Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berebut Legitimasi NU
16 Januari 2024 11:15 WIB
Tulisan dari Slamet Tuharie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial-keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) terbesar di Indonesia merupakan organisasi yang sangat strategis bagi politik di Indonesia. Oleh karenanya, mendapatkan legitimasi dari NU adalah hal sangat penting bagi kandidat presiden dan wakil presiden yang akan berlaga pada kontestasi pemilihan umum 14 Februari 2024 mendatang. Bagaimana tidak, pada tahun 2023 LSI merilis hasil surveinya yang menyebutkan bahwa anggota NU mencapai 56,9 persen. Tentu angka ini adalah angka yang sangat besar jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang menurut data BPS pada pertengahan 2023 mencapai 278,69 juta jiwa.
Kekuatan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan dapat dilihat dari strukturnya yang ada dari tingkat nasional hingga ke desa, bahkan juga luar negeri. Belum lagi, NU memiliki badan otonom dan lembaga yang diklasifikasikan berdasarkan kategori usia, jenis kelamin, dan profesi yang dapat menjadi kekuatan yang luar biasa, jika digerakkan sebagai mesin politik. Itulah kenapa, para politisi berebut mendapatkan legitimasi NU untuk memperkuat peluang kemenangannya, karena secara struktur NU memiliki kekuatan yang terukur.
ADVERTISEMENT
Namun, Muktamar NU ke-27 Situbondo tahun 1984, telah memutuskan bahwa NU kembali ke Khittah 1926 yang artinya kembali kepada jatidirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan, bukan lagi sebagai partai politik. Dengan kata lain, secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Akan tetapi, karena kondisi politik Indonesia pada tahun 1998 dan atas desakan dari warga nahdliyyin, di bawah kepemimpinan Gus Dur NU kembali memulai babak baru aktivitasnya dalam politik praktis dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998 hingga berhasil mengantarkannya menjadi Presiden RI ke-4 (1999-2001).
Pendiri PKB tidak lain dan tidak bukan adalah para elite NU saat itu, yang terdiri dari Tim Lima yang diketuai oleh K.H. Ma`ruf Amin yang saat itu menjabat sebagai Rais Suriyah/Kordinator Harian PBNU) dan beranggotakan K.H. M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), K.H. Said Aqil Siroj (Wakil Katib Aam PBNU), H.M. Rozy Munir (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu juga dibekali Surat Keputusan PBNU.
ADVERTISEMENT
Selain Tim Lima, juga dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H. Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma`ruf, H. Abdul Aziz, H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H Lukman Saifuddin, Amin Said Husni, dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi poitik warga NU.
Singkatnya, secara historis keberadaan PKB tidak bisa dipisahkan dari NU, karena ia memang dilahirkan dari rahim organisasi NU. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa relasi NU-PKB pasca Muktamar NU ke-34 Lampung menjadi ‘renggang’. Gus Yahya, sebagai Ketua Umum PBNU, berkomitmen untuk menjaga posisi NU agar tidak terkapitalisasi oleh partai politik tertentu (baca: PKB), melainkan untuk semua kelompok politik yang ada. Dengan komitmen NU yang menempatkan dirinya berada untuk semua golongan, membuat para Paslon semakin berlomba-lomba untuk memperoleh legitimasi NU dalam kontestasi Pilpres agar memudahkan jalannya meraup suara nahdliyin yang menjadi mayoritas di Indonesia.
Lalu, Benarkah NU Netral?
ADVERTISEMENT
Sikap tegas PBNU yang memberhentikan Nusron Wahid dari jabatannya sebagai Ketua PBNU pada akhir 2023 adalah bentuk ketegasan PBNU untuk menunjukkan netralitasnya dalam perhelatan Pilpres 2024 mendatang. Nusron Wahid yang merupakan politisi Partai Golkar sekaligus sekretaris TKN Prabowo-Gibran diberhentikan dari jabatannya bersamaan dengan Nasyirul Falah Amru yang merupakan Ketua PBNU sekaligus Ketua Baitul Muslimin Indonesia, sayap organisasi PDI-P. PBNU menjelaskan bahwa alasan pemberhentian dua elite PBNU ini adalah karena masalah rangkap jabatan yang dalam AD/ART dilarang. Namun jika dikaji lebih serius, alasan ini tidak kuat karena kenyatannya sebelum menjabat di PBNU, keduanya merupakan pengurus aktif di Golkar dan PDIP.
Selain dua tokoh NU dari Golkar dan PDI P tersebut, Savic Ali yang menjabat sebagai Ketua PBNU juga ‘dicutipaksakan’ karena bergabung dalam TPN Ganjar-Mahfud. Puncaknya, adalah pemberhentian K.H. Marzuki Mustamar dari jabatannya sebagai Ketua PWNU Jawa Timur yang kemudian ditanggapi pro kontra oleh Nadhliyyin.
ADVERTISEMENT
Menurut Abdussalam Shohib, K.H. Marzuki Mustamar diberhentikan sebagai Ketua PWNU Jawa Timur karena terindikasi mendukung pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, pasangan capres cawapres yang diusung dari Partai Nasdem, PKS, dan PKB. Meski demikian, menurut PBNU hal ini tidak berkaitan dengan urusan politik, tapi merupakan masalah internal. Pemberhentian K.H. Marzuki Mustamar menjadi sangat ramapi diperbincangkan bukan hanya karena posisinya sebagai ketua wilayah di basis nahdliyyin, tapi juga karena Jawa Timur sendiri merupakan basis massa PKB, sekaligus episentrum pertarungan Pilpres 2024.
Pemberhentian keempat tokoh-tokoh NU tersebut di satu sisi menegaskan bahwa NU benar-benar pada posisi netral secara struktural di satu sisi. Namun, di sisi yang lain juga menunjukkan bahwa aktivitas dukung mendukung para elite PBNU secara tidak langsung menyatakan bahwa 'NU tidak netral'. Sebut saja Yenny Wahid yang saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Pengembangan Inovasi Strategis PBNU yang masuk sebagai Dewan penasehat TPN Ganjar-Mahfud.
ADVERTISEMENT
Selain Yenny Wahid yang secara resmi masuk dalam struktur TPN Ganjar-Mahfud, ada juga Relawan Santri Nderek Kiai di Jawa Timur yang merupakan relawan Gus Ipul (Sekretaris Jenderal PBNU 2022-2027) yang digerakkan untuk mendukung Prabowo-Gibran. Perlu diketahui bahwa relawan Santri Nderek Kiai ini merupakan relawan yang dalam tiga pemilihan Gubernur Jawa Timur mendukung Gus Ipul. Menariknya, relawan Gus Ipul ini akan bergabung dengan mantan pesaingnya di Pilgub Jawa Timur, yaitu relawan Khofifah Indar Parawansa untuk bersama-sama memenangkan Prabowo-Gibran. Bahkan, kini Khofifah Indara Parawansa telah resmi menjadi Juru Kampanye Nasional (Jurkamnas) Prabowo-Gibran. Posisi Khofifah tentu tidak bisa dilihat dari satu sisi sebagai Gubernur Jawa Timur saja, tapi juga sebagai Ketua PBNU, sekaligus Ketua Umum PP Muslimat NU.
Selain itu, elite PBNU yang juga telah menyatakan secara terbuka dukungannya kepada Prabowo-Gibran adalah Erick Thohir, Menteri BUMN yang saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) NU. Bahkan, yang terbaru adalah pernyataan Wakil Sekjend PBNU, Sulaeman Tanjung yang menyatakan bahwa dukungan keluarga besar NU di bawah adalah Prabowo-Gibran. Dukungan ini tercermin dalam silaturahim Pengurus Wilayah NU se-Indonesia di kediaman Rais Aam PBNU di Surabaya pada 6 Januari 2024 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, ketika dihadapkan pada gerakan-gerakan politik para elite PBNU dalam upaya dukung-mendukung paslon dalam Pilpres saat ini, agaknya susah untuk mengatakan bahwa NU netral secara politik. Atau dengan kata lain, memang secara struktural organisasi NU memposisikan dirinya berada di tengah-tengah sesuai dengan prinsip at-tawasuth, tapi tidak dengan elitenya yang memiliki preferensi politik sendiri dan bergerak masing-masing. Meski tidak semua elite PBNU mendeklarasikan secara terbuka sebagai bagian dari tim pemenangan salah satu paslon, namun gerakan politik yang dilakukan saat ini tidak terlalu susah untuk dibaca kemana arah politik NU saat ini.
Lalu siapa yang berhasil mendapatkan legitimasi NU dalam kontestasi Pilpres saat ini? Secara umum, tidak ada satu paslon pun yang bisa mengklaim telah memperoleh legitimasi NU secara utuh, sebaliknya para paslon memperolehnya secara parsial. Selain karena karakter organisasinya yang terbuka, juga karena kelompok struktural NU dan warga nahdliyyin tidak selalu memiliki preferensi politik yang sama di tingkat bawah. Tidak bisa dipungkiri bahwa di tingkat basis NU susah untuk satu suara, ada berbagai faktor yang melatar belakanginya, salah satunya karena kepatuhan terhadap tokoh-tokoh lokal yang memiliki preferensi politik yang berbeda-beda di setiap wilayahnya. Dengan kata lain, meski sudah mendapatkan legitimasi politik dari pimpinan NU, bukan berarti mendapatkan jaminan dukungan dari warga nahdliyyin secara keseluruhan []
ADVERTISEMENT