Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kompetisi Infrastruktur: Negara-Negara “The Quad” Menghadang Tiongkok
24 Juni 2019 11:38 WIB
Tulisan dari AmerEurope tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seminggu setelah capres Amerika Serikat (AS) Donald J. Trump terpilih menjadi Presiden, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe segera menemuinya di Trump Tower. Pertemuan tersebut menyalahi tradisi mengingat Trump belum dilantik menjadi presiden. Banyak hal yang dibicarakan mereka. Namun menurut mantan Chief White House Strategist Steve Bannon, topik utama yang dibicarakan adalah ancaman Tiongkok yang sedang menebarkan dominasinya ke manca negara.
ADVERTISEMENT
Trump yang semasa kampanye kerap mengritik Tiongkok langsung tanggap terhadap Abe. Sejak itu, kedua pemimpin tersebut berusaha saling merapat meski terdapat masalah defisit perdagangan di antara kedua negara. Sebagai salah satu simbol hubungan yang erat, Trump mendapat kehormatan untuk memberikan US President’s Cup kepada Sumo Grand Champion Asanoyama pada saat mengunjungi Jepang Mei lalu. Piala kejuaraan sumo tersebut adalah yang pertama kali diberikan oleh seorang Presiden AS.
Tiongkok yang berambisi besar dalam kancah internasional mempunyai satu agenda besar, yaitu pembangunan dan investasi infrastruktur yang membentang dari Asia Timur sampai Eropa, dikenal dengan nama Belt and Road Initiative (BRI). Sampai saat ini, terdapat lebih dari 60 negara yang mencakup duapertiga populasi dunia, yang telah bergabung atau menyatakan tertarik dengan BRI. Tiongkok telah memdanai proyek-proyek infrastruktur senilai kurang lebih USD 200 milyar. Pendanaan terbesar senilai USD 68 milyar diberikan kepada China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) yang merupakan kumpulan proyek yang menghubungkan Tiongkok dengan pelabuhan Gwadar di Pakistan [1].
ADVERTISEMENT
Meski banyak peminatnya, BRI mendapat banyak kritikan. Maret lalu, Itali menjadi negara G7 pertama yang bergabung dengan proyek terambisius sepanjang sejarah tersebut. AS dan negara-negara sekutu Eropa mengritik keras langkah Itali tersebut karena mengkhawatirkan infrastruktur-infrastruktur penting Eropa akan dikuasai Tiongkok [2]. Perlu diingat bahwa penyokong BRI adalah pemerintah Tiongkok dengan BUMN sebagai motornya. Pemerintah juga memberikan fasilitas kepada bank-bank yang mendanai proyek-proyek BRI.
Kritik lain terhadap BRI adalah kemungkinan negara penerima pinjaman terjebak dalam hutang besar dan akhirnya “dikuasai” oleh Tiongkok. Srilanka menerima pinjaman dari Tiongkok untuk membangun pelabuhan Hambantota. Srilanka kemudian gagal membayar hutang tersebut dan terpaksa menyewakan pelabuhan tersebut ke Tiongkok selama 99 tahun [3].
Pada Desember 2018, media besar AS The New York Times (NYT) melaporkan dan mengritik kualitas infrastruktur BRI di Ekuador, yaitu bendungan Coca Codo Sinclair. Dua hari sebelum Presiden Tiongkok Xi Jinping terbang ke negara tersebut untuk peresmian pada akhir 2016, para insinyur proyek tersebut gagal memproduksi kapasitas penuh tenaga listrik sebesar 1.500 megawatt. Sampai dengan saat pemberitaan di NYT, bendungan tersebut hanya mampu menghasilkan separuh tenaga listrik dari kapasitas penuh yang dijanjikan. Dua tahun beroperasi, bendungan tersebut juga dipenuhi keretakan di berbagai tempat [4].
ADVERTISEMENT
Investasi BRI di Ekuador berupa bendungan Coca Codo Sinclair dan proyek-proyek lain bernilai sekitar USD 19 milyar. Pembayaran hutang tidak dilakukan dalam bentuk dollar melainkan minyak. Akhirnya, Tiongkok menguasai 80% ekspor minyak Ekuador dengan harga diskon [4].
Survey dari ASEAN Studies Center at the ISEAS – Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura menunjukkan bahwa sebagian besar profesional di ASEAN bersikap skeptis terhadap BRI. Sebanyak 84,2% profesional di Malaysia, 79% di Filipina, 72% di Indonesia dan Thailand menghendaki pemerintah negara mereka masing-masing berhati-hati saat menegosiasikan BRI agar terhindar dari jebakan hutang dengan Tiongkok [5].
