Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rasina: Perempuan dalam Gejolak Candu dan Jerat Perbudakan
20 Oktober 2023 21:55 WIB
Tulisan dari Jasmine Aura Arinda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Judul : Rasina
ADVERTISEMENT
Penulis : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : Maret 2023
Tebal : 585 halaman
Sebagai orang yang sempat menggemari sejarah, tapi tidak pernah sekalipun menyentuh cerita-cerita fiksi historikal, saya sempat menghela napas panjang kala pertama kali melihat ketebalan buku ini. Pusing sendiri membayangkan harus menenggak habis tulisan kecil-kecil yang sudah berbaris rapi di dalam sana. Pikiran untuk berhenti membaca di pertengahan bab pun muncul. Namun, semua itu berhasil ditepis oleh isi dari dua halaman pertama yang justru membuat mata takjub.
ADVERTISEMENT
Peta Kepulauan Banda, yang bertuliskan tahun 1621, tersaji apik. Digambarkan dengan cukup detail, tapi tetap mampu dipahami secara sederhana oleh pembaca. Halaman selanjutnya tidak kalah memukau. Beberapa tokoh penting dalam cerita ini disuguhkan dengan ilustrasi yang menarik. Mungkin tujuannya untuk mempermudah pembaca dalam mengingat deskripsi perawakan setiap karakter yang memiliki ciri khas masing-masing. Meskipun menurut saya hal itu sekaligus mempersempit ruang imajinasi.
Tidak sampai di situ saja. Sebelum benar-benar memasuki bab pertama, lagi-lagi, kita diajak untuk berkenalan dengan struktur pemerintahan Hindia-Belanda masa itu. Penjelasan yang panjang dan kurang to the point menjadikan bagian ini cukup membosankan dan berakhir hanya dibaca sekilas.
Bab-bab awal dari buku ini menceritakan mengenai kedatangan seorang baljuw (kepala kepolisian) baru yang menggantikan personel sebelumnya karena telah habis masa jabatan. Ia bernama Jan Aldemaar Staalhart atau yang akan lebih kerap disebut oleh narator sebagai Tuan Staalhart. Di sini dipaparkan pula perbandingan antara dia dengan pejabat sebelumnya, mulai dari fisik hingga sifat. Ghijs bertubuh tinggi besar, sedangkan Staalhart dengan postur kecil langsingnya. Ghijs yang pemarah dan gila hormat, Staalhart yang terus berusaha memberi kesan sederajat pada bawahannya. Poin penting di sini adalah pria berkepala empat itu sangat peduli pada keberlangsungan hidup para budak. Nantinya, ialah yang menjadi pencetus awal penciptaan sebuah petualangan seru sekaligus berbahaya ini.
ADVERTISEMENT
Rasina dikemas menggunakan gaya sudut pandang orang pertama. Tokoh yang sekaligus berperan sebagai pencerita adalah Joost Borstveld. Seorang landdrost (petugas hukum di bawah baljuw) yang bertanggung jawab atas wilayah Ommelanden Timur, sebuah kawasan di luar tembok Kota Batavia. Tentu saja tidak dijelaskan secara tersurat mengenai dirinya. Akan tetapi, jika mengambil dari kalimat-kalimat yang diucapkan atau isi pikiran yang dituangkan, ia memang sempat beberapa kali berbeda pandang dengan Staalhart sebelum akhirnya ikut terjun ke dalam penyelidikan pusaran penyelundupan budak dan candu yang melibatkan banyak sekali orang-orang penting, seperti Dewan Hindia hingga saudagar partikelir yang sejahtera.
Mulanya, ini semua buntut dari sebuah kematian seorang budak laki-laki bernama Jimun. Ia ditemukan tewas di kanal yang saat itu surut airnya. Terbujur kaku tubuh yang sudah tidak lagi bernyawa tersebut dengan sehelai sarung di pinggang. Asumsi sementara yang dilayangkan oleh Staalhart terhadap mayat Jimun adalah ia mati karena racun, entah diberi racun atau sengaja meminum racun. Motif di baliknya pun masih samar-samar. Di sinilah muncul sebuah nama yang diduga memiliki keterlibatan khusus dalam kasus ini: Jacob de Vries. Situasi berubah menjadi semakin serius ketika seorang budak perempuan miliknya melarikan diri dari rumah dan mendatangi Kantor Baljuw seorang diri untuk meminta perlindungan kepada Staalhart serta Joost. Kehadirannya ini membuka pikiran dua petugas hukum itu bahwa ada suatu keganjilan yang terjadi di wilayah Batavia.
ADVERTISEMENT
Tepuk tangan sekaligus apresiasi setinggi-tingginya saya persembahkan untuk Iksaka Banu karena telah sukses menulis sebuah fiksi sejarah yang sangat runtut dengan detail yang luar biasa memukau. Sebenarnya hal ini sudah terlihat di lembar awal Rasina yang turut membubuhkan kode batang dua dimensi untuk membuat pembaca lebih mudah mengikuti petualangan Joost, Staarhald, dan kawan-kawan dalam menjelajah setiap sudut Batavia hingga ke penjuru Ommelanden. Meskipun kualitas peta digital yang ditawarkan masih belum bisa dikatakan jernih sepenuhnya, tapi gagasan beserta usahanya memang patut diacungi empat jempol.
Pembabakan di dalam buku ini dibuat menarik dengan mengambil dua lini masa, yakni tahun 1755 dan era pendudukan VOC atas kepulauan Banda satu abad sebelumnya, tahun 1621. Pemakaian Buku Harian milik Hendriek Cornelis Adam—kakek dari Staalhart yang ikut serta dalam ekspedisi militer Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda keempat—sebagai pembeda zaman merupakan sebuah ide cemerlang agar pembaca tidak kebingungan meski alur yang digunakan adalah maju-mundur.
ADVERTISEMENT
Tidaklah heran bahwa Rasina menjadi sebuah buku yang layak untuk dimasukkan ke dalam daftar bacaan para penggiat sejarah. Tata bahasa yang disuguhkan benar-benar nyaman untuk dibaca. Apalagi dengan beberapa majas cantik yang diselipkan, menambah panjang catatan kelebihan dari novel ini. Istilah-istilah dalam bahasa Belanda yang dimasukkan juga tidak sebanyak dan sesulit itu, sehingga kemungkinan para pembaca untuk mengingatnya dengan cepat tentulah terbuka lebar.
Terakhir, kalimat Joost ketika ia berbincang empat mata dengan Rasina saya rasa cukup untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana perjuangan para petugas hukum itu untuk mengorek banyak informasi dari sosok yang mulutnya dibungkam paksa: engkau seperti sebuah labirin rumit yang membuat putus asa orang yang mencoba menjelajahinya.
(*)
ADVERTISEMENT