Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kerusuhan Radical Left Amerika: Agenda, Argument & Counter-Argument
18 Agustus 2020 9:12 WIB
Tulisan dari AmerEurope tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Agenda dan Argument Radical Left Amerika
Setelah seorang warga kulit hitam George Floyd tewas dalam penangkapan oleh polisi Minneapolis 25 Mei 2020 lalu, demonstrasi Black Lives Matter merebak di kota-kota besar progressive Amerika memrotes “police brutality”.
ADVERTISEMENT
Meski semua sepakat dengan prinsip bahwa nyawa warga kulit hitam berharga (black lives matter), tetapi ORGANISASI Black Lives Matter mengusung tuntutan radikal “Defund the Police” untuk memperlemah kepolisian (16). Tuntutan ini justru mengkhawatirkan banyak warga dan pebisnis termasuk warga kulit hitam atas keamanan mereka tanpa kepolisian yang kuat.
Demonstrasi damai ternyata ditunggangi dengan aksi penjarahan dan kerusuhan sejak awal. Kerusuhan tampak terorganisir melibatkan organisasi Leftist (Kiri) Anarchist seperti Antifa (Anti-Fascist).
Kerusuhan-kerusuhan tersebut berlangsung berminggu-minggu dengan tema yang semakin menjauh dari kasus George Floyd dan memasuki tema umum kelompok-kelompok Radical Left Amerika sejak lama: MEROMBAK TOTAL AMERIKA.
Mengapa merombak? Karena menurut Radical Left, Amerika adalah negara rasis yang didirikan dan dikuasai White Supremacist. Apa dasar argumennya? Banyak Bapak Bangsa Amerika adalah pemilik budak kulit hitam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa mereka adalah White Supremacist sejati. Dengan demikian semua produk pemikiran mereka, berupa Declaration of Independence, Konstitusi, dan Negara Amerika, bernuansa White Supremacist dan berakibat terjadinya systemic racism di mana-mana sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, kelompok Radical Left memblokir dan menempati enam blok di Downtown Seattle selama berminggu-minggu tanpa usikan dari pemerintah kota setempat. Mereka menamakan “wilayah” mereka “Capitol Hill Autonomous Zone (CHAZ)”. Salah seorang pemimpin kelompok tersebut, Jaiden Grayson, dalam wawancaranya dengan pembuat film dokumenter Ami Horowitz, mengatakan:
Demonstrasi dan kerusuhan menjadi semakin revolusioner dan diwarnai dengan pembakaran bendera Amerika, perusakan monumen dan perobohan patung-patung tokoh Confederate dan Bapak Bangsa seperti George Washington.
ADVERTISEMENT
Pandangan radikal yang ingin merombak dasar-dasar negara tidak saja terjadi di jalanan, tetapi juga telah masuk ke Kongres Amerika. Anggota Kongres dari faksi radikal Partai Democrat, Ilhan Omar, membacakan tuntutannya di depan TV:
Cara pandang seperti ini bukan hal baru. Pada tahun 1857, Ketua MA Amerika Roger Taney berpandangan bahwa perbudakan tidak bisa dihilangkan dalam kasus Dred Scott dengan alasan perbudakan sesuai dengan konstitusi & prinsip Bapak Bangsa pemilik budak. Namun, Hakim Agung Taney menolak dirinya disebut rasis karena dia sendiri membebaskan budak yang dimilikinya. Dia mengatakan bahwa dia hanya mengikuti Konstitusi .. menurut tafsirannya sendiri (3).
ADVERTISEMENT
Tulisan ini membahas counter-argument terhadap pemikiran Radical Left, para pendukung dan donator gerakan ini, serta sikap pemerintahan TRUMP terhadap Radical Left.
Counter-Argument terhadap Radical Left: Pergumulan Bapak Bangsa Amerika
Karena argumen Radical Left berpusat pada Bapak Bangsa dan pendirian negara Amerika, bagian tulisan ini memaparkan pergumulan Bapak Bangsa berkenaan dengan perbudakan dan menunjukkan bahwa argumen Radical Left tidak tepat.
ABRAHAM LINCOLN dalam Cooper Union Address (1860) memaparkan bahwa mayoritas (21 dari 39) penandatangan Konstitusi menentang perbudakan. Lincoln mempersiapkan pidato ini berbulan-bulan dan, seperti yang diyakini sejarahwan Harold Holzer, mengantarkannya menjadi Presiden pertama AS dari Partai Republikan. Sejarah mencatat Lincoln memenangkan Civil War yang mengakhiri perbudakan di Amerika.
