Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bersih-Bersih Penegak Konstitusi
27 Oktober 2023 11:48 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Arah yang tak tentu menjadi salah satu biang kerok derasnya rumour percaturan politik di republik ini. Siapa dapat menebak, ia tak lebih dari sekadar arang. Pun siapa yang salah menebak, ia tak sehina debu.
ADVERTISEMENT
Kali ini, percaturan politik jelas terlihat dalam konstitusi kita. Pernah ada di mana UU kita mengalami masa kegamangan. Ada pula masa-masa di mana kepentingan politis menguasai berbagai lapisan masyarakat.
Quo Vadis konstitusi kita? Sekonyong-konyongnya seekor keledai dapat berbicara, lebih konyong putusan Mahkamah Konstitusi (MK) diagendakan untuk meloloskan paslon untuk ikut dalam kontestasi pemilu. Kalau rezim sudah berkehendak, seekor bajing loncat pun kalah cepat dibanding ini.
Politik Perlu Nurani
Konstitusi yang tertuang dalam produk undang-undang adalah general agreement antara elite dan rakyat untuk mewujudkan kepastian dan keadilan sosial. Hal itu disematkan secara terhormat dalam Pancasila butir kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mau dibilang belajar dari sejarah, kita tak benar-benar tidak belajar dari sejarah. Politik kepentingan, mungkin karena namanya politik, selalu ada dalam kedirian manusia dan memobilisasi hasrat terdalamnya. Demi kepentingan politik, seseorang dapat menerabas moralitas. Ada satu kawan yang menyatakan bahwa tidak ada moralitas dan hati nurani dalam politik.
ADVERTISEMENT
Apakah benar realitas politik dihadirkan tanpa moralitas dan nurani? Bagi para elite, pertanyaan ini bercabang. Barangkali dapat dijawab normatif atau acuh tak acuh sembari lalu. Namun, bagi seorang petani miskin yang hidup di bawah asbes beralas tanah, realitas politik adalah jawaban dari kebuntuan hidupnya.
Dekadensi Penegak Konstitusionalisme
Secara sederhana, konstitusi adalah dokumen tertulis suatu negara yang mengandung aturan-aturan untuk menetapkan asas institusi yang dimiliki, sedangkan konstitusionalisme lebih filosofis dan mendalam, yang menyangkut ide dan prinsip tentang apa yang dianggap benar sesuai konstitusi, terutama dalam membatasi kekuasaan dan prinsip konsekuensional.
Proses penentuan putusan MK memang sudah sesuai konstitusi, tetapi gagal dalam konstitusionalisme. Padahal, dasar didirikan MK tidak dapat dilepaskan dari sistem konstitusionalisme modern, yakni nasionalisme dan demokrasi representatif yang tidak memihak.
ADVERTISEMENT
MK adalah lembaga hasil amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 sebagai peradilan perlindungan konstitusionalitas dan membedakannya dengan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga ordinary court. Kekhasan MK lainnya adalah berfungsi sebagai judicialization of politics dan menguji undang-undang.
Oleh karena itu, MK ditugaskan untuk melihat realitas politik dan membawanya ke ranah hukum. MK menjembatani solusi hukum atas isu politik yang menyangkut masyarakat luas.
Realitas MK saat ini justru menggambarkan sebaliknya. Kita dipertontonkan secara bertubi-tubi bagaimana MK memberi karpet merah pada susunan hukum demi jalan politik semata. Hakim dianggap gagal dalam menjaga netralitas dan kewibawaan hukum, apalagi kongkalingkong untuk mengurusi urusan keluarga. Voila!
Menyusun Kembali Puing Demokrasi
Rasanya, Pemilu 2024 mendatang hanya tunaian pesta demokrasi tanpa makna. Apa yang disuguhkan saat ini cukup sebagai bekal nasihat, ke arah mana bangsa ini selanjutnya akan melangkah.
ADVERTISEMENT
Era reformasi seyogianya memberi angin segar terhadap kelestarian prinsip check and balances antar institusi negara. MK seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal konstitusi agar dilaksanakan oleh seluruh warga negara. Terlebih lagi, MK harus menjadi lembaga yang menjaga dan mengayomi prinsip konstitusionalisme.
Adalah tugas berat bagi MK dan para institusi negara, untuk tidak sekonyong-konyong tunduk pada nafsu politis tanpa nurani, yang dilahirkan dari elite yang tidak bertanggung jawab atas pilihannya.
Adalah tugas berat pula bagi rakyat, untuk jangan cepat-cepat golput. Rakyat punya andil untuk ikut mengawasi dan menunaikan konstitusionalisme ideal itu sebagai tantangan menyusun kembali puing demokrasi. Perlulah direnungkan apa yang dikatakan J.S. Mills 200 tahun yang lalu: