Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Labubu dan Popmart: Tren atau Konsumtivisme yang Terselubung?
4 Desember 2024 12:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Jessica Vanessa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika berbicara tentang tren di kalangan masyarakat, obsesi terhadap Labubu dan figurin Pop Mart menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan. Labubu, karakter ikonik yang diciptakan oleh seniman Ayan Deng, dikenal dengan desain uniknya—seekor makhluk mirip kelinci dengan ekspresi "nakal" yang menggemaskan dan variasi tematik yang menarik. Fenomena ini telah menarik perhatian banyak anak muda, dengan figur-figur Pop Mart yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan, pada 2023, Pop Mart melaporkan pendapatan mencapai Rp94,5 triliun, melonjak drastis dari Rp24 triliun di 2019.
ADVERTISEMENT
Popularitas Labubu semakin melejit ketika brand Pop Mart berkolaborasi dengan berbagai ikon budaya pop, termasuk BLACKPINK, yang memperkenalkan figurin ini ke audiens global melalui promosi dan kampanye di media sosial. Strategi pemasaran "blind box" juga menjadi faktor utama yang memicu daya tariknya, menciptakan sensasi kejutan dan mendorong konsumen untuk terus membeli demi mendapatkan figur favorit atau edisi langka. Menurut laporan Pop Mart, pada 2023 laba bersih perusahaan mencapai Rp16,20 triliun, yang mencerminkan besarnya pengaruh tren ini di pasar.
Awalnya, saya menganggap tren ini seperti gelombang lainnya—hanya tren sementara. Tetapi semakin saya mengamati, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang harus kita perhatikan. Apakah ini murni hobi, atau justru tanda dari budaya konsumtif yang semakin mengakar di masyarakat kita?
Figurin seperti Labubu memang memiliki daya tarik estetika yang tidak bisa diabaikan. Desainnya yang lucu, unik, dan sering kali "nakal" menciptakan hubungan emosional dengan para penggemarnya. Bagi banyak orang, memiliki figurin ini adalah pengalaman yang lebih dari sekadar koleksi. Mereka memberikan rasa kepemilikan terhadap sesuatu yang dianggap istimewa. Apalagi, sistem blind box yang diterapkan Pop Mart menciptakan unsur kejutan, yang menambah sensasi saat membuka setiap kotak. Bagi sebagian orang, ini seperti momen kecil kebahagiaan di tengah rutinitas yang membosankan dan penuh tekanan.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik kegembiraan itu, ada mekanisme pemasaran yang sangat cerdik—dan jujur saja, sedikit manipulatif. Sistem blind box dirancang untuk memanfaatkan rasa penasaran dan kebutuhan manusia untuk melengkapi sesuatu. Secara tidak sadar, banyak orang yang terjebak dalam siklus konsumtif—membeli berkali-kali demi mendapatkan karakter tertentu atau mengejar edisi langka. Saya pernah mendengar cerita salah satu teman saya yang menghabiskan seluruh uang sakunya hanya untuk figurin favoritnya. Dalam beberapa kasus, perilaku ini bahkan mengorbankan prioritas lain, seperti menabung, pendidikan, atau memenuhi kebutuhan yang lebih penting.
Dari sudut pandang saya, ada pergeseran makna di balik hobi ini. Koleksi yang dulunya adalah bentuk ekspresi diri kini sering kali menjadi simbol status. Semakin lengkap koleksi seseorang, semakin tinggi statusnya di komunitas. Media sosial memperparah situasi ini, di mana unggahan koleksi sering kali memicu rasa iri atau tekanan untuk ikut memiliki. Hobi yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi ajang kompetisi yang melelahkan dan sering kali berujung pada perasaan tidak cukup baik.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, saya juga tidak menutup mata terhadap sisi positifnya. Bagi banyak orang, figurin seperti Labubu bukan hanya benda mati; mereka adalah medium untuk mengekspresikan kreativitas. Beberapa kolektor bahkan membuat diorama atau foto-foto artistik yang mengesankan dengan koleksi mereka. Aktivitas ini bisa menjadi pelarian yang sehat dari tekanan kehidupan sehari-hari, terutama jika dilakukan dengan bijak dan tetap pada porsinya.
Namun, ada pertanyaan yang masih mengganjal: apa yang sebenarnya mendorong obsesi terhadap Labubu dan Popmart? Apakah ini murni kecintaan terhadap seni dan desain, atau apakah ini tanda bahwa remaja kita semakin terjebak dalam budaya konsumtif? Saya khawatir bahwa obsesi ini mencerminkan masalah yang lebih besar—yaitu kebutuhan untuk mencari validasi sosial di dunia yang semakin kompetitif. Di era di mana media sosial menjadi pusat kehidupan, memiliki sesuatu yang dianggap "keren" menjadi cara untuk merasa diterima.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti tren ini harus dihentikan, tetapi penting bagi kita untuk memahami batasannya. Semua kolektor, baik remaja maupun orang dewasa, perlu menyadari bahwa hobi ini harus dikelola dengan bijak agar tidak berujung pada perilaku konsumtif yang berlebihan. Nilai diri seseorang seharusnya tidak diukur dari jumlah atau harga koleksi yang dimiliki, melainkan dari makna yang mereka temukan dalam hobi tersebut. Jika tidak dijalani dengan kesadaran, kegemaran ini dapat menjadi perangkap finansial dan emosional yang sulit dihindari, terlepas dari usia atau latar belakang kolektor.
Tren Labubu dan Popart juga mencerminkan tantangan zaman kita. Di era ini, kebahagiaan sering kali dikaitkan dengan kepemilikan materi. Banyak orang merasa harus memiliki sesuatu yang "lebih baik," "lebih mahal," atau "lebih lengkap" untuk merasa puas. Padahal, ada hal-hal lain yang jauh lebih bermakna daripada benda kecil seperti figurin.
ADVERTISEMENT
Ini bukan berarti kita harus anti terhadap tren atau hobi semacam ini. Sebaliknya, kita perlu menempatkannya pada porsi yang wajar. Jika tren ini dijalani dengan kesadaran, ia dapat memberikan banyak manfaat—mulai dari mengekspresikan kreativitas hingga membangun koneksi sosial dengan sesama kolektor. Tetapi jika dibiarkan tanpa pengendalian, tren ini hanya akan memperkuat budaya konsumtif yang telah lama mengakar di masyarakat kita.
Figurin seperti Labubu memiliki potensi untuk menjadi lebih dari sekadar barang koleksi. Mereka bisa menjadi simbol kreativitas, cara untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, atau bahkan jembatan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Namun, semua itu hanya mungkin jika kita mampu melihatnya secara proporsional dan tidak terjebak dalam budaya kompetisi atau konsumtivisme.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, Labubu dan Popmart adalah cerminan dari zaman kita—zaman di mana materialisme dan validasi sosial sering kali mengalahkan makna yang lebih dalam. Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, kita perlu mengingatkan diri bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari apa yang kita miliki, melainkan dari apa yang kita alami dan bagikan dengan orang lain. Jika kita bisa menempatkan tren ini pada tempatnya, Labubu dan Popmart bisa menjadi hobi yang membawa kegembiraan dan inspirasi. Tetapi jika tidak, kita hanya akan menambah daftar panjang budaya konsumtif yang semakin sulit dilepaskan. Pilihan ada di tangan kita untuk menentukan arah tren ini ke depan.