Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Guru dan Ulama Minangkabau: H. Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib
26 November 2023 12:05 WIB
Tulisan dari Yerri Satria Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mendengar nama tuan guru H. Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al Khatib tentu masih asing di sebagian besar telinga pembaca media ini. Sosok itulah yang yang menulis riwayat hidup Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu secara lengkap dan konfrehensif, yang telah diuraikan pada tulisan sebelumnya. Bukan itu saya, sosok ini juga telah banyak menulis berbagai riwayat hidup dari ulama-ulama besar Minangkabau dan kitab-kitab pengajaran agama lainnya. Uniknya, dalam menulis, beliau menggunakan Aksara Jawi bukan Aksara Latin sebagaimana kita menulis. Pada kesempatan ini, saya akan mencoba menjelaskan profil pengarang kitab dan proses kreatifitasnya, semoga informasi ini bermanfaat terutama bagi mereka yang tertarik dalam studi keislaman.
Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib, yang akrab disapa Buya Batang Kabung, meninggal dunia pada tanggal 19 Ramadhan 1427 H/12 Oktober 2006. Beliau adalah seorang sosok guru yang patut dijadikan teladan, seorang saksi sejarah, pekerja keras, dan ulama yang telah berdedikasi selama puluhan tahun dalam berdakwah melalui lisan dan tulisan. Di bidang kepenulisan, Buya Batang Kabung telah menghasilkan banyak naskah Islam, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu.
ADVERTISEMENT
M. Yusuf dan rekan-rekannya adalah pihak yang menemukan sosok ini. Dari kegiatan yang dilakukan pada tahun 2000 sampai 2004, ditemukan bukti bahwa di era digital ini, di Sumatera Barat masih ada individu-individu yang setia dalam dunia kepenulisan naskah, baik itu dalam mengarang maupun menyalin naskah-naskah kuno, dengan menggunakan tulisan tangan beraksara Arab dan berbahasa Arab maupun Melayu. Selain Imam Maulana, beberapa tokoh lainnya seperti H.K. Deram (wafat tahun 1997) di Tandikat, dan Mukhtar Abdullah (wafat tahun 2000) di Pasir Lawas, juga turut berkontribusi. Hal ini menunjukkan bahwa surau di Minangkabau memiliki potensi besar sebagai media pendidikan, di mana tradisi intelektual berkembang melalui penyalinan dan penulisan naskah-naskah, terutama yang berkaitan dengan Islam.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Imam Maulana seolah menjadi fokus perhatian peneliti, baik di dalam maupun di luar Sumatra Barat. Catatan saya mencatat enam penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti naskah, membahas naskah salinan dan karya-karya Imam Maulana secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa peneliti yang terlibat antara lain Adriyetti Amir (2001), Pramono (2003 dan 2006), Oman Fathurrahman (2003), Yerri S. Putra (2004), dan Zulfadhli (2005). Dalam konteks ini, Pramono mungkin merupakan peneliti yang paling intensif dalam mengkaji karya-karya Imam Maulana. Penelitian terbarunya, "Tradisi Penulisan dan Penyalinan Naskah-Naskah Islam Minangkabau: Kajian Atas Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib dan Karya-Karyanya" (Universitas Andalas, 2006), secara rinci membahas riwayat hidup dan proses kreatif Buya Batang Kabung, serta latar belakang sosial masyarakat yang membentuknya.
ADVERTISEMENT
Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib lahir di Batang Kabung, Tabing, Padang, pada 8 Agustus 1922. Ayahnya bernama Amin dan ibunya bernama Fatimah, dengan keturunan suku Balai Mansiang. Gelar "al-Khatib" diambil dari gelar "Khatib Mangkuto", sebagaimana disebutkan oleh Pramono (2006:19). Pada tahun 1943, masyarakat Batang Kabung mengangkatnya sebagai khatib Jumat di masjid setempat. Sebagai khatib, beliau memiliki tanggung jawab besar dalam urusan keagamaan, menjadi tempat bertanya bagi masyarakat ketika ada persoalan. Pada tahun 1964, beliau melepaskan jabatannya sebagai khatib Jum'at, tetapi masyarakat setempat tetap mengangkatnya sebagai Imam sholat Jum'at di masjid yang sama, dan sejak itu disebut "Imam Maulana." Nama aslinya, Abdul Manaf Amin, dengan tambahan "Amin" diambil dari nama ayahnya, seorang tokoh Muhammadiyah di Muara Panjalinan, Koto Tangah Padang.
Imam Maulana mulai belajar mengaji pada usia delapan tahun, belajar kepada guru perempuan bernama Sari Makah di Muaro Panjalinan. Selanjutnya, beliau pindah ke Batang Kabung untuk mendalami Qira’at dari Angku Fakih Lutan. Pada tahun 1930, ia memulai studi di Sekolah Desa di Muaro Panjalinan, lalu melanjutkan ke sekolah Gubernemen di Tabing setelah menyelesaikan studi di Sekolah Desa pada tahun 1936. Pada tahun 1938, beliau pindah ke Koto Panjang untuk mendalami Kitab Gundul dari Syekh Paseban, tokoh yang menerima talakin dzikir dan menjadi guru spiritual bagi Imam Maulana. Di usia empat belas tahun, Imam Maulana bai'at kepada tarekat Syattariyah bersama Syekh Paseban. Setelah meninggalnya Syekh Paseban pada tahun 1937, Imam Maulana pindah ke Batagak, Bukittinggi, dan pada tahun 1938, berguru kepada Syekh Haji Ibrahim. Pada tahun 1940, beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan menuntut ilmu formal, melainkan fokus pada pengembangan wawasannya melalui membaca dan menulis. Proses pembelajaran ini memberinya kemampuan membaca dan menulis huruf Arab, baik Arab gundul maupun Arab-Melayu. Pengetahuan ini kemudian digunakan untuk menulis dan menyalin naskah-naskah, serta menjalankan tradisi penulisan dan penyalinan naskah Islam di surau. Kesadaran akan tanggung jawab mengajar dan berdakwah, bersama dorongan untuk menulis yang didorong oleh panggilan jiwa, tuntutan agama, dan tuntutan dakwah, semakin memperkuat tekad Imam Maulana dalam berkarya.