ADVERTISEMENT
Bapak Bangsa Amerika yang paling disegani di era pendirian negara adalah GEORGE WASHINGTON. Karena itulah ia dipilih menjadi Presiden pertama Amerika. Washington memiliki budak. Namun, ia bersikap anti-perbudakan dan meminta agar budak-budaknya dibebaskan setelah ia meninggal. Suratnya kepada Robert Morris (12 April 1786) menunjukkan sikap tersebut:
Bapak Bangsa pemilik budak lainnya adalah ALEXANDER HAMILTON. Namun, ia adalah salah satu pendiri organisasi “New York Society for Promoting the Manumission of Slaves”. Organisasi tersebut didirikan orang-orang kulit putih berpengaruh di jaman itu untuk memperjuangkan pembebasan budak di New York. John Jay, Ketua Mahkamah Agung pertama Amerika, pernah menjadi Presiden organisasi tersebut (5).
ADVERTISEMENT
BENJAMIN FRANKLIN tidak memiliki budak dan sangat anti-perbudakan. Ia mendirikan “Society for Promoting the Abolition of Slavery” di Philadelphia untuk memperjuangkan penghapusan perbudakan dan menolong mantan budak bertransisi menjadi orang merdeka. Ia mengatakan:
Bapak Bangsa yang terkenal dengan kemampuan berpikir dan menulisnya adalah THOMAS JEFFERSON. Atas kemampuannya tersebut, dia diminta merumuskan Declaration of Independence. Ia mencantumkan “Men are created equal” di dalam dokumen tersebut, tapi ia memiliki 200 budak dan tidak pernah membebaskan mereka. Ia juga mempunyai anak dengan seorang budaknya Sally Hemings. Lebih jauh lagi seperti yang tertuang dalam “Note on the State of Virginia (1853)”, Jefferson mencurigai kalau orang kulit hitam memang lebih rendah dari kulit putih:
ADVERTISEMENT
Jefferson terdengar sangat rasis, tetapi ia juga membicarakan keinginan orang-orang di koloni (Amerika) untuk menghapus perbudakan. Ia menuduh Inggrislah yang memasukkan perbudakan ke Amerika. Dalam “A Summary View of the Rights of British America”, Jefferson mengatakan:
Jefferson mengusulkan RUU pada tahun 1779 di Virginia untuk “gradual emancipation of slaves”. Pada tahun 1784, ia mengusulkan RUU ke Kongres untuk melarang perbudakan di wilayah barat AS. Proposalnya kalah satu suara di Kongres. Kemudian sebagai presiden ke-3 Amerika, ia melarang perdagangan budak yang disetujui Kongres.
Setelah melihat sepintas pemikiran Bapak Bangsa Amerika di atas, kita sampai kepada pertanyaan penting. Jika mereka membenci perbudakan, mengapa mereka tidak langsung saja menghapus perbudakan saat mendirikan negara? Mereka anti-perbudakan, tetapi juga mempunyai budak. Jelas sekali bahwa teori dan praktik tidak sejalan. Mengapa?
ADVERTISEMENT
Jefferson menawarkan jawabannya atas pertanyaan di atas. Ia mengakui kenyataan bahwa orang-orang kulit putih pada eranya mempunyai prasangka buruk yang mendalam terhadap orang kulit hitam. Sebaliknya, ia juga mengkhawatirkan bahwa budak kulit hitam menyimpan dendam mendalam terhadap orang kulit putih. Apabila budak kulit hitam dibebaskan dan diintregasikan dengan kulit putih, ia mengkhawatirkan akan terjadi pembantaian antar kedua komunitas tersebut sampai salah satu punah. Berikut pernyataan Jefferson:
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, Jefferson mempergumulkan dua kutub dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu keadilan dengan membebaskan budak di satu sisi dan penjagaan diri (self-preservation) di sisi lain, seperti yang terungkap dalam suratnya ke John Homes:
Sekarang kita tahu bahwa kekuatiran Jefferson tersebut tidak pernah terjadi di Amerika setelah perbudakan dihapuskan. Namun, kekuatiran seperti itu pada waktu itu sah-sah saja karena jika hal tersebut benar terjadi, riwayat Amerika yang baru berdiri dan didesain dengan hati-hati melalui banyak kompromi bakal berantakan.
