Konten dari Pengguna

Identitas Budaya Masyarakat Minangkabau

Yerri Satria Putra
Akademisi di Universitas Andalas, Sumatera Barat
20 November 2023 8:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yerri Satria Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Surau Syekh Paseban di Kelurahan Koto Panjang Ikua Koto, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Foto. Zhilal Darma (https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Surau_Syekh_Paseban_2020_02b.jpg)
zoom-in-whitePerbesar
Surau Syekh Paseban di Kelurahan Koto Panjang Ikua Koto, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Foto. Zhilal Darma (https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Surau_Syekh_Paseban_2020_02b.jpg)
ADVERTISEMENT
Informasi tentang kapan surau ini didirikan masih misterius. Hal ini memberikan nuansa dan keunikan tersendiri dalam sejarahnya. Meskipun demikian secara lisan keterangan yang disampaikan oleh Buya Idris (alm) saya berjumpa dengan beliau di tahun 2003 dulu dirasa cukup untuk memberikan gambaran historis dan penuh tragedi tentang suatu peristiwa yang dialami oleh sosok yang sangat berpengaruh, yakni Karaping yang bergelar Sidi Alim (Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu).
ADVERTISEMENT
Menurut keterangan beliau, surau tersebut didirikan kira-kira setelah Karaping menyelesaikan studinya di Padang Ganting Batu Sangkar dan diangkat sebagai khalifah oleh Syekh Padang Ganting. Peristiwa ini tidak hanya menandakan keberadaan surau sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai pusat pengembangan spiritual dan intelektual di bawah bimbingan Syekh Padang Ganting.
Karaping yang kemudian bergelar Sidi Alim nampaknya memegang peran yang sangat penting dalam sejarah surau tersebut. Informasi lebih lanjut mengenai riwayat hidup ulama-ulama ini akan diuraikan dalam tulisan berikutnya, memberikan peluang untuk lebih memahami kontribusi mereka terhadap perkembangan surau dan masyarakat di sekitarnya.
Setelah selesai menjalankan atau menamatkan kajinya, Karaping kembali ke kampungnya, yakni Nagari Koto Tangah. Dikarenakan di Nagarinya Koto Tangah belum memiliki surau, maka di tanah kaumnya, Karaping mendirikan surau itu, dan akhirnya diberi nama Paseban.
ADVERTISEMENT
Sementara, Karaping sendiri diangkat oleh kaumnya menjadi Syekh di sana, dan diberi gelar Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu. Kisah tentang awal mula surau ini menunjukkan bahwa sejarahnya erat kaitannya dengan tokoh-tokoh agama yang memegang peran kunci dalam masyarakat Minangkabau.
Cerita ini juga mencerminkan tradisi lisan yang sering menjadi sumber utama pengetahuan tentang sejarah lokal, sekaligus menggambarkan pentingnya peran ulama dalam membentuk dan menjaga identitas budaya sebagaimana yang tertuang dalam falsafah "adat basandi syarak, syarak basandi kitabbullah" serta kehidupan beragama masyarakat setempat.
Peserta mengikuti pawai budaya pada Festival Pesona Minangkabau, di Istano Basa Pagaruyuang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (17/11/2022). Foto: Iggoy el Fitra/Antara Foto
Dalam konteks sosio historis Minangkabau, surau memiliki hakikat yang berbeda dari tempat ibadah umat muslim lainnya di Sumatera Barat. Dibandingkan dengan tempat ibadah pada umumnya, seperti masjid, musala, atau langgar, surau memiliki fungsi yang lebih kompleks dan komplit.
ADVERTISEMENT
Dalam aktivitas sosial nagari, surau tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah warga, melainkan juga surau berfungsi sebagai “center of social activity”, pendidikan, pertemuan warga, hingga tempat tinggal. Surau bukan dikelola/dijaga atau diurus oleh seorang garin, atau marbot, layaknya masjid, musala atau langar, melainkan seorang syekh atau tuanku yang berperan sebagai wali ulama nagari, tuan guru, dan orang siak suatu nagari.
Peran seorang Syekh atau Tuanku menjadi sangat penting, karena fungsinya bukan saja guru agama, melainkan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan adat dan agama nagari. Hal ini membuktikan bahwa surau begitu identik dengan Minangkabau. Di suraulah pengetahuan adat dan agama lahir dan berkembang.
Pengetahuan itu semakin sempurna karena tidak jarang masyarakat Nagari juga menemui para Syekh untuk berobat karena dia juga mampu melakukan pengobatan tradisional. Itulah kompleksitas yang dimiliki oleh suatu surau. Dan itu telah berlangsung selama berabad-abad.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pendidikan dan pengembangan karakter generasi muda, surau dulu adalah pilihan utama masyarakat Minangkabau belajar/menuntut ilmu. Di surau tidak saja diajarkan bagaimana membaca kitab, tetapi juga diajarkan bagaimana menulis kitab. Tradisi baca tulis yang dilakukan di surau itulah yang membuat surau menjadi scriptorium penting dalam dunia manuskrip/pernaskahan Minangkabau.
Dalam hal ini, definisi scriptorium merujuk pada fungsi surau pada masa lalu, yakni tempat penyalinan naskah-naskah agama dan lainnya. Aktivitas penyalinan naskah dahulu terjadi karena untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan para santri. Dahulu belum ada mesin cetak atau mesin foto kopi, sehingga agar para santri dapat memiliki kitab-kitab sang guru, jalan satu-satunya yang harus mereka lakukan adalah menyalin kitab guru tersebut.
ADVERTISEMENT
Penyalinan naskah sebagai kegiatan yang hidup di surau menunjukkan komitmen terhadap pemeliharaan dan penyebaran ilmu pengetahuan. Tradisi ini membantu menjaga keberlanjutan pemikiran dan ajaran agama serta kearifan lokal. Manuskrip-manuskrip kuno Minangkabau yang saat ini tersimpan di surau-surau tua yang ada di Sumatera Barat, termasuk Surau Paseban adalah manuskrip yang muncul dari aktivitas penyalinan tersebut.
Di Surau Paseban tersimpan berbagai macam jenis manuskrip seperti, fiqh, mantiq, dan bidang ilmu lainnya, adalah manuskrip salinan yang dilakukan oleh Syekh Paseban terhadap kitab-kitab guru-gurunya,. Manuskrip yang tersimpan di surau memiliki nilai sejarah dan keilmuan yang tinggi dan dalam, ini lah warisan intelektual yang sangat berharga.
Selain itu, Surau Paseban dan Surau Gadang sebagai pusat pendidikan tidak hanya melibatkan kaum lelaki, tetapi juga melibatkan kaum perempuan. Keterlibatan perempuan dalam surau menunjukkan bahwa surau tidak hanya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif tetapi juga merespons kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks perkembangan zaman, tantangan melestarikan surau sebagai pusat kehidupan sosial dan kebudayaan tidak dapat diabaikan. Perlu adanya upaya untuk menjaga relevansi surau dalam masyarakat modern, tanpa kehilangan esensi nilai-nilai tradisionalnya.
Pemikiran strategis dan inovatif perlu diterapkan untuk memastikan bahwa surau tetap menjadi penjaga identitas budaya Minangkabau, sambil tetap mampu memenuhi kebutuhan dan dinamika masyarakat masa kini. Dengan begitu, warisan budaya dan intelektual yang terdapat di surau dapat terus diteruskan kepada generasi selanjutnya, menjaga keberlanjutan kearifan lokal dan ajaran agama.