Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film ‘Yuni': Pembatasan Tubuh Perempuan di Akar Rumput
4 Juli 2024 18:56 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Katarina Dian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
’Yuni’ mencerminkan masyarakat kita hari ini. ‘Yuni’ hadir sebagai bentuk suara melawan ketidakadilan. Lebih jauh lagi, ‘Yuni’ adalah pembebasan.
Pengalaman menyaksikan ‘Yuni’ merupakan salah satu tontonan paling mengesankan sekaligus berat. Sebagai seorang yang dibentuk, diajarkan, dan ditumbuhkan menjadi perempuan, cuplikan-cuplikan film Yuni terasa begitu dekat, tetapi tragis.
ADVERTISEMENT
Adegan awal tentang “suara itu aurat” membuat kesan yang sangat baik, setidaknya bagi saya sendiri. Pagar-pagar relijius-konservatif di Indonesia ditampilkan lewat percakapan tentang ditiadakannya acara musik dari kegiatan sekolah selama setahun dengan alasan suara itu aurat. Bukan hanya soal pagar-pagar saja, adegan itu melihatkan kepada kita lebih luas lagi soal pembatasan akan suara-suara perempuan dengan alasan alasan otoriter berbasis agama.
Tes keperawanan dan maskulinitas
Ada sebuah kepercayaan kelewat lucu untuk menjaga “maskulinitas” laki-laki Indonesia, tes keperawanan salah satunya. Seperti apa yang ditampilkan di ‘Yuni’, tes keperawanan menjadi kepercayaan sahih mengenai tubuh perempuan dan letak kasta setelahnya. Sudah ada begitu banyak artikel dan penelitian yang menyatakan ketidakakuratan tes keperawanan, tetapi nampaknya Indonesia belum mau menerima. Atau mungkin tidak mau menerima demi merawat nilai nilai otoriter maskulinnya.
ADVERTISEMENT
Sekolah-sekolah di Indonesia masih memberlakukan tes keperawanan ini. Tidak semua memberlakukannya, tetapi memang nampaknya masih banyak yang menerapkan dan masih banyak juga yang percaya. Termasuk Anda sendiri. Mungkin. Masyarakat — dengan pola pikir laki-laki — masih percaya, dengan mengetahui seseorang atau pasangannya ‘perawan’, tandanya orang itu suci, dan bisa jadi pola pikir ini mengarah pada ‘akulah yang akan mencoba dia pertama kali’. Lagi-lagi, perempuan dijadikan subjek tak hidup dan tak berkeputusan. Masyarakat sibuk mempertanyakan apakah perempuan muda itu masih perawan atau tidak, apakah dia mandul atau tidak, tetapi mereka lupa mempertanyakan kondisi laki-laki. Seolah semua beban moral dilekatkan kepada tubuh dan kelamin perempuan.
Setelah sibuk dengan budaya ‘tes keperawanan’, ada yang lebih mengagektakan lagi: guru akan mengecek pembalut murid untuk memastikan apakah betul siswinya sedang dalam keadaan menstruasi. Guru melakukan pengecekan ini sebagai bentuk pembuktian, dalam beberapa kasus biasanya izin ke UKS, izin pulang, dan/atau tidak bisa sholat karena sedang menstruasi. Sebuah budaya yang menjijikkan. Kepercayaan akan Tuhan seharusnya menjadi proses pencarian menyenangkan, bukan memenjarakan. Mungkin apabila ada yang berbohong, lebih baik untuk mengingatkan mereka, dan biarkan mereka merefleksikan imannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Tika, teman baik Yuni, yang baru saja melahirkan dari hamil mudanya. Tika harus hidup sendirian. Katanya, suaminya tidak punya waktu tidur yang cukup semenjak anaknya lahir, sehingga ia pulang ke rumah ibunya. Padalah baru saja satu malam. Adegan ini sangat menyedihkan bagi saya sendiri. Melihat banyaknya kasus asli di luar sana di mana mereka harus menikah muda karena faktor ekonomi ataupun akibat sanksi masyarakat, tetapi berakhir tragis berjuang merawat anak sendirian. Begitu pula dengan kakak-kakak Tika yang tinggal di atap yang sama. Mereka juga ditinggal oleh suami mereka. Bukan hanya atap yang sama, tetapi yang lebih sedih lagi, nasibnya persis.
Yang mengerti kaum tertindas ialah kaum tertindas itu sendiri
ADVERTISEMENT
Menarik bagaimana Kamila Andini — penulis skenarion dan sutradara film ‘Yuni’ — memasukkan detail-detail kecil tentang perempuan vs dunia di dalam film ini. Mulai dari percakapan tentang jangan pulang malam, pamali nyapu malam hari, pamali menolak lamaran, harus bertahan saat dipukul suami, keguguran akibat rahim yang terlalu muda, dan tabunya perempuan menyalurkan hasrat seksual di depan laki-laki. Perempuan dibatasi dengan seribu satu peraturan, yang katanya, demi kepentingan dan keselamatan perempuan itu sendiri. Tetapi yang menarik, segala hal yang dilarang dan dianggap bahaya ternyata bersumber dari kejahatan yang “laki-laki” buat. Dunia seakan menolak perempuan tinggal di dalamnya ketika apa yang mereka perbuat mengancam kejantanan laki-laki.
