Konten dari Pengguna

Seni Dulu sampai Seni Sekarang

Yerri Satria Putra
Akademisi di Universitas Andalas, Sumatera Barat
8 November 2023 8:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yerri Satria Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar hanyalah ilustrasi. Foto Penampilan kesenian Tari Piring oleh mahasiswa Program Studi Sastra Minangkabau Universitas Andalas pada ivent Alek Seni pada 25 Mei 2022. Foto oleh Yerri Satria Putra.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar hanyalah ilustrasi. Foto Penampilan kesenian Tari Piring oleh mahasiswa Program Studi Sastra Minangkabau Universitas Andalas pada ivent Alek Seni pada 25 Mei 2022. Foto oleh Yerri Satria Putra.
ADVERTISEMENT
Seni adalah sebuah kaya yang semua orang pernah mendengarnya, walaupun antara satu sama lainnya memahami seni berbeda-beda. Bagi orang timur, seni berasal dari kata “sani” bermakna sebagai “jiwa yang luhur/ ketulusan jiwa”. Pengertian ini bertendensi pada proses penciptaan atau keberangkatan orang/seniman saat membuat karya seni. Berbeda halnya pemahaman seni orang eropa. Seni adalah “art” merupakan singkatan dari artivisial yang berarti barang atau karya dari sebuah aktivitas.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, sejak lama meyakini bahwa aktivitas berkesenian termasuk salah satu aktivitas manusia purba, yang awalnya merupakan perwujudan dari kepercayaan manusia terhadap adanya pencipta alam semesta. Selain itu, orang dulu juga menggunakan seni sebagai alat komunikasi, dan penyampai pesan.
Di beberapa tempat ditemukan lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua atau batu-batu yang menginformasikan bagaimana bentuk peradaban manusia purba. Artefak ini mengingatkan kita akan lukisan modern yang penuh ekspresi. Hal yang membedakan karya seni manusia purba dengan manusia modern adalah terdapat pada tujuan penciptaannya.
Manusia purba menciptakan karya seni bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosioreligi atau persembahan, karena manusia purba masih terikat pada kekuatan-kekuatan supranatural yang mereka percayai. Sementara tujuan manusia modern menciptakan karya seni untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan mungkin juga memenuhi kebutuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Semua bentuk kesenian masa lalu banyak menandai kesadaran magis, memuja alam dan makhluk supranatural sampai kesadaran terhadap pencipta alam semesta. Sebagai sebuah peninggalan kolektif, karya-karya seni yang ditemukan di gua-gua tidak pernah menampilkan penciptanya, baik secara simbolik maupun identitas yang nyata.
Itulah kenapa, dalam ilmu pengetahuan, semua karya tradisi, atau yang bisa dikatakan sebagai produk tradisi, adalah karya yang anonim. Sementara itu, sejak zaman modern, karya-karya seni yang muncul menampilkan identitas pencipta sebagai pemilik karya seni tersebut.
Pada ranaisans, basis-basis ritual dan kultis dari karya seni mulai terancam akibat sekularisasi masyarakat. Keadaan ini pada akhirnya mendorong seni menemukan ruang-ruang otonom yang lebih menjamin kebebasan dalam berekspresi. Pada fase ini karya seni tidak lagi menjadi milik bersama, fungsinya dan nilainya pun sudah bergeser.
ADVERTISEMENT
Fungsi karya seni yang awalnya adalah sebagai alat pemujaan, bergeser menjadi alat hiburan yang dinikmati bersama. Sebagai alat hiburan, karya seni pada akhirnya mendorong tumbuhnya komersialisasi komersialisasi seni sehingga menciptakan ruang-ruang ekspresi baru yang lebih bebas dan tidak terikat dengan norma-norma religi atau kepercayaan.
Pada zaman modern juga, karya seni berkembang dengan lebih pesat. Keterlibatan manusia secara langsung dalam sebuah penampilan atau pertunjukkan seni, tidak lagi dibutuhkan. Radio dan televisi adalah media yang membawa karya seni ke ruang-ruang yang lebih privat dalam hidup manusia.
