Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Mampir ke Markas Chicago Bulls
7 April 2025 20:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
'And when I'm back in Chicago, I feel it
Another version of me, I was in it.'
ADVERTISEMENT
-Djo, 'End of Beginning'
Ini masih cerita lanjutan perjalanan liputan gua ke Amerika Serikat (AS) pada 2023. Bulan lalu, gua menulis pengalaman menonton langsung pertandingan baseball, sekarang mau cerita soal pengalaman berkunjung ke markas tim basket Chicago Bulls.
Destinasi yang sangat dinanti-nanti oleh 'kaum tua' di rombongan DBL Indonesia All-Star 2023 adalah markas tim NBA, Chicago Bulls, yakni United Center. Ya, karena orang-orang seperti para coach yang ikut dalam rombongan ini tumbuh dewasa dan menghabiskan masa muda dengan menonton dan 'memuja' Bulls era 90-an.
Para coach ini menjadi saksi hidup betapa agungnya Bulls yang diperkuat Michael Jordan, Scottie Pippen, Dennis Rodman, Horace Grant, Toni Kukoc, dan para pemain legendaris lain. Bagi mereka, nama-nama di atas adalah sosok yang gak tergantikan di hati.
Para coach berbeda dengan kebanyakan para pemain DBL yang merupakan anak-anak Gen Z, yang lebih familiar dengan bintang-bintang NBA era sekarang. Mereka lebih kenal dengan Steph Curry, LeBron James, Nikola Jokic, Luka Doncic, dan juga mendiang Kobe Bryant.
ADVERTISEMENT
Tapi yang menarik, ada satu pemain DBL bernama Rano yang ternyata cukup tahu soal Rodman dan mengaku bahwa ia mengidolakannya. Rano tidak menyebut Jordan yang namanya abadi dan 'didewa-dewakan' di dunia basket sampai saat ini, tetapi Rano lebih suka Rodman.
"Keren aja dia, kak," ujar Rano yang agak kesulitan menggambarkan kekagumannya terhadap Rodman, sosok pebasket yang dulu mainnya sangat keras secara fisik, rebel, hingga dikenal sebagai 'preman'-nya Bulls pada masa itu.
Selama di Chicago, kami dua kali datang ke United Center. Pertama pada 5 Juli, sehabis para pemain latihan, kami curi waktu untuk masuk sebentar dan berfoto di dalam United Center.
Kami gak bisa masuk ke dalam lapangannya, cuma sampai lobby hall karena gak sembarangan orang bisa masuk ke dalam lapangan saat tidak ada pertandingan. Lagian, kalau ada pertandingan pun kita harus punya tiket.
ADVERTISEMENT
Kami dengan antusias berfoto di patung sang legenda besar NBA, Michael Jordan. Satu per satu, kami saling berfoto secara bergantian. Patung ikonik itu bernama ‘The Spirit’. Awalnya ditaruh di luar arena, tetapi sekarang berdiri di lobby hall United Center sejak 2017.
Patung ini terbuat dari perunggu, desainnya dibuat oleh Omri Amrany and Julie Rotblatt-Amrany. Posenya adalah Jordan seolah sedang melompat dan hendak melakukan dunk.
Kami gak bisa berlama-lama di United Center, cuma dikasih waktu 15 menit. Sebab, area tersebut akan disterilkan karena konser musisi asal Kanada, Drake, bakal segera digelar di sana dalam hitungan jam.
Di dalam United Center juga ada toko resmi yang menjual merchandise tim Chicago Bulls. Oh iya, gak cuma Bulls yang bermarkas di sana, tetapi ada juga tim hoki Chicago Blackhawks yang bermain di National Hockey League (NHL) dan pernak-perniknya dijual di toko United Center.
Kesempatan kedua datang ke United Center adalah pada 10 Juli. Kali ini, waktunya lebih bebas, tetapi bisa dibilang mendadak juga sih karena enggak dalam itinerary.
ADVERTISEMENT
Di sini, gua cukup kesal karena gua sudah telanjur menghabiskan duit sekitar USD 70 untuk membeli hoodie Air Jordan di sebuah toko ofisial apparel dalam sebuah mall. Bagus sih itu barang, tetapi kalau tahu masih ada kans ke United Center, gua jadi menyesal belinya.
Maksudnya, gua sejak masih di Jakarta berencana pakai uang untuk belanja di toko resmi dalam United Center saja karena lebih ada kenangannya saja gitu, "Wah gua beli ni barang di markasnya Chicago Bulls!"
Alhasil, gua gak bisa 'boros-boros' di toko United Center. Gua cuma beli sebuah kaus yang lagi diskon, sehingga gua hanya perlu mengeluarkan uang USD 19,75 untuk membayarnya.
Itu adalah kaus berwarna putih dengan nomor punggung 8 dan tulisan "Lavine", mengacu pada nama Zach Lavine, pemain guard yang pada saat gua ke sana memang masih berstatus pemain Bulls. Yang gua suka dari kaus itu adalah gak ada logo banteng khas Bulls. Sebab, kalau di Indonesia kan banteng lebih identik dengan sebuah partai politik ye, jadi rada malas saja.
ADVERTISEMENT
Sekilas tentang sejarah United Center, jadi ini adalah arena indoor yang tepatnya berada di 1901 West Madison Street, Near West Side of Chicago, Illinois. Didirikan pada 1994, kapasitas arena basketnya kini hampir 21.000 penonton, sehingga menjadi arena terbesar di antara markas tim NBA lainnya.
Dan bicara soal tim Chicago Bulls, setelah era Jordan cs berakhir, Bulls belum pernah lagi menemukan masa jaya di era milenium baru. Jangankan menjadi pesaing juara, untuk berjuang masuk ke playoff setiap musim saja mereka susah payah dan sering gagal.
Maka dari itu, kalau bicara soal basket Chicago, kota ini masih belum bisa move on dari era Jordan cs. Sebab, hanya di era merekalah Bulls berjaya.
ADVERTISEMENT
Suvenir Jordan cs juga masih laku banget dan dihargai mahal. Setidaknya itulah yang gua lihat di United Center dan beberapa toko retail, harganya bisa di atas USD 100 untuk satu jersey. Harga jersey pemain Bulls era sekarang saja gak sampai segitu.
Ketika datang ke United Center, di area lobby hall, gua bisa melihat sebuah layar TV besar yang menampilkan wajah 4 roster andalan Bulls di musim 2022/23. Mereka adalah Zach LaVine, Nikola Vucevic, Alex Caruso, dan DeMar DeRozan.
Namun, gua tidak melihat 'aura' sebuah tim yang garang dari kehadiran 4 orang itu. Apalagi kalau melihat prestasi Bulls teranyar bersama pemain-pemain itu, uh, suram.
Yah, Bulls sepertinya butuh mereformasi manajemen mereka. Sebab, gak bisalah mereka menjadi tim kuat lagi tanpa strategi trade dan penunjukan pelatih yang jitu.
ADVERTISEMENT
Jadi, untuk sekarang, terima nasib saja. Era kejayaan Bulls cuma tinggal dongeng yang entah kapan bisa terulang lagi. Entah sampai kapan, Kota Chicago dan Bulls bisa terus membanggakan era Jordan cs. 100 tahun lagi? Entahlah.