Adegan-adegan rebel di film ini membawa kesan yang baik untuk mendefinisikan pembebasan tubuh perempuan, setidaknya di akar rumput. Salah satunya lewat adegan penyanyi dangdut yang menasihati Yuni mengenai “hak bersuara”. “Jangan biarin orang bilang kamu tidak boleh bersuara. Mereka nggak pernah tahu bagaimana rasanya benar-benar kehilangan suara”, begitu cetusnya. Walau dalam film ini digambarkan mengenai larangan bersuara dalam konteks menyanyi, saya merasakan film ini ingin mencirikan suara-suara perempuan yang ditutup oleh masyarakat atas nama adat, agama, kekuasaan, dan kejantanan. Mereka tidak akan pernah tahu rasanya menjadi perempuan terbungkam sampai mereka menjadi perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, adegan singkat ini menyiratkan, yang mengerti kaum tertindas ialah kaum tertindas itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap ketidakadilan, nampaknya relasi kuasalah yang menjadi penyebabnya. Terlihat di film ini, bagaiamana karakter Yuni yang digambarkan kuat, bebas, dan lepas pun tak kuasa membendung maskulinitas laki-laki lewat lamaran Pak Dodi, guru Bahasa Indonesia-nya di sekolah. Yuni nampak kaget bagaimana bisa gurunya datang pada kesimpulan ingin menikahinya, pahadal Yuni lulus SMA pun belum. Ditambah lagi, lamaran ini terjadi setelah Yuni memergoki Pak Dodi mencoba-coba menggunakan hijab di sebuah ruang ganti di toko baju. Dari perspektif Pak Dodi sendiri, nampaknya ia juga dibebani oleh masyarakat dan orang tua untuk segera menikah. Ini menjadi pertentangan batin yang sulit bagi Pak Dodi.
Yang Lebih tragis lagi sebetulnya ialah, menikahi perempuan di bawah umur bukan menjadi masalah serius, seperti apa yang digambarkan di film ini. Hal ini menjadi sebuah kritik sosial untuk hampir di seluruh daerah di Indonesia. Hidup perempuan digambarkan hanya untuk dinikahi, ditiduri, dan dihamili. Tidak ada keputusan-keputusan mandiri yang bisa mereka buat, dan ketika mereka memutuskan sesuatu, masyarakat akan menstigma mereka dengan sebutan liar, tidak paham kodrat, bajingan, lonte, atau perempuan jalang.
Representasi perempuan yang pernah hilang
ADVERTISEMENT
‘Yuni’ menjadi gambaran yang baik soal representasi perempuan di layar lebar. Bukan hanya membawa cerita perempuan, film ini juga membawa cerita minoritas dan menolak Jakarta-sentris. Pemilihan tempat dan bahasa dari Serang menggambarkan cerita baru ketika film-film lain hanya merepresentasikan Jawa, Betawi, Jakarta, dan Batak (baru-baru ini). Alih-alih mengusung perempuan Jakarta dan identitas Girl Boss-nya, ‘Yuni’ menggambarkan pemberdayaan sekaligus penindasan struktural di akar rumput itu sendiri.
Berbagai masalah struktural yang berkelindan di tubuh perempuan direpresentasikan secara baik: penggusuran, cerai sepihak, ditinggal suami, pernikahan dini, relasi kuasa maskulin, dan stigma di masyarakat. Setidaknya dari sini penonton bisa melihat bagaimana perempuan dibatasi dari segala pintu. Ketimbang mengiyakan bahwa perempuan itu lemah, seharusnya masyarakat bisa berpikir lebih jauh soal posisi, kesempatan, dan pemberdayaan yang dihilangkan dari perempuan dan sejarah perempuan.
ADVERTISEMENT
Lebih besar daripada sekadar soal kesetaraan
Agak klise jika film ini dianggap hanya ingin menunjukkan posisi perempuan yang juga setara. Sepatutnyalah film ini adalah refleksi dari masyarakat itu sendiri. Baik mereka sadar atau tidak. Kadang, walau ini semua terjadi di sekitar kita atau di diri kita, sangat sedikit yang bisa melihat hal itu sebagai ketidakadilan. Bahkan, masyarakat hanya menutup pintu-pintu untuk perempuan dengan kicauan, “kan sudah seharusnya kayak begitu”, “kan emang begitu dari dulu”, dan sebagainya dan sebagainya.
Film ini baru pengantar untuk melihat ketidakadilan kompleks yang dialami perempuan. Masih ada banyak hal yang perlu kita perjuangkan dan perdebatkan: hak pekerja seks, akses aborsi yang legal, ruang-ruang aman untuk teman-teman LGBTQ+, adat yang menjajah, dan posisi perempuan di dalam agama-agama.
ADVERTISEMENT
Keadilan jenis baru
Sebuah tontonan yang sangat bagus untuk menunjukkan seberapa kokohnya maskulinitas yang menindas tubuh perempuan di Indonesia dan seluruh dunia. Lebih jauh lagi, akan ada dari mereka menyatakan diri peduli akan perjuangan dan kesetaraan perempuan, tetapi di balik itu mereka hanya menunggangi isu agar terlihat up-to-date atau demi citra gerakan. Akan banyak juga yang mendeklarasikan dukungannya untuk perempuan namun di sisi yang lain juga pelaku kekerasan. Akan ada pula yang menjadikan isu perempuan sebagai perbincangan darurat tetapi kembali gagap ketika teman dekatnya adalah pelaku kekerasan dan berpola pikir seksis.
Mendukung gerakan perempuan sama dengan melahirkan keadilan jenis baru: tanpa dominasi, tanpa kekerasan, tanpa penindasan. Slogan yang terlalu mudah disebut, tetapi kadang masyarakat itu sendiri gagap ketika membicarakan LGBTQ+, aborsi, dan pekerja seks. Sebuah pelajaran untuk kita semua dalam mendefinisikan kembali apa itu kesetaraan dan keadilan.
ADVERTISEMENT