Abraham Lincoln yang memimpin Amerika setelah era Jefferson mempunyai pandangan yang mirip, seperti yang diucapkannya dalam debat melawan Stephen Douglas pada 21 Agustus 1858:
ADVERTISEMENT
Bagi Lincoln, terdapat faktor “the great mass of white people” yang mungkin tidak sepakat dengan “equal right” dan faktor “universal feeling” berkaitan dengan masalah tersebut yang tak bisa diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, Lincoln mengkhawatirkan hal yang serupa dengan yang dipikirkan Jefferson, yaitu kekacauan yang bisa timbul dalam masyarakat akibat integrasi.
ADVERTISEMENT
Leftist Amerika dari jaman Hakim Agung Roger Taney sampai Black Lives Matter dan Antifa tahun 2020 gagal menyelami pergumulan praktis mendirikan negara di era Bapak Bangsa. Mereka hanya melihat permasalahan hitam putih saja. Saat itu perbudakan kulit hitam telah berlangsung 150 tahun di daratan Amerika. Tidaklah mudah untuk membenahi masalah perbudakan secara cepat tanpa memikirkan dampak sosialnya.
Kerusuhan Radical Left: Siapa yang Mendukung, Siapa yang Melawan
Kerusuhan-kerusuhan yang digalang Radical Left merebak di kota-kota Progressive besar yang dikuasai DEMOCRAT akhir-akhir ini dan tidak ada yang menghalangi. Toko-toko besar maupun kecil menjadi sasaran kekerasan dan penjarahan. Pemerintah kota mendiamkan kerusuhan tersebut. Bahkan walikota-walikotanya ikut turun ke jalan dan menolak mengutuk kerusuhan.
ADVERTISEMENT
Ketika gerakan tersebut menuntut “Defund the Police”, pemerintah kota Los Angeles, New York City, dan Seattle menurutinya. New York City, misalnya, berencana memotong anggaran kepolisian setempat sebesar USD 1 milyar meskipun tingkat kriminalitas meningkat tajam di kota terbesar Amerika tersebut. Pemerintah kota Minneapolis, di mana kerusuhan pertama kali merebak, malah berencana menghapus kepolisian dengan anggapan bahwa kepolisian sudah rusak dan rasis sampai ke akar-akarnya. Keputusan ini membuat banyak kalangan khawatir dengan keamanan kota di masa depan.
Media-media kiri Amerika menolak menyiarkan kerusuhan secara gamblang. Mereka menyebut apa yang terjadi di jalanan adalah “peaceful protesters”. Memang ada demonstran yang damai. Namun, media menutupi perusuh Radical Left yang menunggangi.
Politisi-politisi tidak bersikap secara tegas terhadap kerusuhan. Politisi Democrat pada umumnya senada dengan narasi media kiri. Setiap hari saat muncul di media/TV, mereka membicarakan “systemic racism” dan “peaceful protest” sambil menutup mata terhadap kerusuhan. Kebanyakan politisi Republikan tiarap untuk menghindari pembicaraan topik rasial yang sensitif.
ADVERTISEMENT
Selebriti Hollywood mendonasi jutaan dollar untuk mem-bailout para perusuh yang ditangkap aparat. Seth Rogen, Chrissty Teigen, dan Steve Carrel adalah beberapa selebriti yang ikutan berdonasi (11).
Perusahaan-perusahaan papan atas seperti Facebook, Apple, dan Nike tidak ketinggalan ikut mendukung dan menyumbang dengan alasan social justice (15).
Namun, ada satu tokoh nasional yang secara konsisten dan lantang menghujat dan mengekspos Radical Left, baik yang di jalanan maupun di Kongres. Itulah Presiden Donald Trump. Dia tidak merasa perlu melakukan pencitraan dan tidak menghiraukan hujatan dari kiri.
Presiden Trump VS Radical Left: Pidato Independence Day di Mount Rushmore (12)
Pidato Presiden Trump pada perayaan Independence Day 4 Juli 2020 di Mount Rushmore, South Dakota (12) sangat penting untuk menunjukkan sikap Pemerintah Federal terhadap upaya Radical Left.
Lokasi Mount Rushmore menjadi simbol penting karena di sana terpahat wajah empat Presiden Amerika, yaitu George Washington, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, dan Theodore Roosevelt, yang berperan besar dalam perkembangan negara. Presiden-presiden tersebut sekarang menjadi bulan-bulanan Radical Left karena masalah perbudakan dan rasisme. And yes, Lincoln yang menghapus perbudakan juga menjadi sasaran. Kok bisa?
