Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Gunung Lawu via Candi Cetho, dari Cerita Mistis hingga Peninggalan Sejarah
31 Desember 2021 19:53 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Adhika Graha Irianto Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cukup banyak orang melihat Gunung Lawu sebagai gunung yang penuh dengan misteri, angker atau bahkan menyeramkan. Terbukti dihampiri semua sosial media ketika nama Gunung Lawu terangkat ada saja hal-hal mistis yang juga ikuti dibicarakan. Adanya label gunung angker sepertinya tidak muncul secara tiba-tiba, tapi naik berbarengan dengan banyaknya kejadian aneh yang memang pernah terjadi di gunung ini. Misal kasus hilang atau meninggalnya pendaki yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Dari kejadian tersebut akhirnya membuat orang-orang berspekulasi dan mengaitkannya dengan hal-hal di luar nalar.
ADVERTISEMENT
Banyaknya cerita soal 'keangkeran' Gunung Lawu ini pun sempat juga memengaruhi rencana perjalanan saya. Hampir 2 tahun lebih rencana pendakian ke Gunung Lawu yang pernah saya buat harus batal di tengah jalan. Ada saja alasan yang membuat rencana ini gagal, mulai dari sulitnya mendapat izin orang rumah hingga teman sependakian yang mendadak mundur secara tiba-tiba.
Tapi di pertengahan bulan oktober kemarin akhirnya saya berkesempatan juga mengunjungi gunung yang memiliki ketinggian 3.265 mdpl ini. Bersama 4 orang teman, saya mendaki ke Gunung Lawu melalui jalur pendakian Candi Cetho yang terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jalur pendakian ini dipilih karena beberapa pertimbangan salah satunya karena jalur Candi Cetho punya panorama alam yang cukup menarik.
Sedari basecamp kami langsung disuguhkan megahnya Candi Cetho yang merupakan candi bercorak hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Menurut catatan sejarah, Candi Cetho ini dibangun oleh Raja Brawijaya V pada 1397 Saka atau 1475 Masehi sebagai tempat melakukan ritual ruwatan atau tolak bala. Meskipun tidak sempat menjelajahi kompleks candi ini secara keseluruhan, tapi pemandangan dari pelatarannya saja sudah sangat cantik. Tak ayal, tempat ini selalu dipenuhi wisatawan khususnya pada akhir pekan.
Tidak jauh dari Candi Cetho yang juga jadi titik awal pendakian terdapat Candi Kethek. Kethek sendiri dalam bahasa Jawa berarti kera. Candi ini berada tepat di sisi kanan jalur pendakian sehingga bisa dinikmati langsung oleh para pendaki. Candi Kethek memiliki empat teras bertingkat yang mengarah ke sisi barat, di mana tiap terasnya dihubungkan dengan undakan batu. Terdapat juga jalan setapak yang bisa digunakan untuk menuju ke teras paling atas. Berbeda dibanding Candi Cetho, candi ini terlihat lebih sepi dari pengunjung karena jaraknya yang lumayan jauh dari area parkir kendaraan.
Suasana mistis akan mulai terasa ketika pendakian menuju Pos 1, yang mana saya dan teman-teman harus mendaki jalur bertangga yang mirip dengan pintu gerbang ke singgasana raja. Di kiri dan kanannya terdapat payung berwarna kuning emas yang sangat identik dengan atribut kerajaan, bahkan di pertengahan tangga terdapat juga patung yang ukurannya cukup besar dengan bentuk yang unik. Selepas jalur tangga kami dipertemukan lagi dengan kolam yang sangat jernih dengan air yang terus mengalir dari lubang-lubang batu. Bahkan di dalamnya terdapat uang logam yang mungkin dilemparkan para peziarah.
Tidak sampai di situ suasana mistis di Gunung Lawu terus berlanjut ke beberapa Pos yang kami lewati. Di antaranya Pos 2 dan Pos 4, di sini saya menemukan tempat penyimpanan sesajen yang di dalamnya terdapat dupa yang masih menyala. Cukup menarik memang, karena saya sendiri jarang sekali menemukan pemandangan seperti ini khususnya di gunung-gunung Jawa Barat.
Untuk jalur pendakian dari basecamp sampai Pos 4 bisa dibilang menarik dan lumayan menantang. Di awal pendakian kami diajak memasuki area hutan yang cukup rapat dengan tanjakan-tanjakan pendek yang lumayan menguras tenaga. Bahkan di pertengahan Pos 3 dan Pos 4 kondisi jalur pendakian berubah lagi menjadi lebih curam. Hal ini terjadi karena jalur yang dilalui kondisinya mulai rusak akibat terlalu sering dilewati para pendaki. Perlu kehati-hatian dan konsentrasi lebih jika melintasi jalur ini, apalagi jika mendaki saat musim hujan karena jalur akan berubah menjadi sangat licin. Durasi waktu yang diperlukan pun terbilang cukup lama karena jalur Cetho ini memang menjadi jalur terpanjang dengan jarak tempuh kurang lebih 9 kilometer dari basecamp sampai puncak.
ADVERTISEMENT
Menjelang Pos 5 atau Bulak Peperangan jalur pendakian mulai berubah menjadi lebih landai dan cukup nyaman untuk dilalui. Di Pos 5 ini para pendaki akan dimanjakan dengan pemandangan padang savana yang membentang luas dan sangat cocok untuk jadi spot berfoto. Tempat ini pun digunakan juga sebagai area camp karena bisa menampung banyak tenda. Di balik keindahannya tempat ini tak lepas juga dari cerita-cerita yang penuh misteri.
