Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Reformasi Regulasi APK dalam Era Baru Pasca Putusan MK 62/PUU-XXII/2024
12 Januari 2025 9:45 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Jundi Fathi Rizky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan penganut sistem demokrasi yang menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Prinsip fundamental ini tercermin dalam sistem pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala, memberikan kesempatan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan arah kepemimpinan bangsa.Pemilihan umum yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali merupakan instrumen vital dalam menjaga dinamika kepemimpinan nasional. untuk menciptakan keseimbangan antara stabilitas pemerintahan dan kebutuhan akan pembaruan sehingga sirkulasi kepemimpinan yang teratur ini mencegah stagnasi politik dan membuka ruang bagi munculnya ide-ide segar dalam pengelolaan negara.kontestasi politik merupakan kompetisi gagasan dan program. Para kandidat dan partai politik dituntut untuk menawarkan visi, misi, dan program kerja yang konkret.Dalam rangka menjangkau berbagai lapisan masyarakat secara efektif, para kandidat peserta pemilihan umum dan pemilihan daerah memanfaatkan beragam media kampanye yang Relevan dengan kebutuhan. Salah satu media kampanye yang tidak pernah tidak ada pada setiap pemilihan adalah Alat peraga kampanye atau biasa disebut dengan APK.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Alat Peraga Kampanye (APK) dalam setiap pemilihan telah membuktikan dirinya sebagai instrumen kampanye yang memiliki daya tahan luar biasa dalam lanskap politik Indonesia. Di tengah arus digitalisasi yang semakin deras, di mana aktivitas daring masyarakat terus meningkat, APK tetap dianggap relevan sebagai media komunikasi politik yang efektif.Hal ini tidak terlepas dari kemampuan APK untuk menciptakan presence yang nyata dan visible dalam ruang publik, mulai dari spanduk, baliho, hingga poster yang tersebar di berbagai sudut kota. Kehadiran fisik ini memberikan dampak psikologis tersendiri bagi masyarakat, menciptakan familiar feeling terhadap kandidat atau partai politik tertentu, sekaligus menjadi pengingat visual yang konstan tentang momentum politik yang akan berlangsung.Secara aturan terdapat batasan batasan yang telah ditetapkan dalam pemasangang alat peraga kampanye. Hal itu tertuang dalam Pasal 289 UU.No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dimana dalam pemasangan APK hendaknya memperhatikan nilai estetika dan keindahan kota. Selanjutnya Hal itu diatur lebih Rinci lagi Pada Pasal 64 Ayat 1 dan Ayat 2 Bahwa Alat peraga kampanye tidak boleh dipasang Pada pagar pemisah jalan, jalan, jembatan penyeberangan, halte, terminal, taman, tiang listrik dan tempat umum dan Sarana dan prasarana lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun Permasalahan pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) telah menciptakan dilema serius antara regulasi dan implementasi di lapangan. Meskipun Pasal 64 PKPU telah secara eksplisit mengatur lokasi dan tata cara pemasangan APK, pelanggaran terhadap aturan ini masih marak terjadi di setiap momentum pemilihan. Kasus kecelakaan yang menimpa dua pengendara motor akibat tertimpa APK yang roboh hanyalah satu dari sekian banyak insiden yang menggambarkan bagaimana ketidakpatuhan terhadap regulasi dapat membahayakan keselamatan publik. Situasi ini diperparah dengan praktik pemasangan APK yang berlebihan dan sembarangan, yang tidak hanya melanggar ketentuan hukum tetapi juga menciptakan polusi visual yang mengganggu estetika lingkungan. Di berbagai sudut kota, dapat dengan mudah ditemui tumpukan APK yang dipasang di lokasi-lokasi terlarang seperti fasilitas publik, pohon pelindung, atau bahkan instalasi listrik, yang jelas-jelas bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan hal ini. Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan presidential threshold 20% telah menciptakan dinamika baru dalam lanskap politik Indonesia yang memiliki implikasi ganda. Di satu sisi, putusan ini memperluas ruang demokrasi dengan membuka kesempatan bagi setiap partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presidennya tanpa terkendala persyaratan minimal kursi di parlemen. Hal ini berpotensi memperkaya kontestasi politik dengan hadirnya lebih banyak pilihan pemimpin yang dapat dinilai oleh masyarakat berdasarkan kapabilitas dan visi misi mereka. Namun, konsekuensi tidak langsung dari keputusan ini adalah potensi membanjirnya Alat Peraga Kampanye (APK) yang jauh lebih masif dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Dengan 18 partai politik yang berpartisipasi, dan jika setiap partai mengajukan pasangan calon presidennya masing-masing, maka akan tercipta situasi yang sangat kompleks dalam pengelolaan ruang visual kampanye. Tanpa regulasi yang ketat dan implementasi yang tegas, situasi ini dapat berujung pada kekacauan visual yang lebih parah, di mana ruang-ruang publik akan dipenuhi oleh APK dari berbagai kandidat. Kondisi ini tidak hanya berpotensi menciptakan polusi visual yang lebih ekstensif, tetapi juga dapat mengancam estetika tata kota dan bahkan keselamatan publik jika tidak dikelola dengan baik melalui kerangka regulasi yang komprehensif dan penegakan aturan yang konsisten.Maka Hendaknya diperlukan sebuah Regulasi dimana pemasangan APK seharusnya hanya dibatasi pada suatu tempat saja yang telah ditentukan sehingga Penggunaan APK tidak merusak keindahan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis penertiban APK ini sangat sulit dilakukan karena Peraturan yang mengatur hanya sebatas pelarangan pada tempat tertentu . Dalam perspektif teori hukum, penggunaan frasa dalam peraturan perundang-undangan memiliki implikasi yang sangat fundamental terhadap efektivitas penegakan hukum. Pemilihan diksi antara "larangan" dan "perintah" tidak hanya bersifat semantik, tetapi memiliki dampak yuridis yang signifikan. Merujuk pada teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, suatu peraturan harus memiliki kejelasan makna untuk menghindari multi-interpretasi yang dapat menghambat penegakan hukum. Dalam konteks penertiban APK (Alat Peraga Kampanye), penggunaan frasa "larangan" yang hanya dibatasi pada tempat tertentu justru menciptakan grey area yang dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum. Oleh karena itu akan lebih tepat jika menggunakan frasa "diperintahkan" , dengan itu akan memberikan ruang lingkup yang lebih sempit dan tegas dibandingkan dengan frasa "larangan".Maka Penggunaan frasa "diperintahkan" lebih memenuhi prinsip tersebut dibandingkan dengan frasa "larangan" yang cenderung menciptakan ruang interpretasi yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Maka untuk Membenahi regulasi APK ini, Unsur “Perintah” dapat dengan mengadopsi model pengelolaan kampanye visual seperti yang diterapkan di Jepang merupakan langkah yang potensial untuk mengatasi permasalahan kampanye di Indonesia. Sistem yang diterapkan di Jepang dengan menghadirkan papan kampanye dan memerintahkan setiap kandidat agar kampanye hanya dibatasi pada ruang yang telah ditentukan dan terpadu (unified campaign boards) mencerminkan pendekatan yang lebih terstruktur dan beradab dalam pelaksanaan kampanye politik. Konsep ini menawarkan solusi yang elegant dengan menyediakan ruang khusus berupa papan berukuran standar yang ditempatkan di lokasi-lokasi strategis yang telah ditentukan sebelumnya. Keseragaman ukuran dan penempatan yang teratur tidak hanya menciptakan kesetaraan antar kandidat, tetapi juga menjamin terciptanya ketertiban visual dalam ruang publik. Lebih dari itu, sistem ini secara efektif mencegah terjadinya "perang" penempatan APK yang sering kali berujung pada pemborosan sumber daya dan kerusakan lingkungan. Dengan mengadopsi sistem serupa, Indonesia dapat menciptakan landscape kampanye yang lebih tertib, efisien, dan ramah lingkungan, sekaligus memberikan kesempatan yang setara bagi setiap kandidat untuk menyampaikan pesan politiknya kepada masyarakat tanpa harus mengorbankan estetika dan keselamatan publik.
ADVERTISEMENT