Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Masa Tenang yang ‘Tak’ Tenang
13 Februari 2024 16:21 WIB
Tulisan dari Jhodie Faja Agustian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan Pemilu di tahun 2024 sudah ada di depan mata pelaksanaannya, berbagai tahapan-tahapan pemilu sudah dilalui oleh setiap individu yang akan berlaga di Pemilu 2024 entah sebagai calon eksekutif (Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden) maupun sebagai calon yang nanti akan duduk di ranah legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kab/Kota). Adapun tahapan-tahapan Pemilu yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 167 Ayat 4 yang menyebutkan bahwa,
ADVERTISEMENT
Mengacu Pasal 167 Ayat 4 di atas pada dewasa ini (13/02/2024) kita sudah berada pada tahap masa tenang yang berlangsung pada tanggal 11 Februari 2024 hingga tanggal 13 Februari 2024 atau 3 (tiga) hari sebelum masa Pemungutan suara berlangsung. Sudah berbagai tahapan panjang dan penuh drama sebelum akhirnya sampai pada tahapan yang menentukan, yaitu masa pemungutan suara yang akan dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk memilih penerima tongkat estafet kepemimpinan (Presiden) selanjutnya dan memilih pada siapa rakyat akan menitipkan aspirasinya (Legislatif).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, sebelum tiba pada tahapan pemungutan suara terdapat satu tahapan yang dikenal dengan tahapan ‘masa tenang’. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mendefinisikan bahwa masa tenang merupakan,
Berdasarkan definisi tersebut artinya ‘segala’ tindakan ataupun aktivitas yang berbau kampanye diharamkan/dilarang pada masa tenang yang berlangsung selama 3 (tiga) hari ini, lebih lanjut adapun beberapa larangan yang tercantum dalam Pasal 278 Ayat 2 UU No 17 Tentang Pemilu menjelaskan bahwa,
ADVERTISEMENT
Adanya tahapan masa tenang ini menurut hemat penulis diperlukan untuk memberikan serta menciptakan suasana yang tenang menjelang tahap pemungutan suara yang akan berlangung, masa tenang ini juga diperlukan untuk membersihkan berbagai atribut atau alat peraga kampanye yang terpasang di ruang-ruang publik yang tentu saja apabila tidak dibersihkan dan ditertibkan akan menganggu unsur estetika bahkan dapat merugikan masyarakat seperti kecelakaan akibat terkena alat peraga kampanye. Lebih lanjut, masa tenang juga diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat atau pemilih untuk mempertimbangkan calon pilihannya berdasarkan pengetahuannya yang di dapat ketika masa kampanye berlangsung.
Dirty Vote
Pada masa tenang yang sedang berlangsung pada dewasa ini, muncul sebuah film dokumeter yang digarap oleh Dandhy Dwi Laksono yang bertajuk ‘Dirty Vote’ yang rilis pada tanggal 11 Februari 2024 atau setelah gelaran kampanye akbar ketiga Capres dan Cawapres. Perilisan film ini ketika masa tenang sedang berlangsung sontak saja menyita perhatian dari masyarakat banyak, lantas mengapa perilisan film ini (Dirty Vote) berhasil mendapatkan attensi dari masyarakat banyak? Karena isi di dalam film ini menjelaskan dan mengungkap berbagai metode serta potensi kecurangan yang terjadi di Pemilu tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Di dalam film tersebut, disebutkan beberapa contoh penyimpangan serta potensi kecurangan di Pemilu 2024 tersebut. Contoh penyimpangan seperti putusan MK yang setuju untuk merubah frasa syarat usia minimum bagi Capres dan Cawapres yang pada akhirnya memuluskan langkah putra sulung Presiden Jokowi (Gibran Rakabuming) sebagai Cawapres pendamping Prabowo Subianto. Adapun contoh potensi kecurangan yang diangat dalam film tersebut, ialah penunjukan PJ kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang dianggap tidak transparan serta penunjukan PJ kepala daerah yang dinilai mal-administrasi oleh OMBUDSMAN, yang menurut angka PJ kepala daerah tersebut menguasai sekitar 140 juta DPT di berbagai wilayah di Indonesia.
Perilisan film ini (Dirty Vote) tentu saja menimbulkan pro-kontra serta berhasil mendapatkan attensi dari masyarakat Indonesia secara luas. Seharusnya pada dewasa ini kita berada di fase tenang yang notabene kita mempertimbangkan serta semakin memantapkan hati dan pikiran kita untuk memilih, dengan adanya perilisan film ini masa tenang yang seharusnya tenang justru tak kunjung kita dapatkan.
ADVERTISEMENT
Refleksi
Tentu saja perilisan film tersebut (Dirty Vote) di masa tenang ini menjadi sebuah angin segar bagi masyarakat untuk semakin memantapkan pilihannya serta dapat dijadikan sebagai sebuah refleksi sebelum tahapan pemungutan suara (14 Februari 2024) dimulai, karya documenter tersebut dapat dijadikan sebuah refleksi serta pengingat bahwasanya Kekuasaan itu bersifat negatif (Syafiie, 2019). Lebih lanjut, film tersebut juga dapat dijadikan sebuah pengingat bahwasanya kekuasaan itu dapat memberikan sebuah efek kecanduan bagi mereka yang sudah merasakannya. Berbagai cara dilakukan guna semakin memantapkan pengaruh serta melanggengkan kekuasaan yang sedang dimiliki, termasuk menabrak konstitusi dan melalaikan etika berdemokrasi-bernegara. Singkat kata penulis teringat dengan kalimat yang dikeluarkan oleh Lord Acton,
ADVERTISEMENT