Kemampuan Imam Maulana dalam menulis dan menyalin naskah dengan menggunakan tulisan Arab berbahasa Arab dan Melayu sangat mengesankan. Kabarnya, beliau mampu menyelesaikan satu naskah dalam waktu enam bulan. Kegiatan penulisan ini dilakukan di surau, baik Surau Nurul Huda maupun Surau Paseban. Menurut catatan Pramono (2006), Buya Batang Kabung berhasil menghasilkan 21 naskah, di antaranya:
ADVERTISEMENT
1. Sejarah Ringkas Aulia Allah as-Salihin Syeh Burhanuddin Ulakan, tahun 1936 (ditulis kembali tahun 1992).
2. Inilah Sejarah Ringkas Auliah Allah as-Salihin Syeh Abdurrauf (Syeh Kuala); Pengembang Agama Islam di Aceh, tahun 1936 (ditulis kembali tahun 1993).
3. Inilah Sejarah Ringkas Syeh Paseban al-Syatari Rahimahulallahu Taala Anhu, selesai 19 Oktober 2001.
4. Kitab Menerangkan Perkembangan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu dari Syeh Burhanuddin sampai ke Zaman Kita sekarang, selesai 24 Syafar 1422.
5. Kitab Fadlilati l-Syuhur (Jilid I), tanpa tahun.
6. Kitab Fadlilati l-Syuhur (Jilid II), tanpa tahun.
7. Kitab Fadlilati l-Syuhur (Jilid III), tanpa tahun.
8. Kitab Fadlilati l-Syuhur (Jilid IV), tanpa tahun.
9. Sejarah al-Husin bin Ali Karimallahu Wajhahu, selesai 10 Desember 1989.
ADVERTISEMENT
10. Risalat Mauzatu l-Hasanah, 1414 H.
11. Sejarah Ringkas Syeh Muhamad Nasir (Syeh Surau Baru), tanpa tahun.
12. Kitab al-Takwim (Menerangkan Masalah Bilangan Takwim dan Puasa), selesai ditulis tanggal 26 Maret tahun 1986 Masehi.
13. al-Risalah Tanbih al-Masyi, tanpa tahun.
14. Risalah Mizan al-Qalb Untuk Bahan Pertimbangan Bagi Kaum Muslimin Buat Beramal Ibadah Kepada Allah, selesai ditulis 26 Desember 1989.
15. Risalah Sabilaturrisad Pedoman Kita Mengerjakan Amal Ibadah Menurut Syari’at Tauhid dan Haqiqat, selesai ditulis pada hari Ahad 27 Rabi’ul Akhir tahun 1413.
16. Kitab untuk Menyelamatkan Orang Mati, tanpa tahun.
17. Kitab Ziarah, tanpa tahun.
18. Kisah Mi’raj Nabi Muhammad (Terjemahan dari Dardil, ‘Perjalanan Nabi’), selesai ditulis pada 14 Jumadil Akhir 1412 Hijriah (21 Desember 1991).
ADVERTISEMENT
19. Kitab Riwayat Hidup Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, selesai ditulis tanggal 9 Nopember 2002.
20. Kitab Tahqiq (Menerangkan Pengajian Tarekat Syattari), tanpa tahun.
21. Kitab Nur al-Haqiqah (Menerangkan Pengajian Ilmu Tasauf), tanpa tahun.
22. Inilah Sejarah Ringkas Syeh Paseban al-Syatari Rahimahulallahu Taala versi 18 Agustus 2001,
23. Keterangan Sejarah Kampung Batang Kabung dan Sejarah Tampat Batu Singka tanpa tahun.
Sebagai seorang tokoh dari generasi Syattariyah, Imam Maulana tentu memegang teguh ajaran-ajaran Islam dalam praktik Syattariyah. Praktik ini sering dianggap sebagai tradisi kaum tua oleh sebagian masyarakat. Selama kurang lebih satu abad, kaum tua dan kaum muda Minangkabau terlibat dalam "perdebatan" tentang keyakinan mereka, benar dan salah dalam ajaran Islam. Akhirnya, salah satu pihak, yang biasanya disebut "kaum tua," terpaksa mengalah dan dianggap terpinggirkan. Setelah itu, banyak anggapan negatif ditujukan pada kelompok ini, dan sebagian besar pengikutnya meninggalkan ajaran tersebut untuk beralih ke arah keyakinan yang baru.
ADVERTISEMENT
Dalam upayanya berdakwah, Imam Maulana berusaha untuk menegakkan kembali ajaran Islam yang mulai menyimpang dari prinsip-prinsipnya dalam praktik masyarakat saat itu, termasuk melalui tulisan-tulisannya.
Karya-karyanya adalah cahaya yang telah menerangi kegelapan sejarah dan dinamika keislaman di Minangkabau selama ini. Semoga menjadi pahala bagi beliau, aamiin.