Bahkan sambil “eek” pun manusia modern sudah bisa menikmati karya seni. Tidak lupa juga, perkembangan teknologi visual, kamera dan film, serta teknologi audio, dalam bentuk hadirnya alat musik modern, meningkatkan kebutuhan manusia untuk menciptakan karya seni yang lebih berkualitas dan bernilai ekonomi yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, sisi negatifnya adalah adanya kebutuhan modal penciptaan seni para seniman untuk berekspresi. Kebutuhan modal seni ini akhirnya menjadi patokan nilai kualitas sebuah karya seni. Masyarakat awam akan menilai bagus dan buruknya sebuah karya seni dari harga yang dicapainya. Semakin banyak copy sebuah album terjual di pasaran, maka sudah dapat dipastikan karya seni itu lebih berkualitas. Sangat sederhana.
Pada era industri 4.0 saat ini, di mana kehidupan manusia telah ditopang dengan berbagai bentuk kemajuan teknologi, karya seni juga turut mengalami perubahan. Yang jelas, di zaman industry 4.0 ini, karya-karya seni zaman modern telah menjadi karya seni tradisi, sementara karya seni zaman pra modern, telah masuk kategori karya seni purba (ya, itu saya yang mengklasifikasikannya. Bagi yang tidak sepakat tidak apa).
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi di era industri 4.0 ini, menciptakan bentuk karya seni yang lebih interaktif. Perbedaan terjadinya interaksi antara karya seni dengan penikmat seni zaman dulu dengan sekarang adalah terletak pada ruang atau medianya. Dulu, baik pada zaman pra modern maupun zaman modern. interaksi penikmat karya seni terjadi di ruang publik pada waktu yang telah ditentukan, tetapi saat ini, interaksi penikmat karya seni bisa terjadi kapanpun dan di ruang manapun, termasuk ruang yang lebih privat.
Foto hanyalah ilustrasi. Penampilan seni Gandang Sambilan oleh 11 mahasiswa Osaka University Jepang, pada ajang Summer Course Minangkabau For Global Community Program Studi Sastra Minangkabau Universitas Andalas. 30 Agustus 2023. Foto oleh Yerri Satria Putra.
Kebutuhan masyarakat akan sebuah bentuk karya seni, dan mudahnya masyarakat mengakses karya seni itu sebenarnya telah menurunkan nilai sebuah karya seni. Dulu seorang seniman adalah orang berlatar pendidikan yang cukup tinggi, dibandingkan orang biasa. Para seniman itu biasanya juga berprofesi seorang guru, seperti William Hograt (1697-1764), atau seniman kerajaan seperti Alan Ramsay (1713-1784), atau seorang filsuf seperti Joshua Reynold (1723-1792).
ADVERTISEMENT
Sekarang siapa pun bisa menjadi seniman, asal mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Penurunan nilai ini membuat karya seni yang berkualitas itu sulit ditemukan. Lebih menyesak dada adalah sekali muncul, langsung tenggelam oleh isu-isu di luar konteks seni. Isu capres-cawapres, perang Israel-Hamas, atau isu lainnya.
Sekarang manusia lebih berpikir pragmatis ketimbang idealis. Karya seni yang tercipta dari idealisme sudah tidak laku lagi untuk zaman ini. Teknologi berkembang sangat cepat dan pesat. Ilmu pengetahuan tidak memberi kesempatan kepada seniman idealis untuk mengekspresikan pikirannya.
Masyarakat lebih cepat bosan dan lebih cepat beralih dari satu karya seni ke karya seni yang lain hanya dengan mengklik atau menscrolling layar hpnya. Karya seni bukan lagi barang magis, bukan juga barang langka dan agung. Nilainya tidak lebih dari satu klik, atau 15 detik.
ADVERTISEMENT