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya, Trump secara gamblang menyatakan apa yang telah menjadi perbincangan di kalangan konservatif bahkan liberal Amerika bahwa kelompok Radical Left sedang melancarkan perang/revolusi kultural di Amerika:
Kelompok ideologi ini menuntut kesetiaan tunggal dan tidak segan-segan menerapkan “Cancel Culture” terhadap siapapun yang tidak sejalan dengan mereka. Bagaimana caranya meng-cancel? Mereka meminta perusahaan untuk memecat oposisi yang sedang bekerja di perusahaan tersebut. Mereka menyerukan boikot terhadap perusahaan atau organisasi yang tidak sejalan. Mereka menghabisi karier professor yang bersebrangan.
Trump dengan jelas menggambarkan dan menentang sikap totalitarianisme dan strategi “Cancel Culture” tersebut:
ADVERTISEMENT
Amerika dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi free speech. Orang Amerika berdebat dalam semua urusan. Politisi Amerika berdebat. Bagaimana bisa muncul generasi Radical Left yang anti-free speech, tidak bersedia untuk berdebat, dan mengandalkan kekerasan? Trump menjawab pertanyaan tersebut:
ADVERTISEMENT
Terhadap Radical Left yang menghancurkan patung dan monumen, Trump memperingatkan:
Jaksa Agung Amerika, Bill Barr VS Radical Left: Wawancara di Program “Life, Liberty and Levin” (13)
Anggota kabinet Trump yang vokal terhadap Radical Left adalah Jaksa Agung Bill Barr. Dalam wawancara dengan media kanan Fox News “Life, Libery and Levin” pada tanggal 9 Agustus 2020, Bill Barr senada dengan Presiden.
Barr mengritik faksi radikal Partai Democrat yang berpolitik dengan ideologi Leftism:
ADVERTISEMENT
Barr menyinggung sifat revolusioner Radical Left yang bertujuan membongkar sistem bernegara. Ideologi kiri tersebut dekat dengan sosialisme, komunisme, dan Bolsheviks.
Senada dengan Trump, Barr mengritik Radical Left yang menolak berkompromi dan berdialog:
ADVERTISEMENT
Lebih jauh Barr menyamakan ideologi Leftism dengan agama di mana oposisi dipandang sebagai iblis yang harus dimusnahkan. Oleh karena itu, mereka tidak tertarik dengan dialog dan perdebatan. Mengapa harus berdialog dengan iblis?
Take-Home Message
Gerakan Radical Left di Amerika menggunakan kerusuhan di jalanan dan gerakan politik di Kongres untuk mempromosikan perubahan dasar bernegara. Argumen mereka berpusat pada pemikiran dan praktik Bapak Bangsa dan pendirian negara di akhir abad ke-18. Tulisan ini memaparkan counter-argument dengan menunjukkan pergumulan Bapak Bangsa pada era tersebut.
ADVERTISEMENT
Media, selebriti, politisi, dan perusahaan besar memberikan dukungan dan donasi kepada gerakan Radical Left entah dengan motif tulus atau tujuan lain. Karena perlakuan istimewa tersebut, gerakan ini semakin menjadi perhatian di tingkat nasional dan internasional.
Kerusuhan yang disponsori Radical Left kebanyakan terjadi di kota-kota Progressive Democrat seperti Portland, Seattle, Los Angeles, Chicago, Oakland, dan New York City. Walikota-walikotanya membiarkan dan malah memotong anggaran kepolisian setempat menuruti tuntutan mereka. Mereka juga menolak tawaran bantuan keamanan dari Pemerintah Federal (Trump). Oleh karenanya, tidak sedikit warga dan pebisnis di kota-kota tersebut berniat pindah ke tempat lain dengan alasan keamanan.
Trump sendiri sejak awal bersikap anti-Left. Tidaklah mengherankan bila kelompok The Left Amerika menyebutnya White Supremacist sejak awal dia berkampanye. Trump memberikan pernyataan keras dan berusaha membantu menetralisir keadaan panas. Namun asas federalisme membatasi wewenang seorang Presiden Amerika untuk campur tangan langsung urusan “dalam negeri” states dan kota. Meskipun demikian, pendirian Trump tersebut menjadikannya sebagai tembok pertahanan terhadap gempuran Radical Left .. selama dia menjadi Presiden.
Akhir kata, apakah benar bahwa Amerika mengalami systemic racism dan berasas White Supremacist sehingga harus dibongkar dan dibangun ulang? Amerika setiap tahunnya menerima lebih dari satu juta imigran resmi dari semua benua, belum termasuk imigran gelap (14). Memang benar bahwa Amerika bukan negara sempurna. Namun, jika benar negara ini bobrok dari akarnya, mungkinkah para imigran tersebut berdatangan dengan sukarela?
ADVERTISEMENT
Referensi online: