Konten dari Pengguna

Merdeka dari Doktrinasi

Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif menulis opini di media daring dan luring.
27 Agustus 2022 14:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joko Yuliyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
merdeka dari doktrinasi agama/ sumber: pixabay.com/KELLEPICS
zoom-in-whitePerbesar
merdeka dari doktrinasi agama/ sumber: pixabay.com/KELLEPICS
ADVERTISEMENT
17 - satu tujuan bangsa Indonesia untuk lepas dari doktrinasi menuju kebodohan. Kemalasan berpikir dan meyakini kebenaran atas opini seseorang yang terlanjur ditokohkan atau diulamakan. 77 tahun Indonesia harus punya prinsip mempelajari konteks dan motif informasi yang membelenggu nalar kritis berpikir soal keyakinan dan kebenaran. Masyarakat harus kembali kepada nilai dan norma kebaikan tanpa mengorbankan sesama dalam rangka bela agama.
ADVERTISEMENT
Kemalasan membaca dan berpikir menjadi sebab gampangnya masyarakat dijajah kebudayaan dan doktrinasi ideologi. Mudah ditipu dengan simbol dan pakaian mengatasnamakan agama. Menurut segala fatwa dan hujjah seseorang tanpa mau mengoreksi, menelaah, dan memahami konsekuensi terhadap kehidupan sosial. Penjajahan intelektual yang membuat masyarakat mudah tersulut emosi dan gampang tersinggung.
Ketika doktrinasi mengakar, fanatisme mampu mengubah karakter dan kepribadian seseorang menjadi garang di media dan ruang-ruang publik. Agama masih menjadi alat yang sederhana membodohi umat. Membenturkan keyakinan, aliran mazhab, hingga prinsip beribadah. Manusia yang merasa berpendidikan melalui jalur sekolah formal mengintimidasi masyarakat yang dianggapnya bodoh di kampung-kampung. Sementara khasanah keilmuannya didapat dari penjajahan pikiran (doktrinasi).
Saking fanatiknya, urusan agama sering dibawa ke ranah politik yang kemudian menciptakan konflik politik identitas. Mereka yang malas menggunakan logika berpikirnya masih sibuk berdebat di media sosial tanpa tujuan yang jelas. Agama dipertaruhkan dalam percaturan politik nasional. Menggunakan narasi amar ma’ruf dan nahi munkar, jihad fii sabililah, kemerdekaan khilafah, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Menariknya, mereka sering mengafirkan atau setidaknya menyalahkan cara berpikir masyarakat yang sejak dini belajar agama di pondok pesantren atau madrasah dan orang-orang yang setiap harinya belajar (membaca kitab dan buku-buku umum). Sementara mereka belum genap khatam salah satu kitab pun. Bahkan beberapa di antaranya belum bisa baca kitab.
Menghakimi akidah seseorang berdasarkan referensi ustaz media sosial dan Alquran mode terjemahan. Kemerdekaan semakin jauh dicapai ketika kebodohan yang membelenggu menjadikan sebagian orang bersikap ngeyel. Menolak segala bentuk informasi yang berpotensi menggoyahkan akar doktrinasinya. Mereka yang terjajah malah tampil eksis menunjukan kebodohannya di ruang publik dengan simbol-simbol agama.

Memerdekakan Diri

Menjadi merdeka haruslah berpijak pada kebenaran dengan aktualisasi pada kebijaksanaan. Menerima perbedaan dan rela mengakui kesalahan jika memang itu salah. Orang yang bertingkah semaunya akan menjauh dari esensi kemerdekaan. Ia dijajah oleh hasrat-hasrat yang dihimpun dari doktrinasi ideologi. Malas mencari referensi lain yang berbeda pandangan dengan golongannya. Mereka tidak sadar bahwa hidupnya akan membuat sulit hidup orang lain.
ADVERTISEMENT
Kemerdekaan berpikir adalah kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu secara jernih dan mandiri. Orang bebas dari paksaan moral tradisi maupun agama, ketika mempertimbangkan keputusan. Penjajahan terjadi ketika orang tidak mau berpikir sendiri, melainkan menyandarkan keputusan kepada orang lain yang tidak relevan dengan kehidupannya. Fanatisme terjajah ketika kemampuan akal budi dipasung oleh sikap percaya buta yang berimplikasi pada kelemahan serta kekosongan hati.
Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menuju kesejahteraan material dan pikiran. Namun perkembangan generasi intoleran semakin berkembang di era informasi dan teknologi. Proses deradikalisasi tak cukup berpengaruh ketika kampanye nasionalisme dan kebangsaan dibenturkan dengan prinsip agama dan khilafah. Strategi edukasi bahwa penjajahan doktrinasi sudah meracuni generasi milenial yang malah nyaman dengan prinsip penyandaran keyakinan kepada otoritas di luar dirinya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat harus kembali diingatkan bahwa agama hanyalah alat, sementara tujuannya adalah kembali ke Allah. Namun saat ini terkesan agama menjadi Tuhan, dan disembah secara buta. Agama tidak lagi menjalankan peran utamanya. Ketika disuguhi teknologi komunikasi. Internet menjadi “Tuhan” baru bagi masyarakat yang menjadi tujuan untuk disembah sehari-hari.
Prinsip hidup untuk mencapai pembebasan. Mewujudkan pribadi yang cerdas dan bermartabat. Doktrinasi sudah merenggut tujuan hidup banyak orang untuk diperbudak opini dan narasi orator di mimbar-mimbar dakwah. Umat dibungkam logikanya agar tidak kritis dan berargumen terhadap segala bentuk hipnotis ideologi. Ketika sudah mengikat, mereka dilepas untuk menciptakan kekacauan di tengah masyarakat dengan metode membenturkan perbedaan akidah dan amaliyah beragama.
77 tahun merdeka, Indonesia rupanya masih terjajah di tengah arus industrialisasi teknologi yang mengancam kebebasan berpikir masyarakat. Menciptakan manusia yang mudah tersinggung dan tersulut emosi, manusia yang malas membaca dan berpikir, manusia yang melupakan jati dirinya untuk menghibahkan kehidupannya pada tokoh yang dianutnya.***
ADVERTISEMENT