Konten dari Pengguna

Polemik Ospek: Menelusuri Militerisme di Lingkungan Pendidikan Indonesia

Kayla Hridayaneisha Paramajna
Mahasiswa Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada
28 Juni 2024 12:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kayla Hridayaneisha Paramajna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tentara berinteraksi dengan siswa sekolah dasar. Foto: Husniati Salma/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentara berinteraksi dengan siswa sekolah dasar. Foto: Husniati Salma/Unsplash
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, ribuan siswa dan mahasiswa baru di Indonesia menghadapi Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), sebuah program yang bertujuan memfasilitasi transisi dari siswa dan mahasiswa ke jenjang pendidikan selanjutnya. Idealnya, ospek berfungsi untuk mengenalkan siswa pada tata ruang, peraturan, serta memberikan pembekalan soft-skill dan hard-skill. Namun, sering kali pelaksanaannya menyimpang dari tujuan ideal ini, berubah menjadi ajang senioritas yang melibatkan metode-metode yang berlebihan dan terkadang berbau kekerasan.
ADVERTISEMENT
Panduan resmi PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) dari Kemendikbudristek menekankan asas (1) keterbukaan; (2) demokratis; dan (3) humanis (Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbudristek, 2024). Sayangnya, implementasi di lapangan kerap kali melenceng dari asas-asas ini, lebih menyerupai latihan militer yang keras daripada proses pengenalan yang ramah dan suportif. Ospek sering dimanfaatkan oleh siswa senior untuk memaksakan otoritas mereka, mengubahnya menjadi ajang perpeloncoan yang dikaburkan dengan dalih melatih mental.

Di Bawah Bayang-Bayang Militerisme

Pendekatan militer dalam pendidikan menekankan struktur hierarki yang ketat, di mana setiap individu dituntut untuk patuh kepada atasan tanpa pertanyaan. Ketika diterapkan dalam ospek, hal ini menciptakan sistem di mana siswa senior memegang otoritas penuh atas siswa baru, mengharuskan mereka untuk mematuhi peraturan secara buta.
ADVERTISEMENT
Pola ini mengajarkan siswa bahwa kesuksesan bergantung pada kepatuhan mutlak, menghambat mereka untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreativitas. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berekspresi dan berpikir kritis menjadi semakin tertekan di bawah praktik ini.
Para siswa diajarkan untuk menghindari kesalahan, padahal seharusnya lingkungan pendidikan menyediakan ruang aman untuk mencoba, melakukan kesalahan, dan belajar dari proses tersebut. Akibatnya, mereka lebih cenderung mengikuti jalur yang telah didiktekan daripada mencari solusi inovatif atau mengeksplorasi pendekatan baru. Pendekatan ini tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan yang kreatif dan inklusif tetapi juga menghambat perkembangan siswa untuk berpikir mandiri dan reflektif.
Pendekatan militeristik dalam pendidikan, yang menekankan hierarki tegas dan kepatuhan buta, mencerminkan kritik Martha C. Nussbaum bahwa kebebasan berpikir siswa dianggap berbahaya jika tujuan utamanya adalah menghasilkan pekerja yang hanya menjalankan rencana para elite tanpa refleksi kritis (Nussbaum, 2009).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ospek di Indonesia, sistem ini menciptakan hierarki di mana siswa senior memegang otoritas atas siswa baru, menuntut kepatuhan tanpa pertanyaan. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa kebebasan berpikir mengancam tatanan dan menginginkan siswa dibentuk sedemikian rupa sebagai individu patuh yang siap menerima perintah tanpa kesadaran kritis terhadap ketidakadilan (Nussbaum, 2009).
Pendidikan yang berbasis pada prinsip-prinsip kritis menekankan pentingnya dialog antara pendidik dan peserta didik. Pendidikan kritis bertujuan mempromosikan proses belajar yang partisipatif dan dialogis, di mana siswa didorong untuk mengembangkan kesadaran kritis, mempertanyakan asumsi yang ada, dan membangun pemahaman melalui interaksi aktif (Abraham, 2014).
Pendekatan yang mengutamakan kontrol dan hierarki mengabaikan kebutuhan untuk pendidikan yang dinamis dan partisipasi aktif, yang seharusnya memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menantang status quo (Nussbaum, 2009).
ADVERTISEMENT
Menggunakan kritik Paulo Freire (2009) tentang pendidikan gaya bank, Abidin (2019) dalam jurnalnya yang mengkritik ospek dalam peta jalan pedadogi kritis menyoroti bahwa pengetahuan sering diperlakukan seperti harta yang disimpan oleh guru yang berwenang dan kemudian ‘ditabungkan’ kepada siswa yang dianggap celengan kosong—tidak tahu apa-apa.
Proses ini memposisikan guru sebagai pihak yang serba tahu dan siswa sebagai penerima pasif, memperkuat hierarki dan mengabaikan peran siswa sebagai pencari dan pengolah pengetahuan. Dengan cara ini, pendidikan menjadi alat dominasi di mana guru mendikte dan siswa hanya menghafal, tanpa dorongan untuk berdialog atau mempertanyakan apa yang mereka pelajari.
Seperti tabungan yang diisi tanpa interaksi, pendekatan ini tidak menciptakan ruang untuk kolaborasi dan eksplorasi kritis, dan hanya berfungsi untuk melanggengkan status quo para kaum penindas (Freire, 2009; Abidin, 2019).
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Ospek yang seharusnya berfungsi sebagai masa pengenalan dan adaptasi di awal pendidikan, sering memperlihatkan pola-pola militerisme di dalam lingkungan pendidikan Indonesia yang sudah sangat mengakar. Alih-alih menjadi sarana untuk membekali siswa baru dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan, ospek justru menciptakan struktur hierarki yang tegas dan menuntut kepatuhan buta.
Pendekatan ini membatasi kebebasan berpikir siswa, menekan kreativitas, dan menghalangi mereka untuk mengembangkan pemikiran kritis. Sebaliknya, pendidikan seharusnya mendorong partisipasi aktif, dialog yang terbuka, dan merangkul keberagaman, agar siswa dapat tumbuh menjadi individu yang mampu berpikir secara merdeka.