Melihat sepak terjang BRI, Jepang berniat menghadang dengan mempromosikan Quality Infrastructure Investment (QII). Jepang menonjolkan aspek kualitas sebagai kontras dengan pendekatan kuantitas Tiongkok. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam investasi meliputi dampak lingkungan dan sosial, debt sustainability, keamanan dan kekuatan konstruksi, serta dampak pada kesempatan kerja masyarakat lokal. Jepang menawarkan bukan saja dana dan teknologi, tetapi juga prinsip-prinsip investasi baru yang berseberangan dengan Tiongkok [6].
ADVERTISEMENT
Tahun 2015, pemerintahan Sinzho Abe mencanangkan Partnership for Quality Infrastructure dengan dana USD 116 milyar untuk jangka waktu 2016-2020. Angka tersebut mencerminkan kenaikan 30% dari periode lima tahun sebelumnya. Mereka mempermudah prosedur mendapatkan pinjaman serta meningkatkan garansi akibat kerugian untuk mendorong partisipasi swasta [6].
Salah satu negara yang merapat ke Jepang dalam pembangungan infrastruktur adalah India. Jepang mendanai 80% lebih biaya proyek Mumbai-Ahmedabad High-Speed Rail dan 54% biaya Delhi Mass Rapid Transport System [7].
Di Indonesia, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah contoh persaingan antara Tiongkok dan Jepang. Indonesia akhirnya memilih Tiongkok yang menawarkan pola business to business tanpa perlunya jaminan pemerintah.
Sementara itu, AS di bawah pemerintahan Trump menawarkan skema baru untuk berinvestasi di negara berkembang. Pada 5 Oktober 2018, Presiden Trump menandatangani Better Utilization of Investments Leading to Development (BUILD) Act, yang secara jelas tertera di website-nya bertujuan untuk berkompetisi dengan BRI Tiongkok. Dalam hal ini, AS menawarkan prinsip-prinsip yang mirip dengan Jepang. Pernyataan resmi dari pemerintah AS menyatakan bahwa pembangungan akan dijalankan oleh swasta dengan standard tinggi, transparan dan skema yang menghindari jebakan hutang [8].
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya pada pertemuan APEC 2018 di Papua Nugini, Wapres AS Mike Pence mempromosikan investasi infrastruktur AS untuk Indo-Pasifik. Secara gamblang, Pence memaparkan perbedaan kontras prinsip-prinsip investasi negaranya dan Tiongkok [9].
Persaingan investasi menjadi semakin menarik ketika akhir-akhir ini Jepang, AS, India dan Australia membentuk kelompok The Quad sebagai wadah kerjasama pembangunan infrastruktur terutama di kawasan Indo-Pasifik. Pernyataan resmi dari Kemenlu AS tentang kelompok tersebut menekankan kembali prinsip-prinsip yang telah dibahas di atas seperti pembangunan berkelanjutan, pelibatan pihak swasta, bersifat transparan dan mengutamakan kualitas [10].
Dengan peta kompetisi tersebut, Indonesia mempunyai pilihan-pilihan bila ingin menggandeng investor asing untuk membangun infrastrukturnya. Selain teknologi, berbagai faktor seperti kualitas, dampak sosial dan lingkungan, penyediaan lapangan kerja dan debt sustainability perlu dipertimbangkan untuk memaksimalkan keuntungan bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 28-29 Juni 2019 mendatang, negara-negara G20 akan mengadakan pertemuan di Jepang. Tentu akan menarik bagi Indonesia untuk menyimak apa saja yang ditawarkan negara-negara investor sambil membangun networking untuk kemungkinan investasi di masa mendatang.
Referensi online:
1. https://on.cfr.org/2IwhDHd
2. https://nyti.ms/2YiOoeU
3. http://toi.in/HjZc1b/a24gk
4. https://nyti.ms/2RekKqx
5. https://www.rfa.org/english/news/china/asean-influence-01292019155922.html
6. https://warontherocks.com/2019/04/quality-infrastructure-japans-robust-challenge-to-chinas-belt-and-road/
7. https://www.investindia.gov.in/team-india-blogs/india-japan-nurturing-special-bond
8. https://www.opic.gov/build-act/faqs-build-act-implementation
9. https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/remarks-vice-president-pence-2018-apec-ceo-summit-port-moresby-papua-new-guinea/?utm_source=twitter
10. https://www.state.gov/u-s-australia-india-japan-consultations-the-quad/