang terpenuhi, pasar semakin ramai, dan masyarakat dapat tempat tinggal murah.
Begitu penduduk Jakarta mulai hijrah dari hunian konvensional ke pemukiman vertikal di simpul TOD, bisa dipastikan ada tambahan lahan di ibu kota untuk diisi ruang hijau. Tercatat, hanya ada 10 persen ruang hijau di Jakarta, jauh di bawah target Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta, yaitu 30 persen.
Perbaikan rencana tata ruang dan pembangunan hunian vertikal di TOD menghasilkan efisiensi penggunaan lahan, hunian yang terjangkau, mengembalikan hijaunya Jakarta. Mari membangun ke atas!
ADVERTISEMENT
Wendy Haryanto, Jakarta Property Institute Executive Director.