Konten dari Pengguna

University College London, Kampus yang Ramah Muslim dan Kaum Minoritas

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
26 Desember 2018 21:54 WIB
clock
Diperbarui 8 Mei 2019 14:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tampak gedung University College London (Foto: Dok. Pribadi Agatha So)
zoom-in-whitePerbesar
Tampak gedung University College London (Foto: Dok. Pribadi Agatha So)
ADVERTISEMENT
15 September 2018. Itu adalah kali pertama Agatha menginjakkan kaki di Inggris. Yup, teman saya yang satu ini adalah penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang memilih untuk melanjutkan pendidikannya di University College London (UCL), mengambil studi Clinical and Public Health Nutrition.
ADVERTISEMENT
Agatha menceritakan banyak hal kepada saya, mulai dari kesehariannya sebagai mahasiswi, juga sebagai muslim, hingga kisah kehidupan akademik dan keseharian lainnya. Well, salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah tentang kampus UCL itu sendiri. UCL dapat dikatakan sebagai kampus yang terbuka bagi kaum muslim.
Awalnya, saya berpikir sangat sulit untuk mencari tempat beribadah di Inggris, entah karena isu diskriminasi, isu imigran, dan lain sebagainya. Akan tetapi, alhamdulillah, teman saya Agatha tidak menemukan itu. Kampusnya bahkan memfasilitasi.
Tampak dalam Quiet Contemplation Room di University College London. (Foto: Dok. Pribadi Agatha So)
Pada dasarnya, Agatha mengakui tidak terlalu susah mencari tempat salat di London. Ada beberapa tempat umum yang menyediakan tempat untuk salat. Bahkan, di kampusnya saja ada yang namanya Quiet Contemplation Room.
Ada juga mukena untuk para perempuan yang hendak salat. (Foto: Dok. Pribadi Agatha So)
Quiet Contemplation Room sejatinya adalah ruang berdoa untuk mahasiswa-mahasiswi lintas agama, tetapi kebutuhan beribadah khas Islam disediakan di sini. Mulai dari tempat wudhu, petunjuk arah kiblat, mukena, sajadah, dan lain-lain. Jadi, kalau kuliah di sini, enggak perlu bingung mau salat di mana. Tertarik kuliah di UCL? Hehe. (bukan promosi, ya)
Tempat wudhu di dalam Quiet Contemplation Room, University College London. (Foto: Foto: Dok. Pribadi Agatha So)
Informasi singkat, University College London ini bukan kampus ece-ece. UCL adalah kampus tertua kedelapan di Britania Raya (didirikan pada tahun 1826 dengan nama London University) dan menempati peringkat ketujuh dunia versi QS World University Rangkings. Banyak orang-orang hebat yang pernah berkuliah di sana, seperti Alexander Graham Bell, Joseph Lister (pelopor operasi antiseptik), Patrick Head (co-founder tim balap F1 Williams), bahkan seluruh personel Coldplay.
ADVERTISEMENT
Nama besar UCL tak lantas menjadikan mereka sebagai universitas yang congkak. Mereka terbuka dengan minoritas dan para imigran. UCL menyambut siapa pun yang ingin belajar di sana dengan tangan terbuka.
Banyak alumni UCL yang bukan orang Inggris, berhasil menjadi orang sukses di negaranya, contohnya Mahatma Gandhi (tokoh pergerakan kemerdekaan India atas Inggris), Kwame Nkrumah (Perdana Menteri dan Presiden Ghana pertama), Ito Hirobumi (Perdana Menteri Jepang pertama), dan lain-lain. Dan saya menantikan teman saya itu menjadi tokoh yang berpengaruh di dunia kesehatan negeri ini.
Pada kenyataannya, hingga sekarang, tampaknya UCL masih sangat terbuka dengan mahasiswa dari berbagai etnis, agama, dan kalangan lainnya. Di UCL, ada komunitas Islam bernama ISoc (Islamic Society). Memang, ini komunitas yang diinisiasi oleh mahasiswa, tetapi kampus mempersilakan itu, bahkan di tengah-tengah isu islamofobia yang tak luput hinggap di Negeri Ratu Elizabeth.
ISOC, Komunitas rohani Islam di University College London (Foto: UCL ISoc)
Bahkan, kata Agatha, ruang kuliah boleh dipakai untuk acara kajian islami. Kegiatan kajian rutin diadakan setiap senin malam selama kurang lebih satu sampai dua jam dan kajian insidentil pada Kamis jika ada peringatan hari-hari besar.
