Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
SSS#10: Auguste Comte dan Sosiologi
22 September 2024 8:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Halo, teman-teman Kumparan! Tulisan ini merupakan konten dari Self, Social, Society (SSS). Tulisan ini secara garis besar akan membahas mengenai para tokoh sosial/hukum/politik/psikologi dan teorinya, dikemas dalam bentuk series, sederhana, dan mudah dimengerti.
ADVERTISEMENT
Politeisme mengandung makna bahwa ada kekuatan-kekuatan besar yang mengatur kehidupan manusia dan alam semesta (Martono, 2018). Pada kenyataannya, fase inilah yang menjadi awal bagaimana proses akal manusia menyatukan berbagai jenis roh-roh dan sosok magis ke dalam susunan kelas atau jenisnya (Veeger, 1990).
Adanya proses penyederhanaan kekuasaan gaib bahwa segala sesuatu diatur oleh para dewa-dewi (Gods) berdasarkan fungsi dan tempatnya (Siahaan, 1986) sehingga tidak lagi berdasarkan entitas yang ada dalam setiap unit benda-benda seperti pemahaman fetisisme dan animisme. Sebagai contoh: munculnya berbagai sosok dewa seperti dewa angin, dewa air, dewa api, dewi cinta, dan lain sebagainya berdasarkan pengalaman, keadaan hidup, kepentingan, imajinasi, dan lain sebagainya (Funkenstein, 1994; Siahaan, 1986; Comte, 1834). Perkembangan religiusitas yang dibangun dari pemikiran Politeisme juga menghasilkan berbagai macam kitab suci dan perilaku berbudaya yang lebih maju dan kompleks.
ADVERTISEMENT
Meskipun dalam tahap animisme telah muncul kebudayaan, tetapi kebudayaan tersebut masih bersifat primitif dan terbatas pada konteks pemanfaatan, penguasaan dan penghindaran ganasannya alam (Pals, 1996). Kemudian, masyarakat yang semakin maju mengabstraksikan pelbagai dewa-dewa menjadi lebih sederhana, di mana ada dewa yang paling kuat di antara dewa-dewa lainnya. Proses tersebut mengarah kepada sosok yang disebut sebagai Tuhan (God). Perkembangan tingkat pemikiran klimaks ini disebut dengan monoteisme (monotheism) (Comte, 1834; Siahaan, 1986).
Monoteisme setidaknya muncul karena proses beradaban teologis masyarakat. Konsep yang menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan yang berkuasa atas alam semesta beserta kehidupannya acapkali menimbulkan pertentangan dan konflik latent maupun manifest. Sedikit bergeser ke arah agama – agama langit (Samawi), ada tiga agama besar yang percaya bahwa hanya ada satu Tuhan yang berkuasa serta berada diluar dimensi manusia, yaitu agama Yahudi, Kristen/Katolik, dan Islam. Agama – agama tersebut bagi Comte mempunyai suatu simpati intelektual, dimana posisi teologisnya dapat dipertahankan secara rasional dibanding mempertahankan kepercayaan terhadap politeisme maupun fetisisme (Comte, 1865).
ADVERTISEMENT
Monoteisme juga dianggap dapat memisahkan kekuatan (power) secara politis yang tercermin dalam Katolisisme. Comte mengritik gagalnya politik Katolik yang tidak sepenuhnya dapat membangun masyarakat (human development). Kegagalan politik Katolik itu disebabkan oleh ”kegagalan doktrin” serta resistensi terhadap ruang sosial(social medium) yang ada.
Apa pun karakter absolut dari setiap jenis teologi, akan selalu ada kecenderungan dalam sistem abad pertengahan untuk menjadi teokrasi (Comte, 1865). Hal itu pula yang menjadikan kedudukan Katolik menjadi puncak tertinggi monoteisme menurut pemahaman Comte (Johnson, 1991; Comte, 1865). Demikian proses yang dialami masyarakat primitif Eropa dalam bingkai konsep pemikiran teologis.
Tahapan perkembangan pemikiran masyarakat Eropa terus berlanjut sampai kepada tahap metafisika atau abstraksi. Pada tahap ini, masyarakat semakin melihat gejala atau fenomena alam maupun sosial tidak lagi berkaitan langsung dengan roh, dewa, atau entitas Yang Maha Kuasa (Veeger, 1990; Siahaan, 1986).
ADVERTISEMENT
Masyarakat mulai mengidentifikasi analisis dari hukum alam maupun kodrat manusia dengan abstraksi dan spekulasi yang mulai logis. Pertanyaan seperti realitas yang ultimate, aktor utama dalam kehidupan, atau segala hal yang berkaitan dengan gaib, dimaknai sebagai hal skeptik yang harus dijawab dengan argumentasi rasional berdasarkan fakta – fakta yang tampak di permukaan (Haryanto, 2015).
Nyatanya, perkembangan religiusitas dan rasionalitas masyarakat Eropa memasuki kejayaannya, yaitu bersumber pada proses logis – analitis yang disebut sebagai Positivisme. Inilah cikal bakal bagaimana Comte menyandingkan agama dengan ilmu pengetahuan yang dimaknai sebagai puncak tertinggi dari segalanya (Comte, 1865).
Pernyataan tersebut tertuang dalam pernyataan Comte bahwasanya pergeseran segala sesuatu yang berbau mistik dan turunannya harus segera diganti. Seperti yang diungkapkan oleh Johnson (1981), masyarakat Eropa modern telah berusaha memindahkan konsep – konsep yang bersifat deterministik menjadi proposisi yang sangat ilmiah. Gereja digantikan oleh laboratorium ilmiah, para pendeta digantikan oleh ilmuwan, dan literatur ilmiah sebagai ganti kitab suci (Johnson, 1991).
ADVERTISEMENT
***
(JME)