Konten dari Pengguna

Bersaing Saat Pemilihan, Bergabung Pasca Pemilihan: Halal atau Haram

Januariansyah Arfaizar
Dosen STAI Yogyakarta - Peneliti PS2PM Yogyakarta - Mahasiswa Doktor FIAI UII
28 Mei 2024 9:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Januariansyah Arfaizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Desain Pribadi Januariansyah Arfaizar
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Desain Pribadi Januariansyah Arfaizar
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 di Indonesia menjadi momen krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Para calon presiden dan partai politik berlomba-lomba meraih dukungan dari rakyat, menyuguhkan berbagai janji dan program kerja yang diyakini dapat membawa perubahan positif.
ADVERTISEMENT
Namun, seringkali terjadi fenomena menarik pasca pemilihan umum, di mana partai-partai yang sebelumnya bersaing sengit justru bergabung dengan koalisi pemerintahan yang terbentuk. Fenomena ini mengundang berbagai reaksi dan pertanyaan dari masyarakat: apakah tindakan ini halal atau haram dalam konteks politik dan moral?
Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), mengatakan partai yang menuduh pilpres curang tidak seharusnya bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, partai yang gagal mengusung kandidatnya sebaiknya tetap menjadi oposisi, terutama jika mereka menuduh adanya kecurangan.
Adi menyoroti bahwa partai pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) tapi ditolak karena tak terbukti ada kecurangan. Ia mengkritik partai-partai ini yang menuduh curang namun kemudian mendukung pemenang yang mereka tuduh itu Haram.
ADVERTISEMENT
Dinamika Persaingan Saat Pemilihan
Saat masa kampanye, persaingan antar calon presiden dan partai politik mencapai puncaknya. Mereka saling beradu visi, misi, serta program kerja yang dianggap paling mampu menjawab kebutuhan dan harapan rakyat. Debat publik, iklan kampanye, dan berbagai bentuk kegiatan politik lainnya menjadi ajang unjuk gigi bagi para calon dan partai. Tak jarang, serangan politik berupa kritik tajam bahkan kampanye negatif dilancarkan demi menjatuhkan lawan.
Dinamika ini adalah bagian dari proses demokrasi yang sehat. Persaingan yang terbuka dan adil memungkinkan rakyat untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang calon pemimpin mereka. Namun, persaingan yang terlalu sengit kadang kala meninggalkan luka dan polarisasi di tengah masyarakat.
Bergabung Pasca Pemilihan: Realitas Politik
ADVERTISEMENT
Pasca pemilihan, peta politik sering kali berubah drastis. Partai-partai yang sebelumnya bersaing keras justru memilih untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan yang terbentuk. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti keinginan untuk tetap berkontribusi dalam pemerintahan, mendapatkan posisi strategis, atau untuk menjaga stabilitas politik nasional.
Bergabungnya partai-partai oposisi ke dalam koalisi pemerintahan memunculkan perdebatan tentang nilai-nilai demokrasi dan etika politik. Bagi sebagian pihak, tindakan ini dianggap pragmatis dan mencerminkan fleksibilitas politik yang diperlukan untuk membangun pemerintahan yang efektif. Namun, bagi pihak lain, tindakan ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip dan janji yang disampaikan saat kampanye.
Halal atau Haram?
Untuk menilai apakah tindakan bergabung pasca pemilihan ini halal atau haram, kita perlu melihat dari berbagai perspektif:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Fenomena bergabungnya partai oposisi dengan pemerintahan yang baru terbentuk adalah kenyataan dalam politik Indonesia. Apakah tindakan ini halal atau haram tergantung pada sudut pandang yang digunakan: dari sisi etika politik, pragmatisme, atau hukum.
Penting bagi partai politik untuk mempertimbangkan dampak dari tindakan ini terhadap kepercayaan publik dan integritas mereka di masa depan. Rakyat sebagai pemilih juga harus terus kritis dan mempertanyakan keputusan-keputusan politik yang diambil oleh para pemimpin mereka, demi menjaga kualitas demokrasi yang kita junjung tinggi.