Salah satu cerita yang melekat dengan Bulak Peperangan adalah kisah pertempuran antara pasukan kerajaan Majapahit pimpinan Brawijaya V dengan pasukan kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah. Bahkan menurut masyarakat setempat, suara pertempuran tersebut masih sering terdengar sampai sekarang, walaupun hanya didengar oleh orang-orang tertentu. Entah benar atau tidak, tapi yang pasti tempat ini merupakan salah satu spot paling keren yang bakal dilalui ketika mendaki Gunung Lawu via Candi Cetho.
Satu tempat lain yang menjadi favorit saya di jalur Cetho ini adalah Gupak Menjangan. Jaraknya tak begitu jauh dari Bulak Peperangan, hanya perlu 40 menit perjalanan untuk sampai di Pos ini. Pos Gupak Menjangan menjadi tempat camp favorit para pendaki, karena di sekitaran area ini terdapat pohon-pohon pinus besar yang menjadikannya teduh dan sangat nyaman. Akan menyenangkan berlama-lama di tempat ini apalagi jika cuaca cerah dengan angin yang berembus pelan. Saat musim hujan, pendaki bisa menemukan sumber air yang terbentuk dari genangan air hujan. Dan menurut masyarakat setempat juga genangan air tesebut biasanya jadi tempat minum Menjangan atau Rusa yang ada di Gunung Lawu. Nama Gupak Menjangan sendiri diambil dari kata Menjangan atau Rusa tersebut.
Selepas Gupak Menjangan kami mulai memasuki wilayah Pasar Dieng atau ada juga yang menyebutnya Pasar Setan. Pasar Dieng ini jadi salah satu tempat yang paling sering dibahas orang-orang karena namanya yang sangat aneh. Kondisi Pasar Dieng sendiri cukup terbuka dengan jalur berbatu yang jika pendaki tidak fokus akan sedikit membingungkan ketika melewatinya. Saat kami melintas cuaca di Pasar Dieng sedang berkabut tebal, membuat suasana menjadi sedikit mencekam. Kondisi ini membuat kami sempat kebingungan karena minim sekali petunjuk arah dan terdapat banyak percabangan.
ADVERTISEMENT
Dari pengalaman tersebut saya bisa menduga salah satu alasan yang membuat tempat ini ditakuti oleh banyak orang bukan hanya karena cerita mistisnya. Tapi karena kondisi jalurnya sendiri yang memang membingungkan, apalagi jika sedang datang kabut tebal. Hal ini memungkinkan pendaki yang melintas hilang arah atau bahkan tersesat.
Hanya perlu 20 menit sampailah kami di kawasan Hargo Dalem. Hargo Dalem merupakan tempat sakral yang dipercaya masyarakat lokal sebagai tempat moksa-nya Prabu Brawijaya V yang juga Raja terakhir Majapahit. Moksa sendiri merupakan istilah dalam ajaran Hindu-Buddha untuk melepaskan ikatan keduniawian. Moksa juga erat kaitannya dengan pembebasan dari siklus kematian dan kelahiran kembali atau samsara. Sekarang Hargo Dalem ini sering digunakan oleh masyarakat di sekitar Gunung Lawu sebagai tempat mencari ilmu, keberuntungan, dan lain sebagainya.
Selain itu di Hargo Dalem ini terdapat juga warung yang disebut-sebut sebagai warung tertinggi di Indonesia yaitu Warung Mbok Yem. Warung legendaris ini berada di ketinggian 3.150 mdpl dan hanya berjarak 115 meter dari puncak Gunung Lawu. Di tempat ini para pendaki bisa beristirahat sejenak atau bisa juga membuka tenda di sekitaran Hargo Dalem sebelum melanjutkan pendakian ke Puncak tertinggi Gunung Lawu yang bernama Puncak Hargo Dumilah.
Untuk sampai di Puncak Hargo Dumilah para pendaki hanya perlu waktu 30 menit perjalanan, dengan jalur yang cukup terjal namun masih aman untuk dilalui. Di puncak para pendaki bisa menikmati pemandangan yang sangat indah. Salah satunya pemandangan puncak-puncak gunung yang ada di sisi timur Gunung Lawu seperti Gunung Liman, Gunung Kelud, Gunung Arjuno-Welirang bahkan Gunung Semeru.
Bisa menikmati keindahan alam yang ada di sepanjang jalur pendakian dan juga mengenal budaya unik masyarakat setempat menjadi hal-hal paling menarik dari pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho ini. Meskipun banyak cerita mistis yang melekat dengan Gunung Lawu, saya lebih senang melihat gunung ini sebagai gunung yang punya catatan sejarah panjang. Sehingga di samping mendaki gunung para pendaki pun bisa belajar mengenal sejarah lewat peninggalan-peninggalan yang ada. Dibanding membicarakan Gunung Lawu lewat cerita mistisnya akan lebih bijak jika mengangkat Gunung Lawu dengan cerita sejarah dan keindahannya yang luar biasa.
Estimasi Waktu Pendakian
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Perkiraan waktu ini bisa berubah tergantung waktu istirahat dan ritme jalan teman-teman. Semoga bermanfaat, salam lestari.