Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kisah Seorang Pandai Besi: Bertahun-Tahun Menempa Di Kaki Gunung Bawakaraeng
16 Juli 2022 1:22 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Jumadil Awal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam bilik kecil yang panas di kaki Gunung Bawakaraeng, Puang Baddu (75), seorang pria tua sedang menempa besi yang telah dipanaskan bersama istrinya di Desa Barania, Sinjai Barat, Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Siang itu, saya bersama pamanku mengunjungi bilik pembuatan besi milik keluarganya yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng, Desa Barania, Sinjai Barat, Sulawesi Selatan, Indonesia. Puang Baddu bersama istrinya sehari-hari bekerja sebagai pengrajin besi. Dalam bilik berukuran 5x4 yang berdinding kayu itu, mereka membuat parang pesanan seseorang yang berasal dari Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Sesekali saya mengajak Puang Baddu ngobrol sambil sesekali dia merapikan tumpukan arang yang menutupi besi sebelum ia tempa kembali. Dia bercerita bahwa tempat dia membuat parang sudah beroperasi selama 70 tahun lamanya, bahkan pamanku sendiri yang masih kecil saat itu, dirinya sudah membuat parang.
Setiap hari, Puang Baddu akan kembali menempa besi pada pukul 10:00 pagi hingga pukul 06:00 menjelang malam. Untuk bahan bakunya sendiri, dia menggunakan arang dan besi yang akan di jadikan alat berkebun berupa parang/pisau dengan menggunakan blower untuk terus memanaskan bara api. Sebelum menempa, dia akan membuat terlebih dahulu pola parang yang terbuat dari tripleks untuk di jadikan patokan bagaimana ia akan membentuk parang. Setelah pola sudah ada, ia akan mulai memanaskan besi dalam tumpukan arang yang mulai terbakar. Setelah besi mulai berwarna merah terang karena panas dari proses pemanasan itu, Puang Baddu dan istrinya akan mulai menempa secara bergantian. Proses menempa inilah yang paling berat menurutku, karena harus merasakan panas dari percikan api tanpa menggunakan alat pelindung sama sekali.
ADVERTISEMENT
Setelah semua proses dasar selesai, besi yang sudah berbentuk itu akan direndam dalam air terlebih dahulu lalu dihaluskan menggunakan gerinda. Proses menghaluskan inilah, istri Puang Baddu mulai bekerja, dengan pakaian lusuh yang penuh dengan noda hitam itu, ia merapikan besi yang telah selesai melewati proses pendinginan.
Dalam sehari, Puang Baddu mampu membuat parang sebanyak 4 sampai 5 buah, salah satunya pesanan seseorang, sebagian juga akan dijual di pasar yang buka dua kali dalam sepekan. Untuk harga parang yang dia jual cukup bervariasi, umumnya akan dijual dengan harga Rp.100,000/parang, tergantung bentuk dan kesulitan pengerjaannya.
Secara geografis, Desa Barania berada di kaki Gunung Bawakaraeng, satu-satunya gunung yang menjadi sumber air masyarakat setempat. Selain parang, Kecamatan Sinjai Barat juga memiliki hasil bumi berupa sayur-sayuran, kopi, dan tembakau. Di tempat ini juga satu-satunya desa yang memiliki pandai besi yang sudah ada sejak lama dan masih bertahan hingga saat ini, meskipun sisanya hanya bisa dihitung jari karena kurangnya minat masyarakat untuk membuat alat perkebunan secara mandiri. Di samping bahan baku yang cukup sulit didapatkan, kebutuhan masyarakat akan parang juga cukup terbatas. Terlepas dari itu semua, Sinjai Barat adalah salah satu tempat paling beragam di Sulawesi Selatan dalam hal bahasa, iklim, hasil bumi, suku, dan geografi.
ADVERTISEMENT