ADVERTISEMENT
Tema kajian bisa berbagai macam hal, seperti tentang tujuan manusia diciptakan, kenapa ada surga dan neraka, dan lain sebagainya. Pada hari Selasa, biasanya akan ada kegiatan kajian yang lebih mengarah ke sejarah Islam, seperti kisah nabi dan rasul, juga kisah-kisah tentang peradaban Islam dari masa ke masa.
Peminat kegiatan ini cukup banyak, biasanya akan ada 30-40 orang peserta, yang didominasi laki-laki, setiap kali kajian diadakan. Mereka datang dari berbagai negara dan berbagai jenjang pendidikan. Model kajiannya seperti kuliah. Bahkan, kajiannya pun berbasis modul tapi menurut Agatha sangat menyenangkan.
Ada diskusi kelompok dan sesi pembahasan. Ini yang menarik. Jadi, kegiatan ini berlangsung dua arah.
Contoh kegiatan kajian ISoc di UCL, biasanya dikirim lewat email. (Foto: UCL ISoc)
Jadi, nanti akan ada narasumber yang menyampaikan materi melalui Power Point (PPT) di depan kelas. Setelah narasumber menyampaikan materi, para peserta akan dibagi ke dalam kelompok kecil untuk mendiskusikan materi yang disampaikan. Setelah itu, mereka akan secara bergantian menyampaikan pendapat dan pertanyaan mereka.
ADVERTISEMENT
Dan orang-orang di sana sangat antusias dan kritis. Sifat yang cukup penting untuk dimiliki ketika hidup di negara barat. Setiap pendapat akan dihargai, sehingga tidak perlu malu atau takut salah, tidak perlu takut di-judging. Persis, gaya perkuliahan di sana juga seperti itu, tetapi yang ini khusus tema-tema islami. Well, cara yang cukup menyenangkan untuk belajar agama, ya?
Biasanya, kalau di Indonesia, ustaz atau ustazah yang akan lebih dominan menyampaikan materi. Sementara jika ada yang mau bertanya, paling hanya 1-3 orang. Ada juga sih kajian model diskusi kelompok-kelompok kecil gitu di sini, tetapi yang saya tahu itu adanya di kampus-kampus (kegiatan mentoring).
Ya, saya pribadi tidak mau menyalahkan penceramahnya karena dalam beberapa kesempatan ceramah agama di Indonesia, ada juga sesi tanya jawab. Hanya saja, kadang kita yang suka enggan atau malu bertanya. Ditelan bulat-bulat, ditafsirkan sendiri, padahal belum tentu benar. Begitu pun di lingkungan akademik, ketika ditanya, "apa ada pertanyaan?", semua menunduk.
Contoh undangan kegiatan olahraga ISoc di UCL, biasanya dikirim lewat email. (Foto: UCL ISoc)
Oh iya, selain kajian agama Islam pada Senin dan Selasa tadi, ISoc juga rutin melakukan kegiatan lain, seperti main sepak bola atau netball bareng, main video games bersama, belajar photoshop, bahkan para muslim perempuan pun kerap membuat kegiatan rutin sendiri. Mereka juga menyelenggarakan kegiatan salat Jumat berjemaah dengan fasilitas yang disediakan oleh kampus.
ADVERTISEMENT
ISoc juga kerap melakukan penggalangan dana atau kegiatan amal. Ada pula kegiatan belajar membaca Al-Quran dengan tajwid dan pelafalan yang benar.
Selain di kampus, di London ada juga pengajian publik yang namanya "Al-Ikhlas". Pengajian Al-Ikhlas ini semua pesertanya adalah orang Indonesia, diadakan 2 minggu sekali di rumah orang Indonesia. Semua orang Indonesia dari berbagai kalangan, baik mahasiswa maupun orang yang bekerja, ikut meramaikan.
Pengajian Al-Ikhlas biasa membahas satu materi secara mendalam setiap pertemuannya dari jam 1 siang hingga jam 4 sore. Nantinya, para peserta kajian juga akan diajak makan makanan khas Indonesia, bahkan ada piket masak juga.
Secara umum, London dalam cerita Agatha adalah kota yang ramah terhadap muslim. Selain urusan tempat beribadah, terkait makanan, banyak toko-toko swalayan besar yang punya halal corner, bahkan sudah ada label halal untuk beberapa jenis makanan dan bahan pangan. Tidak hanya itu, ada pula waralaba khusus makanan halal.
ADVERTISEMENT
Jika seandainya memang lagi ingin banget, sesekali, makan di luar, tidak sulit menemukan restoran halal di London. Banyak restoran makanan timur tengah, restoran Turki, bahkan restoran ala-ala Melayu juga ada.
Ya, begitulah sekiranya kegiatan teman saya Agatha selama kurang lebih 4 bulan menjalani hidup di London, Inggris. Semoga bisa bercerita tentang pengalaman-pengalaman lainnya lagi, ya.