Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Pengaruh Sengketa Laut China Selatan Terhadap Keamanan Asia Pasifik
10 April 2025 9:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Keavin Natanael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Laut China Selatan tetap menjadi salah satu titik panas dalam geopolitik Asia Pasifik. Dikenal sebagai jalur pelayaran penting yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia, Laut China Selatan memiliki nilai strategis yang tidak hanya penting bagi negara-negara di kawasan ini, tetapi juga untuk perekonomian global. Namun, sengketa klaim teritorial yang melibatkan China, negara-negara ASEAN, serta keterlibatan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, membuat wilayah ini sarat dengan ketegangan politik dan militer yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan adalah rumah bagi salah satu jalur perdagangan laut paling sibuk di dunia. Menurut data dari United States Energy Information Administration (EIA), lebih dari $3,4 triliun perdagangan tahunan melewati perairan ini, yang menyumbang sekitar 30% dari total perdagangan maritim global. Selain itu, kawasan ini juga kaya akan sumber daya alam, termasuk cadangan minyak dan gas yang diperkirakan mencapai 11 milyar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam (Sumber: EIA, 2020).
Namun, ketegangan muncul karena beberapa negara—terutama China—memiliki klaim teritorial yang bertentangan dengan negara-negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan peta yang dikenal dengan "sembilan garis putus-putus" yang menutupi hampir 90% area perairan tersebut, sebuah klaim yang tidak diakui oleh negara-negara lainnya di kawasan ini.
ADVERTISEMENT
Masalah utama dalam sengketa Laut China Selatan adalah bagaimana klaim teritorial yang didasarkan pada sejarah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang disahkan pada 1982, memberikan dasar hukum bagi pengaturan batas-batas maritim dan hak-hak negara pesisir atas zona ekonomi eksklusif (ZEE). Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag mengeluarkan keputusan yang menolak klaim China atas sebagian besar Laut China Selatan, dengan menyatakan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum yang kuat menurut UNCLOS. Pengadilan juga menegaskan bahwa tidak ada dasar sejarah yang sah untuk klaim teritorial China yang luas di wilayah tersebut.
Namun, meskipun keputusan pengadilan ini, China secara terbuka menolak hasilnya dan terus melanjutkan pembangunan pulau-pulau buatan serta fasilitas militer di wilayah yang disengketakan. Keberlanjutan kebijakan ini menimbulkan ketegangan, tidak hanya dengan negara-negara di kawasan, tetapi juga dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat yang memandang kebebasan navigasi sebagai hal yang fundamental.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat, meskipun tidak memiliki klaim teritorial langsung di Laut China Selatan, memainkan peran penting dalam menjaga kebebasan pelayaran internasional. Sebagai bagian dari Kebijakan Indo-Pasifik, AS secara aktif mendukung negara-negara yang mengklaim hak mereka atas wilayah-wilayah laut sesuai dengan hukum internasional. Pada 2020, AS melakukan operasi kebebasan navigasi (FONOP) dengan mengirimkan kapal-kapal perang melalui perairan yang diklaim oleh China sebagai bagian dari upaya untuk menunjukkan komitmen terhadap kebebasan pelayaran.
Di samping itu, negara-negara seperti Jepang dan Australia juga semakin khawatir dengan tindakan China yang lebih agresif. Jepang, yang sangat bergantung pada jalur pelayaran Laut China Selatan, telah mengungkapkan kekhawatirannya mengenai potensi gangguan terhadap kebebasan navigasi. Pada 2020, Australia mengirimkan kapal perang ke kawasan tersebut sebagai bagian dari komitmennya untuk menjaga stabilitas di Asia Pasifik.
ADVERTISEMENT
Ketegangan di Laut China Selatan tidak hanya mempengaruhi negara-negara yang terlibat langsung dalam sengketa teritorial, tetapi juga memperburuk stabilitas kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan. Insiden militer yang melibatkan kapal-kapal dari berbagai negara, seperti yang terjadi pada 2018 antara kapal perang AS dan kapal patroli China, menunjukkan betapa dekatnya wilayah ini dengan potensi konflik terbuka. Ketegangan yang meningkat ini membawa dampak besar terhadap hubungan diplomatik dan stabilitas regional, dan bahkan mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara besar di kawasan ini.
Pentingnya Laut China Selatan juga tercermin dalam dokumen resmi sepertin Dokumen Strategi Pertahanan Nasional AS (2018), yang menyoroti kawasan ini sebagai titik fokus utama dalam upaya AS untuk mempertahankan "aturan berbasis hukum internasional" dan mencegah dominasi sepihak oleh China.
ADVERTISEMENT
Meskipun situasi ini penuh tantangan, upaya diplomatik dan multilateral tetap menjadi jalan yang perlu ditempuh untuk meredakan ketegangan. ASEAN sebagai organisasi yang menaungi negara-negara Asia Tenggara, terus mendorong dialog dan kerja sama dalam penyelesaian sengketa ini. Namun, perbedaan kepentingan di antara anggota ASEAN, serta ketidaksepakatan dengan China, sering kali menghambat pencapaian solusi yang efektif.
Penting untuk mengingat bahwa penyelesaian yang melibatkan penggunaan kekuatan militer hanya akan merugikan semua pihak. Oleh karena itu, kerja sama regional yang lebih erat dan penegakan hukum internasional melalui saluran diplomatik adalah kunci untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di Laut China Selatan.
Laut China Selatan lebih dari sekadar wilayah yang kaya akan sumber daya alam; ia adalah titik krusial dalam geopolitik global. Ketegangan yang melibatkan China, negara-negara ASEAN, serta kekuatan besar seperti Amerika Serikat, memperlihatkan betapa pentingnya penyelesaian damai yang berbasis pada prinsip-prinsip hukum internasional dan dialog multilateral. Dengan mempertahankan kebebasan pelayaran dan menghormati peraturan internasional, kawasan ini dapat terhindar dari potensi konflik besar yang dapat mengancam stabilitas global.
ADVERTISEMENT